Afkar

Peran Penting Ulama Dan Ahlun Nushrah Dalam Perubahan

Ulama yang dibahas di sini adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan agama, lebih takut kepada Allah, dan mengamalkan ilmunya. Demikian sebagaimana kata Imam Ali bin Abi Thalib ra:

يَا حَمَلَةَ الْعِلْمِ اعْمَلُوا بِه، فَإِنَّمَا الْعَالِمُ مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَوَافَقَ عِلْمُهُ عَمَلَهُ

Wahai pengemban ilmu (ulama), beramallah dengan ilmu tersebut, karena sesungguhnya orang alim itu adalah orang yang beramal dengan apa yang dia ketahui, dan ilmunya sejalan dengan amalnya.[3]

 

Adapun terkait perubahan, pada dasarnya manusia tidak akan mau berubah kecuali jika dia memahami: (1) kondisi/realitas yang ada ini rusak atau tidak seharusnya; (2) memahami  realitas/kondisi yang lebih baik untuk menggantikan realitas yang rusak tersebut; (3) memahami bagaimana cara mengubah realitas yang rusak menjadi lebih baik.

Di sinilah peran penting ulama dalam proses perubahan. Mereka memikul amanah untuk memahamkan umat. Mereka juga dituntut menjadi pioner perubahan sebagai bentuk pengamalan ilmunya mereka.

 

Membongkar dan Membangun

Terkait perubahan, tugas utama ulama adalah membongkar  keburukan  sistem yang tidak sesuai dengan Islam, menunjukkan sisi ketidaksesuaiannya, sekaligus membangun dan memahamkan keunggulan sistem Islam. Keburukan pribadi yang tidak berpengaruh pada rusaknya masyarakat memang tidak layak untuk dibongkar, apalagi dijadikan konsumsi publik. Sebaliknya, keburukan sistem yang berdampak pada rusaknya masyarakat akibat hukum syariah yang dicampakkan mestilah dibongkar dan dilawan.

Dakwah pada level ini memang bukan dakwah yang manis dan mudah. Sangat berpotensi mendapatkan banyak penentangan. Bagaimana tidak ditentang jika di tengah-tengah penyembah berhala Nabi menyatakan bahwa berhala-berhala tersebut tidak mampu menciptakan lalat, tak mampu pula membela diri dari lalat yang mengambil sesuatu dari mereka.[5]

Beliau juga tak segan menyampaikan:

إِنَّكُمۡ وَمَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ ٩٨

Sungguh kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan neraka Jahanam (QS aI-Anbiya’ [21]: 98).

 

Karena mengkritik akidah dan pemikiran yang rusak inilah, Rasulullah saw. yang semula dihormati dan digelari al-Amîn, akhirnya dimusuhi. Lalu kaum Quraisy melobi paman Nabi agar menghalangi dakwah beliau. Mereka mengancam, “Kami, demi Allah, tidak dapat bersabar atas hal ini, dari caciannya atas bapak-bapak kami, dan membodohkan akal kami dan mengejek tuhan-tuhan kami.”[6]

Puncaknya adalah ketika mereka berkomplot mau membunuh Nabi saw.

Pasca Nabi saw. Khulafa ar-Râsyidîn wafat, para ulamalah garda terdepan dalam menjaga Islam, termasuk sistem Khilafah, agar tidak menyimpang sedikitpun dari minhâj kenabian. Saat Muawiyah menunjuk putranya sebagai khalifah, dengan mengklaim bahwa hal ini mengikuti Abu Bakar,  Abdurrahman bin Abu Bakar dengan lantang dan terang-terangan berkata, “Ini adalah sunnah (tradisi) Hiraqlius dan Kaisar. Sungguh Abu Bakar, demi Allah, tidak pernah menunjuk salah seorang anaknya atau salah seorang keluarganya untuk menjadi khalifah. Tidak lain Muawiyah ini hanya ingin memberikan kasih-sayang dan kehormatan kepada anaknya.”[7]

Para ulama bahkan mempertaruhkan nyawanya. Imam al-Husain terbunuh. Terbunuh pula Abdullah bin Zubair, berikutnya para fuqaha’ Madinah dalam peristiwa al-Harrah, hingga terbunuhnya Said bin Jubair.[8]

Setelah itu para ulama melakukan amar makruf  nahi mungkar menurut kemampuan mereka untuk mengembalikan pemerintahan agar sesuai dengan minhâj kenabian.  Di antara upaya itu tergambar dari apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H) terkait Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dengan Ibrahim as-Shâ’igh (w. 131 H), seorang perawi hadis dan fuqahâ’ dari Khurasan, yang dibunuh penguasa karena berulang memberikan nasihat secara tegas.[9]

