Fokus

Rezim Makin Represif


Q: What is democracy?

A: Democracy is the freedom to elect our own dictators

 

Joke yang beredar di dunia maya itu hanya salah satu dari keputusasaan netizen terhadap sistem demokrasi. Sistem demokrasi digadang-gadang menjamin kebebasan. Jauh dari tangan besi ala kediktatoran. Ternyata juga bisa menjelma menjadi sebuah pemerintahan represif.

Daya pikat demokrasi begitu kuat. Banyak orang di dunia begitu antusias terhadap demokrasi. Sistem politik dari Yunani kuno ini dianggap sebagai antitesis dari kediktatoran. Sistem tirani ini sepanjang sejarah peradaban manusia dianggap sebagai momok. Rezim-rezim komunis dan para penguasa Timur Tengah biasanya dijadikan potret kediktatoran yang buram dan represif.

Siapa yang menyangka bila demokrasi itu bisa melahirkan pemerintahan yang juga bertangan besi. Represif. Itulah potret yang terlihat dari pemerintahan Jokowi dalam dua periode pemerintahannya. Bahkan di periode kedua, gaya otoriter yang ditampakkan Jokowi menjadi-jadi. Padahal Jokowi sering berseloroh: mana mungkin tampang seperti dia bisa diktator.

Fakta berbicara lain. Democracy Index 2017 yang dirilis The Economist mencantumkan, dari 167 negara yang disurvei, penurunan terbesar dalam kebebasan demokrasi terjadi di Indonesia. Peringkat demokrasi Indonesia turun dari peringkat ke-48 di dunia ke peringkat ke-68 hanya dalam waktu satu tahun. Penurunan iklim demokrasi ini akibat gaya kepemimpinan otoriter Jokowi.

Di mata para pengamat politik asing.  “Sekarang para kritikus dan para pendukung Jokowi sama-sama bertanya, seberapa aman sebenarnya (demokrasi) Indonesia dari kemunduran menjadi negara otoriter,” tulis Matthew Busch dalam artikelnya berjudul, “Jokowi’s Panicky Politics,” yang ditulis di laman Majalah Public Affairs.

Para pengamat asing menunjuk tindakan Jokowi membubarkan HTI, pembubaran berbagai aksi gerakan #2019GantiPresiden, penggunaan instrumen hukum untuk menekan lawan politik, dan pelibatan kembali militer dalam politik sebagai indikator perubahan arah dan gaya pemerintahan Jokowi.

“Jokowi terbukti menjadi pemimpin yang tidak sabar dan reaktif. Dia dengan mudah tersentak oleh ancaman politik. Seperti banyak politisi Indonesia, tampaknya dia nyaman menggunakan alat-alat tidak liberal untuk mempertahankan posisi politiknya,” tulis Eve Warburton dan Edward Aspinall dalam artikel berjudul, “Indonesian Democracy: from Stagnation to Regression?” di laman The Strategist yang diterbitkan Australian Strategic Policy Institut.

Di dalam negeri, para pengamat dan berbagai lembaga hukum juga memandang pemerintahan Jokowi kian otoriter. YLBHI pada bulan Oktober merilis 28 tanda-tanda pemerintah otoriter. Menurut Direktur YLBHI Asfina, tanda-tanda otoriter pemerintah Jokowi ini dikumpulkan mulai tahun 2015 hingga 2020. Di antaranya: memperlemah (kemungkinan adanya) oposisi dengan mengacak-acak parpol dengan melawan hukum putusan MA, membiarkan pembantunya membangkang terhadap putusan MK, membatasi penyampaian pendapat di muka umum melalui PP 60/2017 yang bertentangan dengan UU 9/1998, membubarkan ormas tanpa pengadilan, dsb.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, Busyro Muqqodas, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memberikan contoh bagaimana demokrasi mundur di era Jokowi. Salah satunya soal penempatan banyak polisi ke dalam instansi-instansi pemerintahan.

Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, lembaga yang rutin mengeluarkan kajian sosial sejak Orde Baru, mengatakan setidaknya ada empat indikator sebuah negara atau sistem pemerintah bisa disebut otoriter. Indikator-indikator itu diambil dari buku terbaru Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Dies, yang terbit 2018 lalu.

Ironisnya, Indonesia sudah memenuhi keempat indikator itu, kata Wijayanto. Indikator pertama adalah adanya penolakan atau setidaknya memiliki komitmen yang lemah terhadap aturan main yang demokratis. Kata Wijayanto, hal tersebut terlihat ketika Jokowi menginstruksikan kepala daerah hingga tentara untuk mengampanyekan kebijakan Pemerintah dan meminta mereka menangkal banyak kabar palsu terkait dirinya sebelum Pilpres 2019.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan, situasi demokrasi saat ini makin suram dan pemerintah cenderung mengarah ke otoritarianisme karena beberapa hal. “Pada akhir 2019 LP3ES menerbitkan outlook demokrasi yang mengabarkan kemunduran demokrasi dan kecenderungan putar balik ke arah otoritarianisme,” kata Wijayanto dalam diskusi daring bertajuk Demokrasi di Masa Pandemi, Selasa (17/11/2020).

 

Membungkam Suara Kritis

Salah satu indikasi matinya demokrasi yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam How Democracies Dies, adalah membungkam kelompok oposisi. Hal ini dilakukan rezim Jokowi terhadap kelompok-kelompok yang vokal menentang kebijakan Pemerintah. Tuduhan yang sering diberikan adalah upaya makar terhadap Pemerintah. Nama-nama seperti Sri Bintang Pamungkas, Aditya Warman hingga mantan Pangkostrad Kivlan Zein masuk di dalamnya. Semua menjadi tersangka percobaan makar.

Pada tahun 2020, ketika sejumlah tokoh nasional mendeklarasikan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), yang melibatkan sejumlah nama seperti Said Didu, Syahganda Nainggolan, Rocky Gerung, MS Ka’ban, lagi-lagi mereka seperti jadi sasaran penangkapan. Tak berapa lama, sejumlah tokoh KAMI diciduk aparat. Lagi-lagi dengan tuduhan makar. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana masuk dalam daftar penangkapan.

 

Gunakan Organ Pemerintah

Dalam menangkal dan membungkam kelompok-kelompok kritis, Pemerintah justru sering menggunakan organ-organ Pemerintah seperti aparat keamanan. Selama tahun 2018, polisi telah meningkatkan upaya untuk menekan gerakan #2019GantiPresiden. Polisi, misalnya, selain membubarkan berbagai agenda, juga melakukan penyitaan dan mengintimadasi orang yang menampilkan hashtag #2019GantiPresiden.

Polisi pun aktif membubarkan berbagai agenda deklarasi KAMI di berbagai daerah. Panitia juga mengalami sejumlah tekanan dari aparat. Tak jarang, Polisi menggunakan bantuan kelompok masyarakat lain untuk menekan acara-acara yang digelar kaum oposisi.

Bagi Jokowi, ‘polisi adalah solusi’. Pada bulan Agustus 2018, Jokowi meminta TNI dan Polri untuk ikut mensosialisasikan keberhasilan kinerja Pemerintah. Tugas ini sebenarnya bukan tupoksi kedua lembaga tersebut.

Pelibatan TNI dan Polri dalam eksekusi kebijakan Pemerintah juga berlanjut pada saat pembahasan RUU Omnibus Law. Presiden memerintahkan Polri, BIN, dan juga Jaksa Agung untuk melakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok yang menentang RUU Omnibus Law kala itu. Hasilnya, beberapa kelompok buruh dan mahasiswa yang menentang RUU tersebut mengaku kesulitan menggelar agenda diskusi karena mendapat tekanan dari Kepolisian.

Kepolisian juga semakin lekat dengan kekuasaan. Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz mengeluarkan surat telegram Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 pada tanggal 4 April 2020. Kapolri memerintahkan Kabareskrim dan Kapolda untuk melakukan patroli siber khusus terkait penyebaran informasi bohong atau hoaks terkait Pandemi Covid-19.

