Analisis

Cara Islam Mencegah Rezim Represif

Periode kedua pemerintahan Jokowi dinilai banyak pihak sebagai penegasan dan peneguhan atas kembalinya otoritarianisme gaya baru atau neo-authoritarianism.

 

Akar Masalah Rezim Represif

1)        Menjadikan kekuasaan sebagai tujuan.

Kesalahan otoritarianisme dan para penganutnya ialah memandang kekuasaan bukan sebagai sarana, melainkan untuk tujuan. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana kekuasaan berfungsi, digunakan dan ditampakkan. Apa yang hendak dicapai, bagaimana cara mencapainya, dan nasib orang-orang yang diikutsertakan dalam pencapaian tidaklah penting.1

Di dalam sistem sekular, penguasa menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Penguasa tersebut akan berusaha untuk melanggengkan kekuasaan. Untuk maksud itu, berbagai cara ditempuh, termasuk mengubah undang-undang yang mengatur masa jabatan.  Hal seperti itu pernah terjadi pada zaman Soekarno di Indonesia yang mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Terjadi juga di Cina. Xi Jinping pada akhirnya ditetapkan sebagai presiden Cina seumur hidup. Sebagian penguasa lainnya berusaha mengubah berbagai peraturan perundang-undangan untuk memperkuat posisinya. Konsep trias politika tak lagi diindahkan.

Semua itu terjadi karena penguasa tersebut menjadikan kekuasaan sebagai tujuannya. Alih-alih mengedepankan prinsip layanan kepada rakyat, yang ada di benak para penguasa tersebut adalah bagaimana caranya melanggengkan kekuasaan, dan bagaimana caranya dapat menyingkirkan lawan-lawan politiknya, baik dengan cara memukul maupun dengan cara merangkul (stick and carrot strategy). Penguasa berlindung di balik pasal-pasal “penghinaan” , “pencemaran nama baik”, “berita bohong (hoaks)” dan “makar” untuk mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis.

Ketika semua lawan-lawan politik telah berhasil diberangus dan kelompok-kelompok oposisi lainnya berhasil dijinakkan, maka penguasa akan semakin kuat, dan pada akhirnya bisa mengambil kebijakan atau tindakan apapun sesuai dengan kehendaknya. Pada titik itulah penguasa tersebut akan menjadi semakin represif dan otoriter.

 

2)        Menjadikan demokrasi sebagai alat untuk meningkatkan legitimasi kekuasaan.       

Kekuasaan yang represif tidak selalu muncul dari penguasa yang merebut kekuasaan melalui jalur kudeta atau penggulingan penguasa yang sah secara paksa, tetapi justru berawal dari proses yang paling demokratis, yaitu pemilihan umum. Levitsky dan Ziblatt2 menuliskan bahwa Adolf Hitler, Benito Mussolini dan Hugo Chavez memang gagal meraih tampuk kekuasaan lewat kudeta, tetapi berhasil menjadi diktator usai melalui proses pemilihan umum. Proses tersebut sekaligus juga awal tumbuhnya otoritarianisme dan perilaku rezim yang represif.

Sistem demokrasi yang bertumpu pada falsafah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) justru menjadi pintu masuk yang sangat efektif bagi tumbuh suburnya rezim yang otoriter dan represif. Dengan dalih atau klaim telah mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui proses demokratis (Pemilu), penguasa kemudian dapat mengambil kebijakan sesuai dengan kehendaknya. Menempuh segala cara, tanpa peduli batasan halal-haram, untuk mendapat-kan legitimasi kekuasaan dan legitimasi atas setiap kebijakan yang diambilnya. Upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK, pelemahan institusi MK melalui revisi UU MK, kriminaliasi lawan-lawan politik melalui revisi UU ITE, dan sejumlah kebijakan lainnya, dilakukan untuk menguatkan legitimasi kekuasaannya sekaligus melemahkan kekuatan kelompok yang berseberangan dengannya.

