
Pedoman Politik Umat
“We must put an end to anything which brings about any Islamic unity between the sons of the muslims. The situation now is the turkey is dead and will never rise again, because we have destroyed its moral strength:The Chaliphate and Islam.” (Lord Curzon)1
“Yang harus ditakuti oleh Pemerintah Hindia Belanda “bukan Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik”. Biasanya dipimpin oleh minoritas kecil ulama yang fanatic, yakni mereka yang membaktikan diri kepada cita-cita Pan-Islamisme, yang jika pengaruhnya menyebar ke desa-desa akan sangat berbahaya. Karena itu disarankan supaya pemerintah “bertindak netral terhadap Islam sebagai agama dan tegas kepada doktrin politiknya.” (Christian Snouck Hurgronje)2
Dua kutipan di atas memberikan pernyataan yang sangat jelas bagaimana pemahaman orang-orang kafir untuk melemahkan Islam. Kutipan Curzon menegaskan peran Islam (kaaffah) sebagai inti dan rahasia kekuatan kaum Muslim dan institusi Khilafah sebagai pemersatu dan pelindung umat Islam.
Adapun kutipan Snouck menggambarkan doktrin sekulerisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan (termasuk politik), yang harus diterapkan pada Islam, agar tidak menjadi kekuatan yang membahayakan kepentingan kolonial penjajah Belanda.
Politik Harus Mengabdi pada Islam dan Umatnya
Islam adalah agama yang sempurna. Politik adalah bagian dari ajaran Islam. Makna politik yang dimaksud adalah pengaturan urusan masyarakat, baik di dalam dan di luar negeri, dengan hukum Islam.3 Dengan demikian Islam tidak hanya sekadar sebagai ajaran ritual-spiritual (mahdhah), tetapi juga ajaran politik-muamalah (ghayru mahdhah).
Seorang Muslim, ketika mempraktikkan politik, harus untuk kepentingan Islam dan umat Islam. Bukan untuk kepentingan selain Islam dan untuk kepentingan selain umat Islam. Politik tidak boleh untuk kepentingan sekulerisme-demokrasi-kapitalisme atau materialisme-sosialis-komunisme. Politik juga tidak boleh diabdikan kepada segelintir orang (oligark-pemodal), baik lokal dan asing atau kepentingan pimpinan partai.4
Siapa saja yang memberikan loyalitas kepada selain Islam niscaya akan tertolak (Lihat: QS al-Imran [2]: 85). Karena itu sungguh tidak layak seorang pemimpin Muslim justru menyerukan sekulerisme atau pemisahan agama dan politik.5,6,7 MUI telah memberikan fatwa pada 2005 M, tentang haramnya sekulerisme, liberalisme, pluralism. Seharusnya ini menjadi pedoman dalam mengelola politik. (https://koran.tempo.co/read/nasional/46924/mui-haramkan-pluralisme-sekularisme-dan-liberalisme-agama)
Dasar Politik Harus Islam
Jelas, dasar berpolitik seorang Muslim adalah iman, tauhid, akidah islamiyah. Berpolitik harus didasarkan pada ketentuan syariah Islam. Bukan sekulerisme atau materialisme. Bukan kapitalisme-demokrasi-liberal. Bukan pula sosialisme-komunisme.
Siapa saja yang menerapkan aturan selain Islam sebagai hukum dalam kehidupan, mereka adalah kafir (bila disertai i’tiqaad [keyakinan bulat]), zalim atau fasik (QS al-Maidah [5]: 44,45 dan 47).
Tidak ada pilihan bagi seorang Muslim, kecuali berjuang sepenuh jiwa dan raga sampai mati untuk kedaulatan ideologi (mabda’) Islam (Lihat: QS Ali Imran [3]: 102).
Arah Politik Islam
Oleh karena itu, arah politik seorang Muslim adalah memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara kaaffah (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208). Allah pasti akan menolong perjuangan kaum Muslim yang menolong agama-Nya. Dengan itu kaum Muslim akan senantiasa kokoh kedudukannya (Lihat: QS Muhammad [47]: 7).
Pasca Khilafah Islam yang berpusat di Istanbul dihancurkan pada 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924 M, pelaksanaan syariah Islam secara total berhenti. Karena itu, tugas umat Islam saat ini adalah melanjutkan kehidupan Islam secara sempurna (isti’naful hayatil islamiyyah) yang ditandai dengan penerapan syariah Islam secara kaaffah dalam institusi Khilafah Islam.