Kapolri juga memerintahkan jajarannya untuk melakukan pemantauan dan menindak tegas pelaku penghinaan terhadap Presiden dan pejabat Pemerintah dalam rangka mengatasi Pandemi Covid-19. Bagi pelaku penghinaan terhadap Presiden dan pejabat Pemerintah itu dapat dikenakan Pasal 207 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.

Instruksi ini menjadi ancaman bagi siapa saja yang mengkritisi kebijakan Pemerintah, karena menjadi pasal karet yang berpeluang menjerat siapa saja yang dianggap sebagai oposan. Padahal dalam sistem demokrasi, mengkritik Pemerintah adalah hak rakyat. Namun, dengan instruksi itu, yang mengkritik Presiden bisa bernasib apes dicokok Kepolisian dengan tudingan menghina pejabat negara, terutama Presiden.

 

Jerat UU ITE

Kekuasaan Jokowi juga tampak semakin otoriter dengan penggunaan UU ITE. Produk perundangan yang dibuat di era Presiden SBY jadi ‘garang’ menjerat banyak orang. Terutama kalangan yang berseberangan dengan Pemerintah.

Awalnya, UU ITE dibuat demi upaya jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik. UU ITE juga dihadirkan untuk mengatur internet (cyberlaw). Namun, dalam penerapannya, pasal-pasal karet dalam UU ITE justru menjadi senjata untuk menjebak lawan politik.

SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) dan PAKU ITE (Paguyuban Korban UU ITE) bahkan meminta sejumlah pasal dihilangkan. SAFEnet risau dengan Pasal 26, 27, 28, 29 dan 40 dari UU ITE. PAKU ITE gusar dengan Pasal 27 dan 28.

Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat 271 laporan kasus UU ITE sejak 2008. Umumnya, para pelapor menggunakan Pasal 27 ayat 1 (memuat konten melanggar kesusilaan), Pasal 17 ayat 3 (pencemaran nama baik), Pasal 28 ayat 2 (menyiarkan kebencian) dan Pasal 29 (ancaman kekerasan).

Pelaporan kasus-kasus UU ITE terlihat meningkat sejak 2013, bahkan empat kali lipat dari tahun sebelumnya. Lonjakan lain terlihat pada 2016 saat UU ITE itu direvisi, tetapi tak mengubah banyak pasal bermasalah itu. Anton Muhajir dari SAFEnet berkata setidaknya ada sekitar 3.100 kasus terkait pasal-pasal dalam UU ITE sepanjang 2019. Tercatat, pihak yang paling banyak memanfaatkan UU ITE adalah para pejabat negara, dengan materi ujaran kebencian.

Ali Baharsyah, seorang dai muda di Jakarta, juga Despianoor anak muda pembela agama di Banjarmasin, harus mendekam di penjara karena jerat UU ITE. Ali Baharsyah ditangkap dengan tuduhan menyebarkan kebencian berbau SARA usai menayangkan video seruan membela Muslim Uighur dan kritik Pemerintah Komunis China. Ia juga diperkarakan karena dengan tudingan makar karena seruan dakwah Khilafah.

Senasib dengan Ali Baharsyah, anak muda bernama Despianoor di Banjarmasin juga ditangkap aparat usai mengunggah status tentang kewajiban penegakkan Khilafah. Padahal sampai hari ini tak ada satu pun dasar hukum yang menyatakan bahwa konten dakwah sebagai ide yang terlarang. Masih ada lagi nama-nama lain seperti Gus Nur lalu Maher ath-Thuwailibi, yang dijaring UU ITE karena dianggap lakukan ujaran kebencian.