Peneliti dari Australian National University (ANU), Profesor Greg Fealy, beberapa waktu yang lalu menyebut Presiden Jokowi, di balik slogan keberagaman yang kerap ia dengungkan, ternyata telah bertindak represif terhadap kelompok islamis dalam kurun empat tahun terakhir. Menurut Greg, kebijakan anti-Islamis di Indonesia telah mengikis hak asasi manusia dan merusak demokrasi.3

 

3)        Menjadikan kepentingan oligarki di atas kepentingan rakyat.

Para penguasa dalam sistem demokrasi yang dipilih melalui proses pemilihan umum memerlukan modal yang sangat besar agar dapat memenangkan kontestasi. Karena biaya politik untuk memenangkan kontestasi sangat mahal (high cost politic), menjadi setiap kontestan akan sangat bergantung pada keberadaan para pemodal yang bersedia menopang biaya politik untuk pemilihan. Di sinilah kemudian segelintir pemilik modal tersebut (oligarki) bersekutu dengan penguasa yang terpilih untuk meraih tujuannya, dengan mengabaikan kepentingan rakyat.

Lahirnya UU No. 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maupun yang terbaru UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, semakin meneguhkan bahwa penguasa sedang bekerja untuk kepentingan oligarki. Bukan untuk kepentingan rakyat.

UU No. 2/2020 yang sering disebut sebagai undang-undang penanganan Pandemi Covid-19 tak lebih adalah akal-akalan rezim untuk melegalkan penambahan utang baru dan meningkatkan defisit APBN sampai di atas 3%, bahkan membengkak sampai Rp 1.039,2 triliun. Yang berbahaya, UU ini melegalkan bahwa defisit dapat dipenuhi salah satunya dari dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada BUMN. Pasal 27 UU tersebut membuka peluang terjadinya korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan negara, baik karena adanya perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, karena semua objek pengeluaran negara yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat 1 diklasifikasikan bukan sebagai kerugian negara.

UU No. 3/2020 juga memberikan keistimewaan kepada para pengusaha tambang. Para pengusaha tersebut merupakan bagian dari oligarki. Keistimewaan itu berupa kemudahan dalam perpanjangan ijin, pengenaan royalti 0% untuk pengolahan hasil tambang, jangka waktu konsesi yang lebih lama, dan lainnya.

UU No. 11/2020 yang diharapkan bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya sesungguhnya merupakan karpet merah bagi investor atau oligarki ekonomi untuk menguasai sumberdaya alam secara lebih massif. UU ini memberikan sejumlah kemudahan dalam proses perijinan, ketenagakerjaan, kepemilikan properti, sampai dengan penyederhanaan perijinan lingkungan.

UU ini menempatkan masyarakat, termasuk kelompok buruh, dalam posisi yang lemah dan hampir tidak mempunyai posisi tawar. Penolakan yang luas dari berbagai kalangan masyarakat, baik buruh, intelektual, mahasiswa, ulama dan profesional, tidak membuat penguasa bergeming. Hal itu semakin menunjukkan bahwa penguasa bekerja bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan tuannya, yaitu pemilik modal atau para oligarki.

 

Solusi Islam

Keberadaan rezim represif merupakan keniscayaan sejarah. Ini sebagaimana disabdakan oleh baginda Rasulullah saw.:

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ، قِيل: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَال: الرَّجُلُ التَّافِه في أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang ke pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu pendusta dibenarkan. Orang yang benar didustakan. Pengkhianat diberi amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Saat itu Ar-Ruwaibidhah berbicara.” Ditanyakan, “Apakah Ar-Ruwaibidhah?” Beliau bersabda, “Seseorang yang bodoh tetapi sok mengurusi urusan orang banyak.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

 

Islam mempunyai sejumlah perangkat atau sistem yang dapat mencegah dan menangkal agar penguasa dalam sistem Islam tidak menjelma menjadi kekuasaan yang otoriter maupun represif. Di antaranya:

 

1)        Kekuasaan ada untuk mengurus rakyat (ri’ayah syu’un al-ummah).

