Primordial
Setiap kali bicara tentang agama (Islam), dan dengan Islam itu lalu kita menginginkan pengaturan negeri ini didasarkan, kadang kita dituding telah bersikap primordial dan hanya mementingkan kelompoknya saja. Karena itu tidak sedikit orang yang kemudian menghindar diri dari terlalu tampak membela Islam karena jengah dengan tudingan primordialisme itu. Akan tetapi, benarkah keinginan seperti itu hanya mementingkan kelompok, tidak berhubungan dengan kepentingan orang banyak, dan itu artinya telah bersikap primordial?
Apa itu primordial atau primordialisme sebenarnya? Dikutip dari Wikipedia, secara etimologi primordial atau juga primordialisme berasal dari bahasa Latin primus, yang memiliki arti pertama, dan ordiri yang berarti tenunan atau ikatan. Pengertian primordialisme secara umum ialah suatu pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik itu mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan atau segala sesuatu yang terdapat di dalam lingkungan pertamanya. Menurut KBBI, primordialisme merupakan suatu perasaan kesukuan yang berlebihan.
Sebagai identitas sebuah golongan atau kelompok sosial, primordialisme merupakan faktor yang penting dalam memperkuat ikatan golongan atau kelompok dalam menghadapi ancaman dari luar. Akan tetapi, primordialisme juga bisa membangkitkan prasangka serta permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial lainnya.
Primordialisme bisa berdampak negative. Di antaranya: mengganggu kelangsungan hidup suatu bangsa, menghambat modernisasi dan pembangunan, menghambat hubungan antarbangsa, menghambat proses asimilasi dan integrasi, mengurangi dan menghilangkan objektivitas ilmu pengetahuan, menyebabkan diskriminasi, juga menimbulkan konflik antarkebudayaan suku-suku bangsa. Namun, bisa juga berdampak positif. Di antaranya: memperkuat cinta tanah air, memunculkan kesetiaan terhadap bangsa, membangkitkan semangat patriotism serta menjaga keutuhan dan kestabilan budaya.
++++
Mengapa kita menginginkan Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Mengapa pula harus Islam? Ini sesungguhnya soal identitas dan bagaimana kita memaknai identitas itu. Bagi sebagian orang, mungkin identitas Islam itu dianggap sekadar sebuah label. Tidak terlalu penting. Karena itu bisa dipakai dan ditanggalkan setiap saat. Namun, bagi sebagian lain, Islam itu adalah cara pandang. Jika ia sebuah identitas maka itu identitas yang sangat penting dan mempunyai makna yang amat mendalam.
Bila keprihatinan kita pada berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara disebut sebagai kepedulian, maka dengan tawaran Islam sebagai solusi, membuat kepedulian ini bukan sembarang kepedulian, apalagi bila dikatakan demi kepentingan kelompok, melainkan kepedulian yang bersifat transendental.
Mengapa kepedulian transedental itu penting? Karena dengan kepedulian itu kita juga ingin sekaligus beribadah dan mendapatkan berkah. Disebut ibadah karena kepedulian itu merupakan perwujudan ketaatan kita kepada Sang Pencipta. Tentu dengan sebuah keyakinan bahwa dengan Islam problematika yang dihadapi negeri ini, juga dunia, akan bisa teratasi dengan baik. Pasalnya, Allah SWT memang menetapkan Islam dengan aturannya itu sebagai jalan atau cara untuk kita menyelesaikan berbagai persoalan itu dengan sebaik-baiknya.
Adapun soal berkah, ini terkait dengan output apa yang bakal didapat ketika Islam dijadikan dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lagi ini soal keyakinan bahwa output yang didapat pastilah sebuah kebaikan. Melalui sebuah hadis qudsi, Allah SWT menyatakan: Jika Aku ditaati, Aku ridha. Ketika Aku ridha maka Aku berkahi. Jadi, dengan taat, Allah SWT akan ridha, dan dengan ridha, berkah akan kita bisa raih.
Berkah, menurut bahasa, sebagaimana disebut dalam Kamus al-Munawwir (1997) berasal dari kata al-barakah. Artinya, nikmat. Istilah lain dalam bahasa Arab adalah mubârak dan tabâruk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), berkah artinya “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”. Dalam syarh hadis Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi menyebut berkah memiliki dua arti: tumbuh, berkembang atau bertambah; juga kebaikan yang berkesinambungan. Menurut istilah, sebagaimana disebut oleh Imam al-Ghazali dalam Ensiklopedia Tasawuf, berkah berarti ziyâdah al-khayr atau bertambahnya kebaikan.
Soal bagaimana berkah ini didapat, lebih jauh dijelaskan dalam QS al-A’raf ayat 96 (yang artinya): Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membuka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi.
Berkah dari langit (barakâh as-samâ’) dapat berupa udara, air hujan atau angin. Berkah dari bumi (barakâh al-ardhi) berupa tetumbuhan yang menghasilkan kayu, daun dan buah. Dari dalam bumi didapat aneka mineral, minyak, gas dan lainnya yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dari lautan didapat aneka ikan dan lainnya.
Jadi, dengan Islam berkah akan didapat. Keyakinan terhadap bakal meraih berkah bila solusi didasarkan pada Islam ini bukan sembarang keyakinan. Jika keyakinan umumnya bersifat subyektif maka ini jenis keyakinan yang obyektif. Artinya, kebaikan yang bakal ditimbulkan oleh Islam bisa diuji, dikaji dan diteliti.
Misal soal riba. Bisa dikaji, manakah sistem ekonomi keuangan yang lebih baik: yang dengan riba ataukah yang tanpa riba. Bila diyakini bahwa riba itu sumber labilitas ekonomi, keyakinan semacam ini juga bisa dikaji dan diteliti, apakah benar begitu. Obyektivitas itulah yang akan menepis tudingan bahwa pejuangan Islam itu hanya demi kepentingan kelompok sehingga pantas disebut primordial.
Islam itu risalah universal, bukan primordial. Karena itu kebaikan atau keberkahan Islam itu juga pasti bersifat universal. Tidak mungkin bersifat primordial. Itu pula yang diyakini oleh para founding father kita dulu ketika menyatakan bahwa kemerdekaan ini “atas berkat rahmat Allah”. Jika kemerdekaan itu diyakini atas berkah rahmat Allah, lantas siapa yang mendapatkan keberkahan dari kemerdekaan itu? Apakah hanya orang Islam saja?
Namun, sayang sekali, dalam konteks pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kata berkah itu kini hampir-hampir tak lagi disebut kalau tidak boleh dikatakan sudah dilupakan sama sekali. Padahal, mengingat pentingnya berkah, semestinya ke sanalah pembangunan negara diorientasikan. Wajar belaka bila kemudian negeri ini tak pernah surut dirundung berbagai duka dan luka. Ironinya, pihak yang menyerukan penerapan Islam malah dipersekusi, dituding radikal dan primordial.
++++
Jadi jelaslah, memperjuangkan Islam hingga bisa menjadi dasar dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa disebut tindakan mementingkan kelompok atau tindakan primordial, apalagi radikal. Justru hal itu menunjukkan kepedulian yang nyata terhadap keadaan negara dan masa depannya, sekaligus memberikan solusi atas problematika yang ada sehingga mendatangkan keberkahan bagi semua. [H.M. Ismail Yusanto]