Catatan Dakwah

Indah Pada Waktunya

Beberapa waktu lalu, saya menulis catatan pendek berjudul Time Will Tell. Intinya, kebenaran kadang memang memerlukan waktu untuk pembuktian. kadang pula dengan cara yang tak terduga sama sekali. Begitu pula dalam dunia dakwah.

Contohnya soal bendera. Mungkin ada yang berpikir, untuk apa HTI dulu selalu membawa-bawa al-liwa dan ar-rayah. Kalau untuk keperluan identitas dan sosialisasi identitas, mestinya yang dibawa adalah bendera organisasinya. Kalau yang dibawa adalah al-liwa dan ar-rayah, lantas apa gunanya? Apa pula relevansinya dengan perjuangan ini?

++++

Kita tahu, dakwah intinya adalah mengenalkan atau menjelaskan ajaran Islam dan membantah segala hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk kepentingan inilah, HTI memang ingin mensosialisasikan al-liwa dan ar-rayah. Bagi HTI, al-liwa dan ar-rayah adalah simbol yang penting untuk dikenalkan kepada umat. Al-Liwa dan ar-rayah adalah simbol dari akidah Lâ ilâha illalLâh; simbol persatuan atau ukhuwah islamiyah, bahwa sesama muslim adalah bersaudara; sekaligus simbol dari arah perjuangan umat, bahwa tujuan perjuangan tak lain adalah untuk meninggikan kalimat Allah (li’ I’lâ’i kalimatilLâh).

Karena itu sedari awal HTI menyampaikan kepada umat, bahwa bendera putih bertuliskan hitam  itu adalah al-liwa dan bendera hitam bertuliskan putih adalah ar-rayah. Sejak dari awal pula, HTI hampir selalu menyertakan kedua panji Rasulullah saw. ini dalam setiap kegiatan. Baik kegiatan in-door maupun out-door. Bila indoor, al-liwa dan ar-rayah biasanya akan diletakkan di sisi kiri dan kanan backdroop. Kadang ikut juga menghiasi meja pembicara. Untuk venue (tempat) yang lebih besar, al-liwa dan ar-rayah ditempatkan di sudut-sudut strategis agar kelihatan mencolok. Intinya agar kedua bendera itu tampil dominan. Dalam beberapa kegiatan yang diadakan di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta misalnya, al-liwa dan ar-rayah malah juga selalu ditancapkan di atap stadion. Berkibar gagah, menghiasi atap stadion.  Cakep sekali.

Untuk memberi kesan mendalam terhadap al-liwa dan ar-rayah, dalam beberapa acara, seperti dalam Konferensi Khilafah Internasional (KKI) tahun 2007 di GBK, malah diadakan acara khusus penurunan al-liwa dan ar-rayah dari atas Stadion oleh beberapa orang terlatih dengan flying fox. Atraksi ini disambut sangat antusias oleh peserta konferensi pada waktu itu. Mereka sama sekali tidak menyangka akan ada yang turun dari ketinggian membawa bendera. Boleh disebut itulah awal pengenalan al-liwa dan ar-rayah secara spesial. Di akhir acara, disajikan juga atraksi teatrikal  yang lagi-lagi melibatkan al-liwa dan ar-rayah. Digambarkan saat ini umat dalam keadaan terpecah-belah. Umat hidup di lebih dari 50 negara kecil-kecil. Kemudian melalui dakwah, umat bisa disatukan kembali. Penyatuan itu ditandai dengan nama-nama negara terhimpun di bawah al-liwa dan ar-rayah raksasa.

Tidak cukup sekadar sebagai penghias venue, pada tahun 2017, HTI bahkan menyelenggarakan acara yang secara khusus bertujuan mengenalkan al-liwa dan ar-rayah. Nama acara itu Mapara (Masirah Panji Rasulullah). Diadakan di 32 kota besar di seluruh Indonesia. Selain diisi dengan diskusi atau talkshow yang berpusat pada topik  al-liwa dan ar-rayah dan perjuangan umat, kegiatan utama Mapara adalah pawai al-liwa dan ar-rayah. Ribuan al-liwa dan ar-raya diarak keliling kota. Sayang, acara penting itu tidak berjalan lancar oleh karena di beberapa kota dihalang-halangi oleh anggota ormas, yang tak dinyana  ormas itu pula yang terlibat dalam pembakaran ar-rayah di Garut baru lalu.

Saking seringnya bendera itu dibawa-bawa, tak pelak bendera itu seperti identik dengan HTI. Masyarakat pun menyangka itu adalah bendera HTI. Mungkin karena itu pula mereka tidak dengan serta merta  mau ikut membawa-bawa bendera itu. Ada semacam keengganan membawa-bawa bendera yang disangka milik organisasi.

