Gembira Dan Penerapan Syariat Islam
Gembira. Itulah salah satu yang penting dirasakan oleh seorang Muslim yang berpuasa. “Gembira seperti itu disyariatkan,” ungkap KH Rohmat S. Labib dalam suatu acara Halal Bihalal para tokoh di Jakarta pada Syawal tahun 1444H beberapa waktu lalu. Beliau lalu mengutip Hadis Rasulullah saw., “Bagi yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan tatkala berbuka dan kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Allah SWT mensyariatkan segala sesuatu. Dialah yang menetapkan hukumnya, termasuk gembira. “Apa hukum puasa?” tanya penulis buku Tafsir al-Waie tersebut. Para hadirin pun serentak menjawab, “Wajiiibb…”
Ustadz Labib, begitu biasa saya memanggil beliau, segera merespon, “Puasa itu hukumnya haram…kalau puasa yang dimaksud adalah puasa pada Hari Raya Idul Fitri. Namun, jika puasa itu sebelum Idul Fitri, yakni Puasa Ramadhan maka hukumnya wajib. Berbeda lagi kalau puasa sesudah Idul Fitri, yakni Puasa Syawal, itu hukumnya sunnah. Masnuun[un] alias disunnahkan.”
“Jadi, puasa itu belum tentu baik. Kalau puasa pada saat hari lebaran, itu haram hukumnya. Tentu saja buruk. Sebaliknya, puasa pada saat Ramadhan atau puasa Syawal itu baik. Karena itu baik buruk sesuatu itu ditentukan oleh aturan dari Allah SWT,” pungkasnya.
Begitu halnya dengan bahagia. “Memangnya urusan seperti ini diurusin juga ya oleh ajaran Islam?” tanya Kang Iman sambil berbisik kepada saya.
“Lha iyalah,” jawab saya pendek. Lalu, saya jelaskan sedikit. Bahagia itu, bisa baik bisa buruk.
“Kok bisa?” tanyanya.
“Bisa baik kalau pada saat Idul Fitri. Buktinya, pada zaman Rasulullah saw., ketika Idul Fithri beliau memerintahkan mengenakan pakaian terbaik. Bahkan beliau menganjurkan menyediakan makanan yang bagus. Bukan sekadar itu, pernah beberapa budak (jaariyah) menabuh rebana sambil bernyanyi di hadapan beliau,” ujar saya. “Itu semua menggambarkan suasana gembira pada hari raya,” saya tambahkan.
“Lalu kalau bahagia yang dilarang bagaimana? Ada emang-nya?” tanya Kang Iman lagi.
Saya sampaikan, “Coba ingat-ingat, Rasulullah saw. pernah mencontohkan hal ini,” ucap saya. Lalu saya menjelaskan Hadis Rasulullah saw., “Janganlah engkau menampakkan kegembiraan karena musibah yang menimpa saudaramu. Jika demikian, Allah akan merahmati dia dan justru memberi kamu musibah.” (HR at-Tirmidzi).
Contoh lain, Allah SWT melarang seorang Mukmin menampakkan kebahagiaan ketika perbuatan buruk seseorang tersebar. Allah SWT berfirman (yang artinya): Sungguh orang-orang yang senang karena berita perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat (TQS an-Nur [24]:19).
Jelaslah, gembira itu bisa baik, bisa buruk. Bisa terpuji atau bisa juga tercela. Penentunya apa? Hukum Allah SWT. “Ini berarti kebahagiaan itu harus ada dasarnya ya, Tadz?” ungkap Kang Iman.
Saya pun segera merespon, “Iya, atuh!” Lebih dari semua itu, setiap perkara harus terikat dengan aturan Allah SWT. Baik dan buruk harus terikat dengan aturan Allah SWT. Jadi, taat itulah yang menjadi landasan.
“Kalau begitu, pada saat lebaran harus gembira pada suatu hal dan sedih pada hal yang lain,” komentar Mas Budi.
Ya. Sekadar contoh, di Indonesia prosentase penduduk miskin pada September 2022 tercatat sebesar 9,57 persen. Kurang lebih 26,36 juta orang. Tentu, ini bukan jumlah sedikit. Apalagi jika tolok ukurnya seperti permintaan Bank Dunia kepada Indonesia berdasarkan paritas daya beli. Selama ini, ukuran yang Pemerintah gunakan sejak 2011 sebesar US$ 1,9 perhari. Jika tolok ukur garis kemiskinan yang digunakan adalah paritas daya beli melalui besaran pendapatan sebesar US$ 3,20 perhari, maka akan menyebabkan 40% masyarakat malah tergolong orang miskin. “Ketika dinaikkan menjadi 3 dolar AS, mendadak 40 persen orang menjadi miskin,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani (12/5/2023).
Realitas ini tentu saja menjadikan kita sesak dada. Sedih. Bukan malah bahagia, lalu petantang-petenteng pamer Rubicon, tas miliaran rupiah, atau perilaku bahagia lainnya.
Selain merasa teriris hati, kondisi itu pun sejatinya menjadikan kita terus berupaya menolong sesama. Kata Nabi saw., “Siapa saja yang menghilangkan kesulitan seorang Mukmin di dunia maka Allah akan menghilangkan kesulitan orang tersebut nanti di akhirat.” (HR Muslim).
Beliau juga bersabda, “Peliharalah hartamu dengan zakat. Obatilah orang-orang sakitmu dengan sedekah. Hadapilah cobaan dengan doa.” (HR ath-Thabarani).
Pemberdayaan zakat pun bisa digalakan untuk menolong fakir miskin dan para mustadh’afiin, kaum yang lemah. “Iya, jika serius potensi zakat kita itu besar,” ucap Kang Iman lagi.
Ucapan tersebut rasanya benar. Sejauh pengetahuan saya, pada tahun 2022 zakat yang diperoleh sebanyak 15,6 triliun dengan jumlah muzakki sebanyak 3,6 juta orang. Menurut Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Noor Achmad potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun pertahun dengan potensi jumlah muzakki sebanyak 72 juta orang. Jika ini dilakukan dengan konsisten maka akan menjadi salah satu lorong penyelamatan. Pertanyaannya: Mungkinkah pemerintahan yang tidak menerapkan aturan Islam dapat melakukan pemberdayaan seperti itu?
“Apalagi kalau sumberdaya alam diolah oleh negara untuk rakyat. Tidak diserahkan kepada asing atau segelintir konglomerat,” Mas Budi menanggapi.
Saya sampaikan, betul. Dalam Islam tidak ada yang namanya privatisasi untuk harta yang masuk kepemilikan umum. Kata Rasulullah, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan energi (api).” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Pertanyaannya lagi, mungkinkah pemerintahan yang tidak menerapkan aturan Islam dapat mengelola sumberdaya alam seperti itu? Hampir tidak mungkin. So, kegembiraan itu harus dibarengi dengan penerapan aturan Islam secara kaaffah.
WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]