Catatan Dakwah

Korupsi dan Teladan Pemimpin

“Ingin benar-benar bersih? Pakailah sapu yang bersih”

++++

Salah satu unsur terpenting dalam pemberantasan korupsi adalah teladan pemimpin. Jika ada gerakan pemberantasan korupsi, maka pemimpin tertinggilah yang semestinya memimpin gerakan ini. Pemimpin memiliki kewenangan dan pengaruh paling tinggi. Dengan kewenangan itu, ia bisa melakukan segala daya agar usaha penting ini bisa berhasil. Pemimpin yang bersih, tidak korup dan tegas dalam menindak para pelaku korupsi akan memberikan pengaruh sangat besar, bukan hanya kepada aparat birokrasi, tetapi juga kepada masyarakat luas. Akan berkembang atmosfer anti korupsi yang sangat kuat di tengah masyarakat.

Ada beberapa hal penting yang harus ditunjukkan oleh seorang pemimpin sebagai teladan dalam pemberantasan korupsi. Pertama: Pemimpin harus memiliki jiwa wara’ dan zuhud dari kemungkinan mengambil harta yang tidak halal. Apalagi terhadap yang jelas-jelas haram. Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis penting ditiru. Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kesturi kepada kaum Muslimin (Al-lhya’, Al-Ghazali).  Secara fiqh, mencium bau minyak wangi orang lain tidak haram, tetapi demikianlah sikap kehati-hatian Khalifah Umar bin Abdul Azis.

Kedua: Teladan pemimpin diperlukan dalam mencegah agar tidak ada anggota keluarganya yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Jamak terjadi dimana-mana, keluarga atau orang dekat akan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki kepentingan bisnis atau lainnya. Dulu, Khalifah Umar  menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena digembalakan bersama beberapa unta lain di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara.

Ketiga: Teladan paling penting adalah dalam hal larangan menerima suap dan hadiah. Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas keputusan atau jasa berkaitan dengan suatu kepentingan, yang semestinya wajib diputuskan atau dilakukan oleh seorang pegawai tanpa imbalan apa pun karena ia telah digaji. Adakalanya suap juga diberikan agar pegawai tidak melakukan kewajiban—misalnya di bidang pengawasan—sebagaimana mestinya agar menguntungkan pemberi suap. Abdulllah bin Rawahah, ketika menjalankan perintah Nabi saw. untuk membagi dua hasil bumi Khaibar—separuh untuk orang Yahudi separoh lagi untuk kaum Muslim—datang orang Yahudi mencoba menyuap dirinya dengan sejumlah perhiasan agar Abdullah mau memberikan lebih dari separuh kepada mereka. Tawaran itu ditolak keras seraya berkata, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram dan kaum Muslim tidak memakan suap.” Mendengar ini, orang Yahudi menyahut, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tetap tegak.” (Imam Malik dalam AI-Muwaththa’).

Maksudnya, berkat kejujuran Abdullah bin Rawahah sebagai birokrat, keadilan dan kebenaran akan tegak berdiri. Tentang hadiah kepada pejabat negara Rasulullah saw. berkata. “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Ahmad).

Pada riwayat lain hadiah itu disebut ghulul (perbuatan curang). Pada urnumnya, hadiah itu mempunyai maksud-maksud tertentu yang intinya agar pejabat yang diberi hadiah bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Sebab buat apa memberi hadiah bila tanpa maksud di belakangnya? Bila untuk sedekah, mengapa justru diberikan kepada pejabat yang biasanya sudah hidup lebih dari cukup, bukan kepada fakir miskin?

Rasulullah saw. dalam hadis riwayat al-Bukhari pernah mencela keras lbnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari orang-orang Bani Sulaim dalam tugasnya mengumpulkan zakat dari kabilah tersebut.  Ketika kembali dengan membawa sejumlah harta zakat, kata orang itu, “Ini untukmu dan ini hadiah yang dihadiahkan kepadaku.”  Mendengar itu Rasulullah saw. menukas. “Apakah tidak lebih baik jika kamu duduk-duduk saja di rumah ayah atau ibumu sampai hadiah itu datang padamu?” Pada kesempatan lain, Rasul juga menegaskan, “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud).

Hadits di atas tegas melarang pegawai  mengambil lebih banyak dari apa yang berhak mereka terima dari gaji dan tunjangan resmi lain. Praktik suap dan pemberian hadiah sangat besar pengaruhnya terhadap birokrasi. Hal itu akan merusak kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Pegawai  akan bekerja tidak sebagai mana mestinya hingga menerima suap. Di bidang peradilan, hukum akan ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan suap atau hadiah. Birokrat yang menerima suap dan hadiah telah bertindak curang. Pada Hari Kiamat kelak ia akan mendapat azab. Rasulullah  saw. berkata,  “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud).  Di dunia ia mendapat hukuman yang keras selain hartanya disita.

Dengan teladan dari pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan tidak sulit dilakukan. Sebaliknya, apa jadinya bila justru pemimpin itu yang melakukan korupsi dan melindungi korupsi yang dilakukan bawahannya? Lalu dengan kewenangannya bukan memperkuat lembaga pemberantasan korupsi, tetapi malah memperlemah. Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali. Akibatnya, pemberantasan korupsi hanya berhenti sebatas retorika kosong belaka.

Teladan pemimpin penting diperkuat dengan pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan tindak penyelewangan di kalangan birokrat. Masyarakat yang bermental instan (ingin serba cepat) akan cenderung menempuh jalan pintas untuk mendapatkan pelayanan cepat dari birokrat atau mencapai tujuan-tujuan pribadi dengan mengiming-imingi sejumlah uang atau pemberian lain. Sebaliknya, masyarakat mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan termasuk para birokratnya. Mereka akan menolak bila oknum birokrat mengajak mereka berbuat nienyimpang. Pengawasan masyarakat akan mempersempit ruang gerak penyimpangan kaum birokrat.

Demi menumbuhkan keberanian rakyat  mengoreksi  birokrat,   Khalifah  Umar  pada  awal kepemimpinannya mengatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walau pun dengan pedang.” Menyambut seruan Umar, berdirilah seorang laki-laki yang dengan lantang berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu, Umar amat bergembira. Bukan malah menangkap atau  menuduh dirinya menghina kepala negara.

++++

Jadi, satu-satunya cara mengatasi korupsi selain penataan sistem adalah teladan dari pucuk pimpinan. Sistem yang baik cenderung akan membuat para pegawai menjadi baik dan tercipta pula lingkungan kerja yang baik. Apalagi disertai teladan dari para pemimpin. Niscaya tindak korupsi dan penyelewengan jabatan akan dapat dihapus atau setidaknya ditekan. Tidak malah makin berkembang seperti sekarang ini. Cita-cita terbentuknya pemerintahan bersih (clean government) insya Allah dapat diwujudkan. Bukan menjadi sebuah ilusi oleh karena pemerintahan telah dikendalikan oleh sebuah kekuatan oligarki korupsi.

Jadi benar kan, kalau mau nyapu, ya pake lah sapu yang bersih… [H.M. Ismail Yusanto]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

six + twenty =

Back to top button