Hiruk-pikuk Politik Jelang 2024
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024, bakal calon presiden (bacapres) sudah mulai dideklarasikan oleh parpol-parpol pendukungnya. Bacapres pertama yang dideklarasikan dan memenuhi syarat presidential threshold 20% kursi di DPR adalah Anies Baswedan. Anies diusung oleh Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS. Berikutnya ada Ganjar Pranowo yang diusung PDIP, PPP dan Partai Hanura.
Bacapres lainnya adalah Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerindra dan PKB dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya. Walaupun demikian, koalisi ini tampaknya masih sangat mungkin berubah. Pasalnya, hingga hari ini Prabowo belum resmi menjadikan Muhaimin Iskandar yang juga Ketum PKB sebagai bakal cawapresnya. Belakangan, ada sinyal dari beberapa partai yakni PAN, PBB dan Perindo yang akan mendukung Prabowo menjadi capres.
Adapun koalisi yang masih sangat cair bahkan terancam bubar adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang awalnya diinisiasi tiga parpol, yakni Golkar, PAN dan PPP. Belakangan, PPP secara resmi memberikan dukungan kepada Ganjar Pranowo dan PAN terlihat memberikan sinyal akan mendukung Prabowo Subianto.
Alhasil, hingga sebelum pendaftaran bakal calon presiden pada tanggal 19 Oktober 2023, peta koalisi masih sangat mungkin untuk mengalami perubahan, bahkan bisa jadi pada saat-saat injury time sekalipun.
Kekuatan Oligarki di Balik Capres
Siapapun pasangan capres dan cawapres yang akan bertarung pada Pilpres 2024 nanti, kekuatan yang tidak mungkin tidak ada dalam Pilpres di dalam sistem demokrasi adalah adanya kekuatan oligarki di belakang semua pasangan capres-cawapres. Secara sederhana oligarki bisa diartikan sebagai sebuah kekuatan politik di tangan segelintir orang (rule by the few) atau kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir kaum kaya.
Di Indonesia, dalam sebuah webinar (9/6/2020) yang diselenggarakan KPK, Profesor Jeffrey Winters, Chair of the Departement of Political Science, Northwestern University, menyebutkan bahwa hampir 100 persen dana kampanye yang digunakan partai politik di Indonesia berasal dari para oligarki.
Oligarki tentu memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap siapa yang akan menjadi presiden karena itu akan menentukan “nasib” bisnis mereka. Di antara tujuan oligarki mendukung pasangan capres-cawapres adalah untuk melindungi dan mengamankan kekayaannya dari redistribusi, semisal pajak dan korupsi, juga agar dekat dengan kekuasaan. Dengan itu mereka dapat mempengaruhi penguasa sehingga terhindar dari kesulitan dalam perizinan, pengembangan bisnis dan berbagai gangguan lainnya. Oligarki juga bertujuan agar bisnis mereka berkembang besar dan menggurita dengan dukungan dari kekuasaan.
Di sisi lain para politisi tentu membutuhkan dana yang sangat besar untuk memenangkan kontestasi politik Pilpres. Jadi hubungan antara penguasa dan pengusaha dalam sistem demokrasi sejatinya seperti symbiosis mutualisme, yakni saling membutuhkan satu sama lain.
Para oligarki ada yang dikenal luas oleh publik bahkan ada yang mendirikan partai politik, semisal Surya Paloh yang mendirikan Partai Nasdem, Hary Tanoesoedibjo yang mendirikan Partai Perindo, dan Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerindra. Selain mereka, tentu lebih banyak lagi di antara para oligarki yang tidak dikenal bahkan tidak ingin dikenal oleh publik. Mereka bermain di belakang layar, tetapi pengaruh mereka sangat besar. Bahkan sejatinya, mereka bersama para ketua umum partai politik yang menentukan siapa capres-cawapresnya. Rakyat hanya tinggal memilih pilihan para oligarki.