Para ulama tidak berhenti. Dengan kemampuan yang ada, mereka berupaya memberikan penjelasan dan pemahaman kepada umat tentang bagaimana sistem yang ideal itu. Di antara mereka ada Imam al-Juwaini (w. 478 H) dari mazhab Syafii dengan kitabnya, Ghiyâts al-Umam fî at-Tiyâts azh-Zhulâm; juga Imam as-Simnani (w. 499 H), dari mazhab Hanafi, dengan kitabnya, Rawdhah al-Qudhât  wa Tharîq an-Najât.[10]

Bahkan setelah sistem Khilafah runtuh pun, para ulama tetap berupaya memahamkan umat tentang realitas yang ada, sekaligus realitas ideal yang hendaknya  umat perjuangkan. Hal tersebut bisa dilihat dari Syaikh Jâd al-Haq, Syaikh al-Azhar pada masa lalu, dalam kitabnya, Bayân[un] li an-Nâs, hingga H. Sulaiman Rasyid dalam bukunya, Fiqh Islam.  Dalam buku tersebut, setelah menjelaskan prinsip-prinsip sistem pemerintahan Islam, beliau menulis: ”Fardu kifayah atas kaum Muslim sedunia berusaha mencari jalan untuk menyatukan pimpinan. Kewajiban ini tetap hingga tercapai apa yang dimaksud.”[11]

 

Mengembalikan Sistem Khilafah

Ketika Tatar menyerang, dan khalifah terbunuh, pusat Kekhilafahan dikuasai mereka. Pasukan Tatar makin merajalela. Penduduk Mesir takut. Bahkan sang Sultan (gubernur Mesir) dan pasukannya juga tidak berdaya. Pada saat genting itulah muncul ulama yang membangkitkan semangat dalam jiwa masyarakat.

Alih-alih takut, Syaikh Izzuddin bin Abdussalam (w. 660 H) justru mengobarkan semangat jihad mereka. Ketika dimintai pertimbangan oleh sang Sultan terkait siapa yang akan menjaga kekuasaan dan masalah biaya menghadapi tentara Tatar, beliau menjawab, ”Berangkatlah. Aku menjamin bahwa Allah SWT akan memberikan kemenangan kepada kalian.”

Sang Sultan pun menyahut, ”Harta yang ada di kas negara sedikit. Aku ingin meminjam dana dari pedagang guna membiayai perang melawan Tatar.”

Syaikh Izzuddin bukan hanya bisa menyemangati, namun beliau memberikan solusi, ”Jika musuh sudah memasuki negara Islam, Imam wajib memerangi mereka. Jika memang harta di kas negara sedang kosong, Anda jual saja barang-barang mewah dan alat-alat yang berharga mahal. Setiap personal pasukan cukup dengan kendaraan dan senjata. Bersama-sama rakyat mereka kompak melawan musuh. Jangan memungut sumbangan dari rakyat kalau kebutuhan untuk pasukan sudah dianggap cukup.” [12]

Syaikh Izzuddin tidak hanya memperhatikan persoalan serangan Tatar. Beliau pun memberikan perhatian besar terkait Khilafah bagi umat Islam. Setelah mengalahkan pasukan Tatar pada Perang Ain Jalut tahun 1260 M, setelah Sultan Qutuz wafat, lalu Baibars menjadi Sultan dengan gelar Al-Malik azh-Zhahir,  pada tahun 1261 M Syaikh Izzuddin menyuruh Al-Malik az-Zhahir untuk melakukan baiat kepada calon Khalifah, yakni al-Mustanshir. Al-Malik azh-Zhahir tidak menentang. Dia menjawab, “Saya tidak pandai melakukan itu. Anda saja yang membaiat dia lebih dulu, setelah itu baru saya.”[13]

Inilah keberanian ulama dalam menyampaikan kebenaran. Beliau tidak takut jika pandangannya akan membuat penguasa murka kepada dirinya. Beliau tidak ‘memutar-mutar dalil’ lalu berkilah, ”Yang diwajibkan agama itu sebatas mengangkat pemimpin secara umum, boleh presiden, raja, kaisar, atau yang lain. Kan sudah ada Al-Malik az-Zahir sebagai pemimpin umat Islam di Mesir. Ini sudah memadai tak perlu mengangkat khalifah.”