Di sinilah dibutuhkan dakwah kolektif dalam bentuk pergulatan pemikiran dan perjuangan politik Islam yang hakiki melalui partai politik Islam ideologis7 yang benar-benar bertujuan menerapkan seluruh syariah Islam melalui negara Khilafah. Sebabnya, Khilafahlah satu-satunya institusi yang akan menerapkan seluruh ajaran Islam sesuai contoh Nabi saw. Allah SWT berfirman:
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
Hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Wajib menolak Sekulerisme dan Partai-partai Pendukungnya
Politik Islam akan tegas menolak sekulerisme, sebagaimana materialisme, maupun para pengusung dan partai-partainya. Pasalnya, meskipun dijalankan oleh orang-orang Islam, nilai sekuleristik dan materialistiklah yang mendominasi warna politik, perilaku partai politik dan sistem pemerintahan demokrasi yang dipraktikkan. Tidak aneh, banyak sekali kejahatan dalam bentuk korupsi, misalnya. Terjadi di semua institusi politik, dalam trias politika (eksekutif-presiden, gubernur, bupati/wali kota; legislatif-DPR, DPRD; dan yudikatif-MA dan pengadilan).8 Semua institusi tersebut terjebak dalam pusaran korupsi. Sebabnya, dalam praktik politik sekuler-demokrasi, yang ada hanyalah legal-tidak legal. Bukan halal-haram. Biaya politik sekuler mahal. Hanya orang yang punya uang dan didukung pemodallah yang akan dapat masuk dalam puncak piramida kekuasaan. Semua itu tentu harus dikembalikan melalui politik korupsi, baik korupsi kebijakan dan anggaran.
Karena itu tidak heran jika berbagai kebijakan dapat diperjual-belikan. Kebijakan seperti UU Ciptaker, UU Minerba, dll adalah segelintir kebijakan yang dibuat sebagai bentuk gelaran karpet merah untuk para kapitalis. Merekalah yang membiayai kegiatan politik para politikus sekuler. Pada waktunya, para politikus melakukan korupsi anggaran yang merugikan rakyat.
Patut dicatat, korupsi terbesar adalah mengambil hak Allah untuk menetapkan hukum, dengan diganti slogan: “dari, oleh, dan untuk rakyat (from, by, and for the people)”. Padahal hanya kedaulatan syariah sajalah yang layak untuk ditegakkan. Ini membuktikan sekulerisme dan partai-partai pendukunganya adalah bahaya yang besar bagi penegakkan syariah Islam kaaffah.
Politik Islam Harus Ideologis
Oleh karena itu, sesungguhnya politik Islam haruslah bersifat ideologis, bukan, pragmatis. Ideologis artinya memperjuangkan ideologi dan prinsip tertentu, dalam hal ini Islam. Bukan ideologi yang lain, baik kapitalisme atau sosialisme-komunisme.
Islam sebagai ajaran yang paripurna, memiliki konsep (mafaahim), standar (maqaayis) dan keyakinan (qanaa’at) yang jelas dan terukur berdasar syariah. Politik dalam Islam bukan didasarkan asas manfaat, yang bisa berubah-ubah manakala manfaat yang didapat lebih besar. Sebuah ungkapan: “wani piro (berani bayar berapa)”,9 adalah bentuk fenomena politik pragmatis-transaksional. Ketika terjadi kesepakatan di panggung belakang (back-stage), maka apa yang terjadi di panggung depan (front-stage) sebenarnya hanyalah tipuan dan pencitraan.
Politik Islam akan senantiasa memegang teguh prinsip dan standar berbasis halal-haram. Halal dikerjakan dan haram ditinggalkan. Negarawan Muslim bekerja untuk sebuah visi besar (concept, fikrah) dan tahapan (thariiqah, methode) yang syar’i; meneladani perjuangan Baginda Rasulullah saw. yang senantiasa dibimbing wahyu sejak di Makkah dan Madinah. Dengan tegas, misalnya, Rasulullah saw. menolak kompromi dan bergabung dengan sistem kufur. Beiau menolak orang kafir yang menawarkan tahta, harta dan wanita jika beliau bersedia meninggalkan dakwah Islam.
Negarawan yang berbasis pada Islam tidak akan lumer dengan remah-remah dunia. Mereka senantiasa mendahulukan keridhaan Allah SWT diatas proposal materi.