Namun demikian, keadaan tersebut sontak berubah. Dipicu tak lain oleh pembakaran  ar-rayah. Peristiwa itu sendiri  sungguh menyentak nurani Muslim di manapun berada. Terbukti, reaksi keras tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga datang dari berbagai negeri Muslim dunia.  Reaksi makin keras datang setelah pimpinan induk organisasi pelaku pembakaran alih-alih meminta maaf, malah justru membenarkan tindakan itu dengan berbagai dalih. Sampai ini hari pun mereka tetap menolak mengatakan bahwa yang dibakar itu adalah bendera tauhid. Sikap Pemerintah setali tiga uang. Mereka juga tetap menyatakan bahwa yang dibakar adalah bendera ormas. Bukan bendera tauhid. Meski belakangan setelah pertemuan dengan pimpinan ormas Islam, sikap Pemerintah agak melunak.

Melihat itu semua, umat tidak tinggal diam. Mereka bergerak. Tak butuh waktu lama. Satu dua hari pasca pembakaran, umat turun ke jalan menggelar aksi di berbagai kota. Tercatat di lebih dari 72 kota, termasuk di Jakarta,  aksi yang kemudian disebut Aksi Bela Tauhid itu digelar. Puncaknya adalah Reuni Akbar 212 pada 2 Desember lalu yang diikuti oleh lebih dari 10 juta perserta. Jauh lebih banyak dari Aksi 212 dua tahun lalu. Yang paling mengharukan, tentu saja karena dalam acara itu ratusan ribu bahkan mungkin jutaan al-liwa dan ar-raya berkibar di area yang paling  ikonik di Indonesia sekaligus paling dekat dengan pusat kekuasaan: Silang Monas. Seolah ingin menegaskan bahwa inilah al-liwa dan ar-rayah. Inilah simbol aqidah kami. Inilah simbol persaudaraan kami. Inilah juga simbol arah perjuangan kami.

Boleh disebut aksi besar di Silang Monas kemaren adalah bentuk pengakuan dan penegasan bahwa bendera putih bertuliskan kalimat tauhid berwarna hitam dan bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid berwarna putih adalah al-liwa dan ar-rayah, sekaligus jawaban tuntas bagi siapa saja yang masih meragukan bahwa kedua bendera itu adalah al-liwa dan ar-rayah.

Puluhan tahun lamanya sosialisasi al-liwa dan ar-rayah dilakukan, umat seolah bergeming. Tak bergairah menyambut al-liwa dan ar-rayah sebagai panji Rasulullah. Namun, ternyata  ada saja jalan bagi kebenaran menemukan pembuktiannya. Siapapun pasti tidak pernah menduga, momen kecil di sebuah kota kecil, Garut, ternyata memberikan impak yang sangat dahsyat di seluruh dunia. Siapapun  tidak pernah menduga, penolakan pengakuan kesalahan atas pembakaran itulah yang justru makin memantik pembelaan luar biasa dari umat terhadap bendera tauhid itu di seantero negeri.

Sama seperti hijrah Rasulullah saw. Awalnya mungkin  dirasakan sebagai kekalahan atau keterusiran beliau dari bumi perjuangan. Akhirnya terbukti,  justru hijrah itulah awal dari kemenangan dakwah.

Pada awalnya, kita semua juga tentu merasa sangat sakit melihat  pembakaran bendera tauhid dan arogansi para pimpinannnya yang alih-alih meminta maaf, mereka malah justru membenarkan dengan segala dalih. Namun, justru itu semualah yang membuat umat bangkit melakukan pembelaan terhadap bendera tauhid.

Mungkin kita tahu cara paling tepat untuk mengenalkan bendera atau panji Rasulullah saw itu. Namun, peristiwa Garut lebih dari sekadar mengenalkan. Ternyata itulah cara Allah untuk menancapkan dengan sangat dalam al-liwa dan ar-rayah di sanubari umat.

Melalui momen Garut, dan dijawab dengan Aksi Bela Tauhid di puluhan kota di Indonesia, yang kemudian berpuncak di Aksi 212, al-liwa dan ar-rayah kini telah menjadi milik umat. Umat tak lagi ragu apalagi malu untuk membawa dan mengibarkannnya. Di Silang Monas kemaren, semua membawa dan mengibarkannya dengan bangga dan bahagia.

++++

Dari atas panggung utama Reuni Akbar 212, saya melihat dengan mata berkaca-kaca pemandangan luar biasa ini: kibaran ratusan ribu al-liwa dan ar-rayah yang tak henti dilakukan oleh peserta aksi. Alhamdulillah, ya Allah.  Benarlah, bila telah tiba waktunya, semua akan tampak indah.

Selanjutnya sungguh kita juga menantikan keindahan serupa ketika syariah dan Khilafah terwujud secara nyata. Insya Allah. [HM Ismail Yusanto]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen + 2 =

Check Also
Close
Back to top button