Al-Malik az-Zhahir Ruknuddin Baibars sendiri adalah penguasa besar. Dengan dukungan ulama, dia mengalahkan pasukan Tatar dalam pertempuran ‘Ain Jalut, kemudian dia mengalahkan Pasukan Salib dalam beberapa pertempuran dari Arsuf, Athlith, Haifa, Safad, Jaffa, Ashkalon, Caesarea, hingga Antiokhia (Armenia). Praktis kekuasaannya meliputi Mesir hingga Suriah.

Andai yang dituntut dalam Islam sekadar adanya pemimpin, tentu Al-Malik azh-Zhahir sudah sangat lebih baik dibandingkan dengan para pemimpin saat ini. Namun, keberadaan pemimpin seperti ini tidak menggugurkan kewajiban menegakkan sistem Khilafah.

 

Peran Ahlun Nushrah

Ahlun Nushrah atau Ahlul Quwwah adalah pihak yang mampu memberi pertolongan (nushrah) secara riil dengan kekuatan dan kekuasaan mereka. Dengan itu mereka mampu mengubah sistem kufur menjadi sistem Islam.  Ahlun Nushrah bisa dari kalangan yang sedang memegang kekuasaan, seperti kepala negara atau kelompok perwira berpengaruh; atau tidak sedang memegang kekuasaan namun memiliki pengaruh yang kuat kepada masyarakat, seperti  kepala kabilah, pimpinan partai politik, dll.[14]

 

Tugas Ahlun Nushrah

Sebagai seorang Muslim, mereka punya kewajiban yang sama dengan Muslim lainnya. Karunia Allah berupa kekuatan, kedudukan dan kekuasaan wajib digunakan untuk menyokong dakwah. Semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT dan kelak akan menjadi kehinaan jika tidak digunakan untuk meninggikan kalimat-Nya.

Mereka, dengan kekuatan dan  kekuasaan mereka, memiliki dua tugas:  Pertama, memberikan perlindungan kepada para individu pengemban dakwah dan kegiatan dakwahnya. Kedua, menjadikan kekuatan dan  kekuasaan mereka guna menegakkan hukum-hukum Allah secara kâffah. Ini hanya bisa terealisasi dengan sistem Khilafah.

 

Teladan Ahlun Nushrah 

Rasulullah saw. telah mencari nushrah dari para tokoh yang memiliki kekuatan. Kabilah Thaif menolak beliau, bahkan membuat kaki beliau berdarah-darah. Kabilah lainnya menolak beliau dengan kasar. Kabilah lainnya memberikan syarat kepada beliau yang beliau tolak. Namun, beliau tetap tidak mengubah metode beliau. Beliau  tetap tidak memakai langkah fisik/militer meskipun para Sahabat merupakan orang-orang pemberani. Beliau terus melakukan hal ini hingga mencapai 15 kabilah dan marga yang pernah beliau datangi. Lalu Allah membukakan hati pemuka Yatsrib. Mereka kemudian disebut sebagai kaum Anshar. Maknanya adalah orang-orang yang memberikan nushrah (pertolongan). Di antara tokoh yang sangat berperan dalam menolong dakwah adalah As’ad bin Zurarah ra., tokoh suku Khazraj, dan Saad bin Muadz r.a, tokoh dari Suku Aus.

Sebagai orang yang memiliki kedudukan di tengah kaumnya tidak dengan begitu mudah menerima kepemimpinan orang lain. Begitu pula dengan As’ad bin Zurarah. Secara naluriah berat bagi dia untuk memberikan kekuasaan kepada orang lain. Namun, keimanan beliau lebih dominan dari nalurinya. Beliau katakan, “Hal tersebut (dipimpin oleh orang beda suku) adalah perkara sulit. Namun, kami  (telah bersepakat untuk) memenuhi seruan itu.” [15]

Tak hanya menerima, As’ad bin Zurarah r.a juga memfasilitasi dakwah Mushab bin Umair ra. di Madinah hingga berkembang pesat. Hal ini membuat Saad bin Muadz gusar, lalu mengutus Usaid bin Hudhair untuk ‘mempersekusi’ dakwah. Namun, dengan izin Allah justru Usaid dan Saad masuk Islam. Setelah masuk Islam,  Saad berkata kepada kaumnya, ”Wahai Bani Abdul Asyhal, apa pendapat kalian tentang diriku di tengah kalian?”

Mereka menjawab, ”Engkau adalah pemimpin kami, orang yang paling kami ikuti pendapatnya di antara kami dan orang yang paling kami percaya.”