Saat ini, setidaknya ada tiga nama bakal calon presiden yang potensial. Mereka adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Pertanyaannya, dari ketiga nama tersebut, adakah yang steril dari oligarki? Mari kita lihat satu persatu.
Pertama: Ganjar Pranowo. Publik tentu memahami bahwa selain berasal dari partai yang sama dengan Jokowi, Ganjar Pranowo terlihat dengan jelas di-endorse dan di-backup oleh Jokowi. Kehadiran Jokowi ketika Megawati mengumumkan Ganjar sebagai bakal capres dari PDIP, bahkan ketika keduanya terlihat satu mobil dan pesawat, secara politis tentu dapat dipahami bahwa Ganjarlah bakal capres yang direstui istana. Pesan politis ini pasti dengan sangat mudah dapat dipahami oleh oligarki yang selama ini berada di belakang Jokowi. Dukungan logistik dari oligarki yang selama dua kali Pilpres diberikan kepada Jokowi hampir pasti akan diberikan juga kepada Ganjar Pranowo.
Kedua: Prabowo Subianto. Selain sebagai seorang politisi, jangan lupa Prabowo juga merupakan pengusaha yang memiliki kekayaan fantastis. Tercatat kekayaannya lebih dari 2 triliun rupiah. Prabowo memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, batubara, kelapa sawit, perkebunan, hingga pengolahan kertas. Untuk mengelola bisnisnya, Prabowo memiliki tidak kurang dari delapan perusahaan raksasa yang menguasai ratusan ribu hektar lahan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan portofolio seperti itu, tidak berlebihan jika Prabowo sejatinya juga merupakan salah seorang elit di lingkaran oligarki. Yang terang-terangan berada di belakang Prabowo adalah adiknya sendiri, Hasyim Djojohadikusumo, yang menurut Forbes kekayaannya tidak kurang dari 11 triliun rupiah.
Ketiga: Anies Baswedan. Anies memang bukan seorang pengusaha, bahkan bisa dibilang capres “termiskin”. Namun, jangan lupa, Anies didukung oleh Partai Nasdem yang didirikan Surya Paloh, seorang pengusaha yang menempati posisi ke-77 dari daftar 150 orang terkaya di Indonesia versi Globe Asia. Bisnisnya menggurita, mulai dari bisnis media, pertambangan, perhotelan dan penyedia makanan catering untuk perusahaan-perusahaan besar. Secara terang-terangan, dalam perayaan HUT ke-11 Partai Nasdem di JCC (11/11/2022), Surya Paloh mengatakan tidak menutup mata jika pihaknya ingin agar ada pemodal besar untuk membantu dalam menghadapi kontestasi nasional mendatang.
Alhasil, tidak ada satu pun bakal capres yang steril dari oligarki.
Pragmatisme Politik
Sistem demokrasi sekuler selalu akan melahirkan politik yang pragmatis, bukan idealis apalagi ideologis. Pragmatisme politik ini tidak bisa dihindari. Pasalnya, semua keputusan politik di dalam sistem demokrasi merupakan hasil kompromi berbagai kepentingan elit politik. Dalam konteks Pilpres, acuan elit politik dan oligarki adalah “siapa yang berpeluang menang lebih besar” dan “saya mendapatkan apa?” Karena itu jika ada orang yang memiliki kapabilitas dan integritas yang baik, memiliki gagasan yang cemerlang, tetapi tidak ada dalam radar survey, jangan harap bisa dicalonkan partai politik.
Elit partai politik pun akan membentuk atau bergabung di dalam koalisi yang memungkin-kan dirinya mendapatkan jatah kue kekuasaan. Karena itu, dinamika yang selalu terjadi di setiap kali helatan Pilpres bukanlah untuk mendukung calon yang memiliki kesamaan visi dan misi, tetapi berada di dalam koalisi yang memiliki kesamaan persepsi tentang jatah kursi.