Politik Islam (as-siyasah al-islamiyah) bermakna pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam, baik di dalam maupun luar negeri (ri’ayah syu’un al-ummah dakhiliy[an] wa kharijiy[an] bi al-ahkam al-islamiyyah). Aktivitas politik dilaksanakan oleh rakyat (umat) dan pemerintah (negara). Pemerintah/negara merupakan lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis. Umat mengontrol sekaligus mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Pengertian ini sesuai dengan realitas empiris yang ada di tengah-tengah masyarakat dan berlaku umum, karena diambil berdasarkan fakta politik yang ada dan ditinjau dari sisi politik itu sendiri.

Definisi ini juga diambil dari hadis-hadis yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum Muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga.” (HR al-Bukhari).

Nabi saw. juga bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang ditetapkan oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah akan mengharamkan dirinya masuk ke dalam surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dua hadis di atas semuanya menunjukkan makna politik, yaitu mengurusi kepentingan umat. Jadi, peran penguasa dalam pandangan Islam adalah untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada rakyat yang dia pimpin. Ini berarti, kekuasaan hanya sebatas alat atau sarana, bukan sebagai tujuan. Inilah salah satu perbedaan diametral sistem Islam dengan sistem demokrasi sekular.

Penguasa dalam Islam diangkat untuk mengurusi berbagai kepentingan rakyat sesuai dengan syariah Islam seperti mengurus ekonomi (pemenuhan kebutuhan asasi rakyat, pertanian, perdagangan, perindustrian, pengelolaan keuangan serta pengelolaan kepemilikan umum dan negara), keamanan dalam negeri, hubungan luar negeri, jihad, hukum (uqubat), sosial budaya, dll.

Proses pemilihan penguasa dalam Islam juga sederhana dan murah, sehingga tidak diperlukan adanya para pemodal untuk menyokong proses kontestasi. Dengan begitu para penguasa yang terpilih pun bisa fokus untuk mengurusi kepentingan rakyat, karena tidak terbebani untuk balas budi kepada para pemilik modal atau oligarki.

 

2)        Standar hukum yang jelas (Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya).

Dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Daulah Khilafah, penguasa atau Khalifah memerintah dengan bersandarkan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya atau Hukum Syariah. Dengan demikian, standar hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan rakyat, khususnya dalam masalah muamalah sangat jelas, yaitu syariah Islam (Lihat: QS al-Maidah [5]: 15-16).

Khalifah dalam kebijakannya harus selalu merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah. Kalau kebijakan atau perintah Khalifah menyimpang dari sumber hukum itu—misalnya membuka keran investasi asing dalam sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, mengambil utang luar negeri berbasis riba, menjual aset-aset negara, melarang rakyat untuk menyampaikan kritik, menggunakan pendekatan kekerasan atau melakukan aktivitas tajassus (memata-matai) kepada rakyatnya, membiarkan berkembangnya paham sekularis-me liberal maupun sosialis komunisme, dll—maka ia tidak wajib ditaati. Khalifah mungkin saja menyimpang karena dia manusia biasa.

Oleh karena itu, dalam Islam ada kewajiban—bukan hanya hak—untuk mengoreksi penguasa yang menyimpang. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi kezaliman penguasa meskipun taruhannya adalah kematian. Rasulullah saw. bersabda:

سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَه

Pemimpin para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim, lalu dia memerintahkan (kebaikan) dan melarang (keburukan), kemudian penguasa zalim itu membunuh dirinya (HR al-Hakim dan ath-Thabarani).

 

Para Khalifah juga tak ragu-ragu untuk meminta diluruskan jika menyimpang dari syariah. Demikian sebagaimana kisah Umar bin Khaththab ra. ketika berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin.

 

3)        Penegakan hukum yang setara untuk semua (equality before the law).

Dalam Daulah Khilafah, hukum berlaku setara bagi siapa pun (equality before the law). Oleh karena itu, tatkala rakyat melihat kebijakan penguasa di wilayahnya yang tidak sesuai dengan syariah, maka rakyat langsung melaporkan kepada Khalifah. Khilafah pun menjamin dan melindungi setiap kritik dan aduan rakyat kepada pejabat. Padahal itu bisa berpotensi mencemari nama baik dan karir sang pejabat. Khalifah menjamin rakyatnya tidak akan dikriminalisasi apalagi diproses hukum sebagai upaya membungkam mereka.