Politik harus mengarah pada Keterpilihan Pemimpin yang Baik dan Sistem yang Baik
Politik Islam harus mengarah pada lahirnya pemimpin yang baik. Siapa pemimpin yang baik? Tidak lain mereka yang hanya mau taat kepada Allah SWT dan Rasul saw., juga hanya mau menerapkan syariah Islam kaaffah (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59).
Tetapi tidak cukup orang yang baik, politik Islam juga membutuhkan tatanan/sistem yang baik. Sistem yang baik adalah sistem yang berasal dari Allah SWT. dan Rasul-Nya. Itulah sistem Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Dalam tataran yang kongkrit, itu termanifestakan dalam Khilafah Islamiyah. Dengan demikian wujud politik Islam tergambar dalam sistem pemerintahan Khilafah dan divisualisasikan dalam kebijakan pemimpinnya, yaitu Khalifah, yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.
Umat harus dipahamkan bahwa suara mereka adalah penentu perubahan kekuasaan politik yang terjadi. Suara mereka sesungguhnya memiliki pengaruh. Kekuasaan itu adalah pengaruh. Kekuasaan adalah milik umat (as-sulthaan li al-ummah), yang digunakan dalam rangka memilih pemimpin yang akan menerapkan Islam secara kaaffah. Sistem yang diterapkan harus sistem Islam, bukan sistem kufur. Sebabnya, kedaulatan ada di tangan Syariah (as-siyaadah li as-syar’i). Kedaulatan adalah milik Allah, Pemilik syariah. Bukan milik manusia atau milik rakyat.
Dalam konteks perubahan, yang menjadi teladan adalah Rasul saw. Beliau adalah pemimpin yang secara personal mumpuni dengan karakter kepribadian Islam (syakhshiyyah islaamiyyah) yang terunggul. Namun, itu saja tidak cukup. Allah SWT menurunkan risalah Islam kepada beliau sebagai aturan dan sistem paripurna untuk mengatur kehidupan manusia.
Karena itu politik Islam meniscayakan lahirnya orang yang baik dan harus ada dalam sistem yang baik. Kaum Muslim dan tokoh-tokoh umat harus melakukan Islamisasi politik, yaitu membawa Islam ke dalam kekuasaan. Bukan sekadar orang Islam berkuasa. Bukan pula politisasi (agama) Islam, yang memanfaatkan simbol-simbol ajaran Islam, tapi pada saat yang sama emoh dan ogah menerapkan syariah Islam secara kaaffah.
Urgensi Perjuangan Penegakan Khilafah
Dengan melihat akar masalah umat saat ini, yaitu tidak adanya penerapan Islam secara kaaffah dalam kehidupan, maka solusi fundamentalnya adalah dengan kembali menegakkan syariah Islam secara kaaffah. Ini tidak akan dapat dilakukan kecuali dalam isntitusi Khilafah Islamiyah.10 Metodenya adalah melalui jalan umat (‘an thariiq al-ummah) yang sadar karena dakwah disertai dengan meraih dukungan (thalab an-nushrah), dari para pemilik kekuatan (ahl an-nushrah).11 Hal ini dilakukan dengan berbasis pada pemikiran dan perjuangan politik yang damai. Bukan melalui kudeta berdarah ala komunisme atau Pemilu demokrasi ala kapitalisme.
WalLaahu a’lam bi ash-shawab. [Dr. Riyan, M.Ag. ; (Pengamat Politik Islam)]
Catatan kaki:
1 Kutipan ini disampaikan Lord Curzon, Menteri Luar Negeri Inggris, 1924 M, setelah dihapuskannya khilafah Islam di Istanbul dan diganti dengan Republik Turki yang berdasarkan sekulerisme dan kemalisme (ajaran Kemal pasha).
2 Rumusan Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, untuk menaklukkan perjuangan dan perlawanan kaum muslimin di Aceh yang sangat menguras dana dan perhatian penjajah. Snouck berpura-pura masuk Islam untuk mempelajari Islam dan kehidupan kaum muslimin Aceh. Sehingga penjajah Belanda dapat menghentikan perlawanan jihad rakyat Aceh.