Umat Kehilangan Parpol dan Tokoh Ideologis
Di tengah dinamika perpolitikan di Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ternyata umat Islam tidak menjadikan partai Islam atau yang berbasis massa Islam sebagai pilihan. Bahkan menurut Ade Mulyana, peneliti Lingkaran Survey Indonesia (LSI), dalam Pemilu 2024, partai berbasis Islam secara keseluruhan potensial dukungannya menurun. Bahkan menurut dia, partai berbasis Islam potensial dukungannya paling kecil sepanjang sejarah Pemilu bebas di Indonesia.
Peneliti LSI lainnya, Adji Al-Faraby, menyimpulkan 3 alasan partai Islam mengalami kemerosotan di mata masyarakat pemilih. Di antaranya: Pertama, partai Islam selama ini dalam kampanyenya dianggap terlalu menunjukkan simbol dan wacana yang sifatnya terlalu umum. Seharusnya, menurut Adji, partai-partai Islam berbicara pada hal-hal yang lebih konkret, seperti menawarkan kesejahteraan pada masyarakat. Kedua, terkait masalah integritas. Masyarakat mengharapkan munculnya tokoh-tokoh Islam yang menjadi teladan. Jauh dari kasus-kasus korupsi yang selama ini menjadi penyakit moral bangsa ini. Ketiga, menurut Adji, adanya pihak-pihak yang melakukan upaya akomodatif terhadap kepentingan Islam. Hal ini yang menjadikan partai Islam kehilangan para pemilihnya dan beralih ke Partai Nasionalis.
Dari hasil riset tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kehadiran partai Islam belum bisa secara penuh memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Islam serta belum mampu menawarkan solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Padahal sejatinya, jika mengaku sebagai partai Islam, di dalam Islam sendiri sudah secara lengkap dan komprehensif mengatur berbagai aspek kehidupan termasuk solusi dari problematika yang dihadapi umat manusia.
Tampaknya partai Islam sendiri masih malu-malu atau bahkan malah takut menampilkan jatidirinya sebagai partai Islam dengan menawarkan syariah Islam sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh bangsa. Alih-alih menawarkan syariah Islam, partai Islam malah terjebak dalam kubangan demokrasi sekuler yang semakin menjauhkan umat dari Islam. Keberadaan partai Islam juga masih dianggap publik hanya memperjuangkan kepentingan elit partai, bukan kepentingan rakyat banyak.
Tokoh-tokoh dari partai Islam juga masih belum benar-benar teruji kapabilitas dan integritasnya. Gagasan yang disampaikan ke publik tidak memiliki pembeda dengan gagasan yang disampaikan tokoh-tokoh sekular. Alih-alih berbicara syariah Islam sebagai solusi, tokoh-tokoh Islam malah latah menawarkan konsep politik demokrasi, ekonomi kapitalisme, dan sistem hukum sekuler. Tidak pernah kita mendengar tokoh-tokoh Islam menawarkan dan mengajak elit dan publik agar memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara kaaffah.
Dalam hal integritas, kita masih melihat setali tiga uang dengan tokoh-tokoh dari partai sekuler. Tidak sedikit tokoh dari partai Islam yang terlibat kasus korupsi dan masalah moral lainnya sebagaimana halnya yang terjadi pada tokoh dari partai sekuler. Karena itu publik melihat, tidak ada bedanya tokoh partai Islam dengan tokoh partai sekuler.
Masih Berharap pada Sistem Demokrasi?
Setiap kali Pemilu dan Pilpres, umat Islam selalu dirayu dan diberi harapan-harapan agar mau memilih partai Islam yang mereka tawarkan, agar mau mencoblos pasangan capres-cawapres yang mereka calonkan. Sambil diiringi narasi, agar terjadi perubahan yang lebih baik, agar rakyat sejahtera, agar umat Islam tidak dizalimi, agar aspirasi umat Islam dapat direalisasikan, dan lain-lain.