Diriwayatkan, Abdurrahman putra Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dan orang lain sedang minum-minuman keras. Mereka sejatinya tidak tahu yang diminum adalah minuman yang memabukkan. Setelah minum, keduanya mabuk. Melihat apa yang terjadi pada dirinya, mereka kemudian mendatangi Gubernur Amr bin al ‘Ash – Gubernur Mesir pada waktu itu – untuk memohon agar hukuman had diterapkan kepada dirinya. Namun, Gubernur Amr justru malah mengusir keduanya.

Merasa mendapat kebijakan yang tidak semestinya, Abdurrahman berkata kepada Gubernur Amr, “Jika engkau tidak menerapkan hukuman had, saya akan memberitahu Ayahku.” Amr bin al ‘Ash berkata, “Saya sadar, jika saya tidak menerapkan hukuman had kepada mereka berdua, Umar bin al-Khaththab marah dan akan memecatku.”

Amr bin al ‘Ash akhirnya menerapkan hukuman had kepada keduanya, namun tidak di hadapan orang-orang. Gubernur Amr menggunduli kepala keduanya di dalam rumahnya. Hukuman yang sebenarnya adalah digunduli kepalanya dan dicambuk dalam waktu yang bersamaan di hadapan orang banyak. Tatkala Khalifah Umar mendengar aduan dari rakyatnya bahwa hukuman yang diberikan kepada Abdurrahman dan temannya tidak sesuai dengan aturan yang ada, Khalifah Umar pun menulis surat kepada Gubernur Amr.

Surat itu isinya memarahi Amr bin al-‘Ash karena tidak menggunduli putranya di hadapan orang banyak. Isi lengkap surat tersebut adalah: “Aku mendengar kamu mencambuk Abdurrahman dan menggunduli kepalanya di dalam rumahmu. Dengan perbuatanmu ini berarti kamu tidak menaati perintahku. Abdurrahman adalah salah satu rakyatmu. Kamu harus menerapkan hukuman kepada dia seperti kamu menerapkan hukuman kepada yang lain. Dalam menerapkan hukuman, kamu tetap menganggap dia sebagai putra Amirul Mukminin. Bukankah kamu mengetahui bahwa aku dalam menerapkan hukuman tidak membedakan antara satu dengan yang lain?”

Apa yang menimpa Gubernur Amr bin al ‘Ash dan putra Khalifah Umar bin al-Khaththab ra, Abdurrahman, dalam kisah di atas menunjukkan bagaimana dalam Khilafah, Khalifah harus bersikap adil. Walau itu bersinggungan dengan pejabatnya atau keluarganya sendiri. Sebabnya, dalam Islam, semua orang adalah rakyat. Semua rakyat kedudukannya sama di mata hukum.

Dalam sistem Khilafah, terdapat pula Mahkamah Mazhalim yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (Khalifah). Rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya kepada mahkamah ini. Qadhi (hakim) ini juga secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan syariah tanpa ada penindasan pada rakyat. Guna memastikan agar Qadhi Mazhalim bebas dari tekanan politik, syariah membatasi kekuasaan eksekutif Khalifah untuk tidak memiliki wewenang memberhentinkan seorang Qadhi Mazhalim dari posisinya, jika Qadhi itu sedang menyidangkan kasus yang melibatkan Khalifah, Muawwin Tafwidh (Pembantu Khalifah dalam Urusan pemerintahan) atau Kepala Pengadilan (Qadhi al-Qudhat). [Fajar Kurniawan; (Analis Senior, Pusat Kajian dan Analisis Data)]

 

Catatan kaki:

1        A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 174-177.

2        Ibid. 1

3        Profesor Greg Fealy menuangkan pemikirannya tersebut dalam artikel berjudul ‘Jokowi Repressive Pluralism’ yang dimuat di East Asia Forum pada 27 September 2020. Artikel tersebut merupakan intisari dari makalah Greg yang berjudul ‘Jokowi in the COVID-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Over-Bearing State’.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 − six =

Back to top button