 

Sikap Mendua

Aparat memang begitu sigap menghadapi berbagai pelanggaran hukum, termasuk ujaran kebencian. Namun, prinsip equality before the law aparat justru jadi pertanyaan. Banyak kasus serupa, tetapi perlakuannya berbeda. Penghinaan kepada Presiden dilakukan Royson Jordany, remaja usia 16 tahun yang mengunggah video berisi ancamannya untuk membunuh Jokowi dan menghina dia sebagai kacung. Bahkan Royson menantang Jokowi untuk mencari dirinya dalam waktu 24 jam. Namun, Royson tak pernah benar-benar ditindak aparat, apalagi dijebloskan ke penjara. Alasannya, dia masih anak-anak sehingga mendapat diversi hukum. Diketahui kemudian Royson bukan anak sembarangan. Ayahnya seorang taipan terkemuka di kawasan Jakarta.

Perlakuan beda juga tampak dalam penegakkan hukum terhadap kerumunan pada masa pandemi. Aparat langsung menetapkan Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran kekarantinaan kesehatan pada acara akad nikah putrinya di Petamburan. Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu dijerat dengan Pasal 160 dan 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun, perlakuan yang sama tidak pernah diberikan aparat kepada kerumunan massa di Pilkada, termasuk yang dilakukan oleh pendukung putra Presiden Jokowi, Gibran, dalam Pilkada walikota Solo. Padahal massa berkerumun dan mengabaikan protokol kesehatan. Dalam kasus ini, Kepolisian berkilah bahwa kerumunan massa Pilkada berbeda karena ditangani oleh Bawaslu. Masih banyak lagi kerumunan massa yang terjadi pada masa pandemi, namun tak satu pun yang kemudian diproses seperti pada Habib Rizieq Shihab dan FPI.

UU ITE sepertinya juga tidak mempan diberlakukan pada para buzzer pro-Pemerintah. Nama-nama seperti Denny Siregar, Abu Janda, Ulin Yusron, berkali-kali melakukan penghinaan terhadap orang lain, termasuk pada tokoh nasional, membobol data pribadi orang lain, namun mereka belum pernah kena jerat hukum.

 

Monsterisasi Ulama dan Islam

Keberpihakan Pemerintah dan aparat terhadap kalangan pro-Pemerintah juga tampak dari berbagai langkah mengkriminalisasi ulama dan kelompok Islam yang dipandang kerap mengkritisi Pemerintah. Kasus kerumunan massa FPI dan Habib Rizieq Shihab, salah satunya. Hingga kini terus dijadikan alasan untuk mempidanakan beliau. Labelisasi negatif yang mengarah pada monsterisasi juga disematkan, seperti sebutan anti kebhinnekaan, intoleran, radikal, bahkan disebut juga kelompok preman.

Ajaran Islam juga tak luput dari monsterisasi dan kriminalisasi. Larangan cadar dan celana cingkrang di sejumlah kampus dan instansi Pemerintah menandai stigmatisasi terhadap sejumlah ajaran Islam. Apalagi seruan ajaran Khilafah dan jihad. Amat sering jadi sasaran tembak. Sejumlah kampus, mesjid, instansi pemerintah dan swasta secara terang-terangan menindak mahasiswa, tenaga pengajar dan para penceramah yang dianggap mengusung ide khilafah. Bahkan para pengusung ide khilafah dituding sebagai pihak yang bakal men-Suriah-kan Indonesia, alias membawa Indonesia ke dalam konflik berdarah dan perang saudara.

Di sisi lain, Pemerintah dan aparat justru tidak bersikap tegas terhadap sejumlah ormas yang kerap main hakim sendiri, membubarkan pengajian dan mengancam kelompok lain. Pemerintah pun bersikap lunak terhadap berbagai seruan dan ancaman sparatisme yang dikumandangkan OPM. Bahkan sampai hari ini tak ada sebutan teroris pada kelompok OPM. Entah dengan pertimbangan apa mereka hanya dilabeli kelompok kriminal bersenjata, meski tindakan mereka sudah meneror dan membunuhi aparat serta warga di Papua.

Sikap seperti ini menunjukkan ketidakadilan dan otoriter dari Pemerintah terhadap kelompok oposisi, juga terhadap kelompok-kelompok Islam yang kritis. Padahal Pemerintah hari ini dipilih oleh rakyat, namun justru sekarang menimbulkan kegaduhan dan keresahan di tengah rakyat.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Iwan Januar]

 

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × four =

Back to top button