Pertanyaannya: Apakah sistem demokrasi akan mampu merealisasikan harapan masyarakat dan akan mampu mengakomodir penerapan syariah Islam? Apakah sirkulasi elit dan rezim melalui Pemilu dan Pilpres akan mampu membawa perubahan besar ke arah yang lebih baik?
Setiap sistem pasti memiliki mekanisme untuk mempertahankan dan mengokohkan sistemnya. Tak terkecuali sistem demokrasi. Mekanisme pertahanan dan pengokohan sistem demokrasi dibingkai dengan aturan main yang wajib disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat, dalam hal ini oleh elit dan partai politik. Aturan main yang dianggap sakral dan fundamental sehingga tidak boleh diubah atau diganti oleh siapapun mereka labeli dengan istilah “harga mati”. Jadi, siapapun yang terlibat dalam sistem demokrasi, tidak akan berani menyentuh apalagi mengubah perkara yang dianggap sebagai harga mati.
Demokrasi juga memiliki mekanisme agar sistemnya berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Untuk itu, mereka membuat event sirkulasi elit yang dilakukan secara berkala. Event sirkulasi elit ini dikemas dengan nama pemilihan umum, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Sebagaimana tujuannya, di Indonesia event Pemilu, Pilkada dan Pilpres hanyalah mekanisme untuk mengganti elit dan rezim semata, mulai dari anggota dewan, kepala daerah hingga presiden. Tidak lebih dari itu.
Karena itu sistem demokrasi memang sangat memungkinkan dijadikan jalan untuk menempatkan para aktivis dan tokoh Muslim menjadi pejabat di berbagai level; menjadi anggota dewan, bupati, walikota, gubernur hingga presiden. Namun, sistem demokrasi tidak memberikan ruang sedikitpun bagi penerapan syariah Islam secara total atau perubahan yang sifatnya fundamental.
Karena itu berharap bahwa sistem demokrasi dan sirkulasi elit ataupun rezim melalui Pemilu, Pilkada dan Pilpres akan mampu membawa perubahan besar ke arah Islam adalah harapan kosong yang tidak akan pernah bisa terwujud.
Banyak Merugikan Umat
Disadari atau tidak, sistem demokrasi sekuler telah banyak merugikan umat Islam. Kerugian terbesar umat Islam adalah ketika di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, faktanya umat Islam tidak dapat menerapkan syariah Islam secara kaaffah. Sistem demokrasi telah menghalangi umat Islam menerapkan syariahnya sendiri.
Kerugian berikutnya, demokrasi adalah sistem yang akan memuluskan agenda oligarki dan asing melalui agen-agennya di partai politik dan pemerintahan. Kita tahu, di antara agenda oligarki dan asing adalah penguasaan kekayan sumberdaya alam di negeri ini untuk kepentingan mereka. Ketika kekayaan alam negeri ini dikuasai mereka, pihak yang paling dirugikan adalah rakyat Indonesia. Tentu karena oligarki dan asing tidak pernah mempedulikan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kerugian selanjutnya adalah energi umat Islam yang seharusnya difokuskan untuk perjuangan penegakan syariah Islam secara kaaffah menjadi teralihkan oleh agenda politik sekuler. Umat seolah-seolah merasa telah berjuang untuk Islam. Padahal mereka hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan sistem politik demokrasi sekuler. Suara mereka hanya dijadikan alat legitimasi oleh kekuasaan. Bahkan lebih parah dari itu, mereka hanya dijadikan sebagai pendorong mobil mogok, setelah mobilnya berjalan, rakyat dan umat ditinggalkan.
Karena itu sudah saatnya umat Islam sadar bahwa sistem politik demokrasi, selain bertentangan dengan Islam, sejatinya telah banyak merugikan kaum Muslim. Sudah saatnya energi umat ini difokuskan untuk perjuangan yang sebenarnya, yakni menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan dalam naungan Khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian.
WalLahu a’lam. [Luthfi Afandi; Direktur Pusat Kajian Islam Kaffah]