3 Politik-Indonesia (Siyasah-Arab; Politic-Inggris). Makna bahasa siyasah, sasa-yassusu-siyasatan: mengatur dan mengelola. Makna bahasa politic berasal dari kata Yunani: politika – yang berhubungan dengan negara dengan akar katanya polites – warga negara dan polis – negara kota. Secara makna istilah, politik adalah mengatur dan mengelola urusan masyarakat, baik di dalam dan luar negeri, dengan hukum atau aturan tertentu.
4 Bambang Pacul, politisi PDIP dengan terang benderang, menyatakan bahwa para wakil rakyat di DPR tunduk kepada ketua parpol tempat mereka bernaung. Bila membangkang, ketua parpol akan dengan mudah menggantinya dengan yang lain. (https://news.republika.co.id/berita/rsydnu377/bambang-pacul-kekuasaan-di-republik-ini-bergantung-ketum-partai)
5 Presiden Jokowi: Pisahkan Agama dan Politik. Demikian Judul yang sangat jelas, pemimpin yang menyerukan kepada Sekulerisme. (https://nasional.kompas.com/read/2017/03/24/19084521/presiden.jokowi.pisahkan.agama. dan.politik)
6 MUI telah memberikan fatwa pada 2005 M, tentang haramnya sekulerisme,liberalisme, pluralism. Seharusnya ini menjadi pedoman dalam mengelola politik. (https://koran.tempo.co/read/nasional/46924/mui-haramkan-pluralisme-sekularisme-dan-liberalisme-agama)
7 Pembentukan partai politik Islam yang ideologis adalah kewajiban umat untuk meneladani perjuangan dakwah Rasul SAW. Beliau melakukan tahapan dakwah:(1) melakukan pembinaan (tatsqif) kader dan pembentuan (takwin) gerakan kolektif.(2)Melakukan interaksi (tafa’ul) dan perjuangan (kiIfah) di tengah umat, (3) menerima amanah kekuasaan (istilamul hukmi) dari para ahlu nusroh melalui penggalangan dukungan(thalabun nusroh) untuk menerapkan islam, mengemban dakwah dan jihad ke seluruh dunia.
8 Sejak KPK berdiri hingga Agustus 2022 sebanyak 310 anggota DPR dan DPRD, 154 bupati atau wali kota dan 22 gubernur tersandung kasus korupsi.(https://nasional.kompas.com/read/2022/09/18/13230951/survei-kpk-dan-lipi-biaya-kampanye-bupati-wali-kota-gubernur-tembus-rp-100)
9 Ungkapan ini bermakna: berani bayar berapa? Berdasarkan survei KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada 2022, biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota sebesar Rp 20-30 miliar. Sementara, gubernur atau wakilnya membutuhkan modal Rp 100 miliar.(https://nasional.kompas.com/read/2022/09/18/13230951/survei-kpk-dan-lipi-biaya-kampanye-bupati-wali-kota-gubernur-tembus-rp-100)
10 Khilafah adalah ajaran Islam. Bukan faham dalam arti khilafahisme, sebagaimana dilontarkan para pecandu sekulerisme. Memperjuangkan Khilafah adalah kewajiban bahkan seutama-utamanya kewajiban (ahamul wajibat) dan mahkota kewajiban (tajul furudh).Batas waktu syar’i untuk penegakannya adalah 3 hari 3 malam, sebagaimana ijma’ sahabat setelah wafatnya Khalifah Umar bin Khaththab RA. Saat ini kita sudah lebih dari 100 tahun (1342 H-1444 H) tanpa khilafah sebagai pelindung.Melalaikannya dan menghalanginya adalah kemaksiatan yang mengantarkan pelakunya kepada dosa.
11 Perjuangan Islam melalui umat (an-thariqil ummah) dan menggalang dukungan (thalabun nusroh) adalah dua hal yang dicontohkan Baginda Rasul SAW. Beliau menyiapkan umat dengan pembinaan kepribadian Islam dan ketrampilan politik-mengatur urusan publik dengan Islam. Di Madinah, beliau SAW. mengutus sahabat Mushab Bin Umair ra. membina umat dan menawarkan Islam kepada para pemimpinnya, diantaranya adalah Sa’ad bin Muadz, yang akhirnya menjadi penolong (ahlu nusroh) sehingga Rasul SAW menerima kekuasaan untuk menerapkan Islam secara kaffah. Antara umat dan pemimpin, antara akar rumput dan elit, secara kultural-orang dan struktural-sistem, sepakat untuk mendukung Islam.