
Ekonomi Daulah Islam: Mandiri di Dalam, Tangguh di Luar
Dunia kini terperangkap dalam jebakan sistem ekonomi kapitalisme global yang menindas dan monopolistik. Di balik narasi kebebasan pasar dan globalisasi, tersembunyi jaringan kepentingan oligarki dan korporasi internasional yang menjarah kekayaan negara-negara berkembang, termasuk negeri-negeri Muslim seperti Indonesia.
Bagaimana tidak. Globalisasi sesungguhnya bukanlah semata-mata gerakan pasar bebas, melainkan kolonialisme dan imperialisme gaya baru. Lihat saja, bagaimana negara-negara kuat seperti AS dan Uni Eropa memaksakan liberalisasi perdagangan, deregulasi pasar, dan privatisasi sektor publik atas nama efisiensi dan kemajuan. Dalam sistem ini, negara-negara lemah tidak mampu melindungi ekonomi mereka, tidak memiliki kendali atas mata uang mereka, serta tidak berdaulat atas SDA mereka sendiri. Setiap upaya membangun ekonomi mandiri akan dipatahkan oleh instrumen global seperti WTO, IMF dan World Bank. Semuanya sesungguhnya bukanlah sekadar lembaga ekonomi dunia, melainkan alat politik untuk menjerat negara-negara berkembang dalam sistem kapitalisme.
Indonesia, misalnya. Kita menyaksikan krisis ekonomi 1998 telah menyebabkan negara ini terpuruk karena utang luar negeri dan pengaruh IMF. Sektor publik dijual, subsidi dipangkas dan ekonomi negara diarahkan untuk mengakomodasi kepentingan asing. Ironisnya, hal ini terus berlanjut hingga kini. Bahkan kondisinya diperparah dengan berbagai instrumen yang dikeluarkan Pemerintah seperti UU Omnibus Law, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Kehutanan dan Perkebunan, dan lain-lain. Semua itu membuka lebar pintu dominasi korporasi atas SDA dan buruh, melemahkan posisi rakyat, serta mengurangi peran negara sebagai pelindung.
Situasi ini bukan khas Indonesia. Dunia Islam secara umum mengalami hal serupa. Saat mereka tak memiliki sistem ekonomi merdeka, mereka akan menjadi lahan abadi yang empuk bagi kolonialisme dan imperialisme. Negeri-negeri Islam akan terus terjajah. Pada gilirannya nanti, tidak berlebihan jika dikatakan; kedaulatan ekonomi umat Islam telah sirna.
Visi Internasional
Visi internasional merupakan pandangan jangka panjang, strategis dan menyeluruh suatu negara mengenai arah kebijakan luar negerinya dalam sistem global. Ini mencerminkan tujuan besar yang ingin dicapai negara di panggung internasional, serta kepentingan ideologis, ekonomi, politik dan budaya yang ingin ditegakkan. Dengan demikian, jika suatu negara ingin diperhitungkan dalam kancah politik ekonomi dunia, negara itu harus memiliki visi internasional yang kuat.
Visi internasional itu dapat dikategorikan menjadi tiga berdasarkan ideologi yang diemban oleh negara. Visi utama negara penganut ideologi kapitalisme adalah mewujudkan dominasi global melalui perdagangan bebas, pengaruh politik dan penyebaran ide demokrasi. Visi utama negara penganut sosialisme adalah membangun masyarakat tanpa kelas melalui revolusi dan solidaritas proletar antarnegara.
Berbeda dengan keduanya yang bersifat materialistik, Negara Islam (Khilafah) membawa visi dakwah dan kepemimpinan global. Tujuan utama Khilafah dalam hubungan luar negeri adalah menyebarkan Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan membangun peradaban global yang adil dan bermartabat. Islam tak memandang dunia secara materialistik dan berorientasi ekspansi ekonomi; melainkan pembebasan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah semata-mata. Ini adalah visi spiritual, moral dan politik sekaligus. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Khilafah tidak tunduk pada kepentingan modal, tetapi tunduk hanya pada wahyu Allah SWT.
Dalam sejarahnya, Daulah Islam tidak pernah pasif atau terisolasi dari dunia luar. Setelah tegak Daulah Islam di Madinah, Rasulullah saw. segera mengirimkan surat kepada para penguasa besar dunia, seperti Kaisar Romawi (Heraklius), Raja Persia (Kisra), penguasa Mesir (Muqauqis), Raja Habasyah (Negus), dan lain-lain. Tujuannya bukan untuk menaklukkan mereka secara militer atau menguasai SDA, tetapi untuk menyampaikan seruan Islam agar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah contoh konkret diplomasi ideologis yang menjadi pilar visi internasional Daulah Islam.