Saad lalu berkata, “Sungguh perkataan para laki-laki serta perempuan dari kalian bagi saya adalah haram sampai kalian mengimani pada Allah serta Rasul-Nya.”

Belum sampai petang hari, laki-laki maupun perempuan di Bani Abdul Asyhal sudah masuk Islam.[16]

Bukan sekadar masuk Islam dan mengajak kaumnya masuk Islam, Saad juga terjun dalam berbagai pertempuran bersama Rasulullah saw. Tak aneh ketika Saad wafat, Rasulullah saw. mengabarkan:

هَذَا الَّذِي تَحَرَّكَ لَهُ الْعَرْشُ، وَفُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَشَهِدَهُ سَبْعُونَ أَلْفًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ

Inilah hamba yang karena dia telah berguncang ‘Arsy, dibuka untuk dia pintu-pintu langit, dan 70.000 malaikat mengantarkan dirinya.[17]

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Muhammad Taufik NT]

 

 

Catatan kaki:

[1] Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakr Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, Pentahkik. Abd al-Aliy Abd al-Hamid, Cet. I. (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003), Juz 3, h. 317.

[2] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz 1, h. 59.

[3] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, At-Tibyân Fî آdâbi Hamalati al-Qur’ân, Pentahkik. Muhammad Hajjar, Cet. II. (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1994), h. 36.

[4] Ahmad ‘Athiyyât, At-Tharîq, Dirâsatun Fikriyyatun Fî Kayfiyyati al-‘Amal Li Taghîiri Wâqi’  al-Ummah Wa Inhâdhihâ (Beirut: Dâr al-Bayâriq, 1996), h. 21.

[5] QS. Al Hajj: 73

[6] Ibnu Hisyam, Al-Sîrah al-Nabawiyyah (Mesir: Musthafa al-Bâbi, 1955), Juz 2, h. 100.

[7] Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin Al-Suyuthi, Târîkh Al-Khulafâ’, Pentahkik. Hamdi al-Dimirdasy, Cet. I. (Riyadh: Maktabah Nizar Mushtafa al-Baz, 2004), h. 154; Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Pentahkik. Muhammad Zuhair bin Nashir, Cet. I. (Dâr Tûq al-Najâh, 1422), Juz 6, h. 133.

[8] Hisyam bin Abdul Karim Al-Badrani, An-Nizhâm as-Siyâsi  Ba’da  Hadmi  Daulah al-Khilâfah,  Dirâsatun Syar’iyyah (Irak: Az-Zahra al-Haditsah, t.th), h. 43.

[9] Ahmad bin Ali Al-Jasshâsh, Ahkâm Al-Qur’ân, Pentahkik. Muhammad Shiddiq al-Qamhawi (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1405), Juz 2, h. 319–320; Al-Badrani, An-Nizhâm as-Siyâsi  Ba’da  Hadmi  Daulah al-Khilâfah,  Dirâsatun Syar’iyyah, h. 43-44.

[10] Al-Badrani, An-Nizhâm as-Siyâsi  Ba’da  Hadmi  Daulah al-Khilâfah,  Dirâsatun Syar’iyyah, h. 46-47.

[11] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Cet. XXXII. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1988), h. 506.

[12] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit Dan Runtuhnya Daulah Ayyubiyah, Penerjemah. Abdul Rosyad Shiddiq dan Siti Salma Adam Musthofa, Cet. I. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), h. 580.

[13] Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz Adz-Dzahabi, Siyaru A’lâmi an-Nubalâ, Pentahkik. Syu’aib al-Arnauth dkk, Cet. III. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1985), Juz 23, h. 169.

[14] Muhammad Muhsin Radhi, “Hizb At-Tahrîr, Tsaqafatuhu Wa Manhajuhu Fî Iqâmati Daulati al-Khilâfati al-Islâmiyyah” (Tesis, Universitas Baghdad (UOB), 2006), h. 312, 313.

[15] Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Dalâil An-Nubuwwah (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1986), Juz 1, h. 264.

[16] Ibnu Hisyam, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Juz 1, h. 437.

[17] Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ’Ali Al-Nasa-i, Sunan Al-Nasa-i, Pentahkik. Abdul Fattah Abu Ghuddah, Cet. II. (Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islamiyyah, 1986), Juz 4, h. 100.

[18] Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani, Fadhâil As-Shahâbah, Pentahkik. Wasiyullah Muhammad Abbas, Cet. I. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1983), Juz 2, h. 820.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen + ten =

Back to top button