Contoh lainnya, pembebasan Andalusia dari kekuasaan tiran Visigoth oleh Thariq bin Ziyad pada abad ke-8 justru membawa kemajuan besar dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, budaya dan toleransi beragama. Umat Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dalam keamanan dan kemajuan yang jauh melebihi dunia Kristen Eropa kala itu. Ini adalah bukti bahwa visi internasional Daulah Islam tak hanya bersifat spiritual, tetapi juga menghadirkan peradaban alternatif yang unggul dan beradab.
Dalam konteks situasi politik ekonomi hari ini, visi internasional Islam menolak intervensi lembaga-lembaga global yang korup. Negara Islam tidak akan tunduk pada IMF atau World Bank, dan tidak akan membiarkan mata uangnya dipatok oleh dolar AS. Bahkan Islam memiliki konsep mata uang dinar dan dirham yang stabil dan berlandaskan nilai riil, bukan fiat money (uang kertas tanpa nilai intrinsik) yang spekulatif. Lebih jauh, Khilafah akan menjadi poros kekuatan ekonomi, membangun blok dagang sendiri, dan menjadi penyeimbang hegemoni ekonomi kapitalis. Dengan visi ini, Khilafah tak hanya melindungi dirinya, tetapi juga menawarkan peradaban alternatif dunia.
Kemandirian Ekonomi Khilafah
Kemandirian ekonomi Khilafah bukan sekadar jargon atau semangat nasionalisme sempit. Ia adalah keharusan syar’i dan kebutuhan strategis. Di antarnya agar negara tak bergantung pada asing, baik dalam pembiayaan, pangan, energi maupun teknologi. Ketergantungan ekonomi justru menjadi pintu masuk dominasi asing dalam politik, hukum, bahkan budaya. Oleh karena itu, struktur ekonomi dirancang sedemikian rupa agar Daulah Islam memiliki ekonomi yang sustainable.
Islam membagi kepemilikan menjadi tiga: milik individu, umum, dan negara. Sumberdaya strategis seperti listrik, minyak, gas, hutan, laut dan tambang terkategori milik umum. Islam mengajarkan bahwa negara wajib mengelola semua itu dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi, infrastruktur, dan pelayanan publik. Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme, sektor-sektor vital ini diswastakan dan rakyat harus membayar mahal untuk mendapat akses terhadap kebutuhan dasar. Pendapatan negara juga berasal dari pos-pos syar’i, seperti: kharâj, jizyah, fa’i, ghanîmah, ‘usyûr, rikâz dan zakat. Sumber-sumber ini dikelola oleh Baitul Mal, yang berfungsi sebagai Kas Negara untuk menampung dan mendistribusikan harta sesuai syariah. Dengan sumber-sumber ini, negara tidak perlu bergantung pada utang luar negeri atau pajak permanen yang membebani rakyat.
Negara Islam juga membangun sektor pertanian dan peternakan sebagai basis pangan mandiri. Tanah yang terlantar lebih dari tiga tahun ditarik oleh negara dan dialokasikan kepada yang mampu mengelolanya. Negara mendukung petani dengan irigasi, benih, subsidi pupuk dan infrastruktur pasar. Di bidang industri, Khilafah tidak akan membiarkan negara hanya menjadi pasar. Negara akan membangun industri strategis seperti militer, logam dan mesin agar mandiri secara teknologi dan pertahanan. Tidak akan ada dominasi asing dalam industri strategis, seperti yang terjadi saat ini.
Kebijakan Tarif Resiprokal
Kebijakan perdagangan internasional dalam Islam tidak bersifat bebas seperti dalam kapitalisme. Islam mengatur perdagangan antarnegara dengan prinsip keadilan, proteksi dan resiprokalitas. Resiprokalitas Negara Khilafah menuntut perlakuan perdagangan terhadap negara lain sebanding dengan perlakuan mereka terhadap Khilafah. Jika mereka membuka pasar, kita pun membuka. Jika mereka menutup atau mengenakan tarif tinggi, kita membalasnya dengan hal yang sama.
Kebijakan ini tampak pada zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau menerima laporan bahwa pedagang Romawi dan Persia bebas memasuki wilayah Islam dan menjual barang mereka tanpa bea masuk, sementara pedagang Muslim dikenakan tarif tinggi di negara mereka. Maka dari itu Khalifah Umar memerintahkan untuk memungut ‘usyûr (bea masuk) dari pedagang asing tersebut dengan kadar yang sama seperti yang dikenakan kepada pedagang Muslim di negara mereka. Contoh nyata ini menunjukkan bahwa prinsip tarif resiprokal bukan teori, tetapi telah dipraktikkan secara adil dan bijaksana.
Negara Islam juga melarang masuknya barang asing jika terbukti merusak industri lokal, mengandung budaya merusak, atau menjatuhkan harga produk lokal melalui dumping. Ini merupakan bentuk perlindungan kedaulatan pasar dan ekonomi negara. Sebaliknya, di dalam kapitalisme, WTO menekan negara untuk membuka pasar tanpa perlindungan. Akibatnya, negara berkembang menjadi pasar tetap bagi produk negara maju. Khilafah juga tidak akan tunduk pada FTA, CEPA, atau perjanjian dagang lainnya yang membuka celah bagi negara besar menjajah negara kecil. Semua kerjasama dagang dilakukan atas dasar keadilan dan kedaulatan.
Membangun Ekonomi Dunia yang Adil
Krisis global bukanlah kebetulan, tetapi konsekuensi dari sistem kapitalisme yang rakus, materialistik dan tak manusiawi. Negara-negara lemah tidak punya tempat dalam sistem ini kecuali menjadi budak utang dan pasar abadi negara kuat. Pada saat yang sama sistem ini gagal menyelesaikan krisis pangan, utang luar negeri, kerusakan lingkungan, pengangguran massal dan ketimpangan sosial.
Oleh karena itu, dunia hari ini membutuhkan tatanan ekonomi baru yang adil, manusiawi dan visioner yang bukan hanya benteng ekonomi dalam negeri, tetapi juga aktor utama dalam menciptakan tatanan dunia baru yang adil dan seimbang. Khilafah hadir dengan visi global: membangun ekonomi dunia yang adil dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah. Prinsip ini tak hanya berlaku di dalam negeri, tetapi juga menjadi landasan hubungan antarbangsa.
Pertama: Khilafah menghapus sistem riba yang menjadi fondasi penindasan ekonomi global. Sistem keuangan hari ini membebani negara-negara miskin dengan utang ribawi, menciptakan ketergantungan, dan menghilangkan kedaulatan. Dalam Islam, semua bentuk riba haram. Bantuan keuangan diberikan tanpa syarat apapun, melalui sistem yang adil seperti hibah, zakat, dan distribusi baitul mal antar-wilayah.
Kedua: Khilafah mendistribusikan kekayaan secara adil. Negara tak hanya fokus pada penciptaan kekayaan nasional, tetapi menekankan distribusi yang merata. Wilayah miskin akan menerima alokasi kekayaan dari wilayah kaya melalui sistem Baitul Mal, zakat dan hasil SDA milik umum. SDA tidak diserahkan kepada swasta atau asing, melainkan dikelola negara untuk seluruh umat. Dengan itu ketimpangan struktural dapat dihapuskan.
Ketiga: Khilafah menerapkan sistem perdagangan internasional yang adil dan resiprokal. Perdagangan tidak dibuka secara bebas seperti yang dipaksakan oleh WTO. Khilafah akan berdagang berdasarkan prinsip timbal balik: jika suatu negara memperlakukan pedagang Muslim dengan adil maka Khilafah akan membalas dengan perlakuan serupa. Namun, jika suatu negara menutup pasarnya, maka Khilafah akan melarang produk mereka masuk ke wilayah Khilafah. Hal ini memastikan umat tidak menjadi korban penjajahan ekonomi dan dapat berdagang dengan bermartabat.
Keempat: Khilafah akan menggunakan mata uang yang stabil dan adil, yakni dinar dan dirham. Fiat money yang digunakan saat ini memudahkan manipulasi nilai tukar dan terbukti menciptakan krisis moneter global. Dinar-dirham adalah solusi yang menghindarkan spekulasi, inflasi buatan dan dominasi mata uang tertentu. Dengan ini transaksi internasional menjadi stabil dan tidak dapat dikendalikan oleh negara kapitalis manapun.
Kelima: Khilafah akan menyatukan negeri-negeri Muslim dalam satu blok ekonomi global yang kuat. Wilayah-wilayah Islam akan menjadi satu entitas pasar dan kekuatan produksi. Tidak ada batas bea atau pembatasan dagang di antara wilayah-wilayah Khilafah. Negara akan mendorong kerjasama riset, teknologi, pertanian dan industri strategis sehingga mampu bersaing di panggung global.
Kini dunia berada di ambang perubahan besar. Kapitalisme telah menunjukkan kebusukannya. Umat Islam harus siap mengambil peran; bukan sebagai pengekor, tetapi sebagai pemimpin peradaban. Maka dari itu, menegakkan Khilafah bukan sekadar pilihan ideologis, tetapi tuntutan realitas dan kebutuhan strategis umat dan dunia.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Gusman Abu Faheem, Ph.D.]
Referensi:
Global Firepower Index, “Military Strength Ranking”, 2025.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), “Military Expenditure Database”, 2023.
Defense News, ”The Rise of Turkey’s Military Industry”, 2023.
Al-Jazeera, ”Military Capabilities of Muslim Countries”, 2023.
The Middle East Institute, ”Iran’s Military Expansion and Drone Warfare”, 2004.