Hiwar

H. Budi Mulyana: Disintegrasi Papua Tak Boleh Ada

Pengantar:

Isu disintegrasi Papua kembali mencuat belakangan ini. Kali ini pemicunya adalah sejumlah kerusuhan di beberapa wilayah di Papua. Kerusuhan antara lain dipicu oleh kericuhan yang terjadi sebelumnya di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.

Pertanyaannya: Mengapa isu disintegrasi Papua kembali mencuat? Siapa sesungguhnya dalang di balik kerusuhan yang terjadi di Papua? Mengapa tiba-tiba tudingan dalang kerusuhan diarahkan kepada pejuang syariah dan Khilafah? Mengapa isu disintegrasi Papua acapkali berulang? Apa sesungguhnya akar persoalan Papua sehingga sering mendorong sebagian warga Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia?  Apa pula solusi tuntas atas persoalan Papua menurut Islam?

Itulah di antara pertanyaan Redaksi kepada Pengamat Politik Internasional, H. Budi Mulyana. Berikut hasil wawancara Redaksi dengan beliau dalam rubrik ‘Hiwar’ kali ini.

 

Dalam kerusuhan Papua kemarin, elemen masyarakat yang mengusung syariah dan Khilafah dituduhkan sebagai dalangnya. Benarkah?

Tidak ada bukti yang kuat yang bisa dijadikan dasar atas tuduhan tersebut. Tidak ada jejak rekam historisnya. Juga tidak ada jejak faktualnya.

 

Jika tidak, siapa sebenarnya dalangnya?

Sebagaimana sudah dimafhumi semua, indikasi kerusuhan mengarah kepada pihak-pihak yang menginginkan Papua lepas dari negeri ini, atau setidaknya mendapatkan keuntungan dari instabilitas di Papua.

 

Lalu apa motif pihak-pihak yang menuduh pejuang syariah dan Khilafah sebagai dalang kerusuhan di Papua?

Saya lebih melihat pada dua hal. Pertama, pengalihan isu. Kedua, mengokohkan stigmatisasi terhadap para pejuang syariah dan Khilafah dengan menggunakan isu apapun, walaupun faktanya tidak sesuai dengan tuduhan tersebut.

Pengalihan isu ini terkait dengan kerasnya tudingan kepada Pemerintah yang dianggap abai terhadap Papua. Kaum separatis tidak henti-hentinya mencari momentum untuk dapat menguatkan keinginan mereka untuk lepas dari Indonesia. Ini memberikan posisi yang dilematis bagi Pemerintah. Bila terlalu keras, mereka akan mengangkat hal ini ke dunia internasional. Bila terlalu lembek, ini akan menguatkan posisi kaum separatis.

Adapun dalam konteks pengokohan stigmatisasi terhadap pejuang syariah dan Khilafah, terlihat tuduhan ini dipaksakan. Pasalnya, tidak ada indikasi yang kuat bahwa para pejuang syariah dan Khilafah ada di balik kerusuhan di Papua. Justru dengan adanya tuduhan ini, seakan Pemerintah mendapatkan momentum untuk memainkan isu yang selama ini terus dihembuskan untuk meredam apa yang mereka sebut sebagai radikalisme di Indonesia.

 

Bagaimana sikap Pemerintah selama ini dalam menangani isu disintegrasi di Indonesia? Apakah menyelesaikan masalah atau justru menunjukkan lemahnya Pemerintah?

Sudah ada upaya Pemerintah untuk menangani disintegrasi di negeri ini. Namun, ketika persoalan disintegrasi masih ada, artinya ada hal yang perlu di evaluasi. Untuk kasus di Papua, terlihat bahwa masalah disintegrasi belum mendapatkan solusi yang memadai, sebagaimana dulu saat menangani persoalan di Aceh atau tempat lainnya.

Pembangunan infrastuktur yang jor-joran, kunjungan berulang dari Presiden, bahkan pemberian otonomi khusus dengan dana yang besar, ternyata belum menyentuh persoalan mendasar dari rakyat Papua.

Banyak kepentingan yang berkelindan yang menunjukkan lemahnya penanganan disintegrasi di Papua ini.

 

Pemerintah mewacanakan meminta bantuan AS untuk menyelesaikan problem di Papua. Apakah ini akan menyelesaikan masalah atau justru mengundang intervensi asing lebih dalam?

Sebenarnya tidak semua aparat Pemerintah seiring dengan pernyataan ini. Faktanya, pernyataan wacana meminta bantuan AS kemudian dibantah.

Intervensi asing pastinya akan menambah persoalan baru. Selain menggerus kedaulatan Negara, hadirnya asing pastinya akan membawa kepentingan sendiri. Apalagi bila yang diminta adalah AS.

AS adalah pihak yang diuntungkan dengan masuknya Papua ke Indonesia. Dengan ‘bayaran’ Freeport yang memberikan pemasukan yang luar biasa bagi AS, tentu AS akan menjaga agar ‘aset’-nya tetap terjaga. Baik Papua masih bersama Indonesia atau ‘terpaksa’ merdeka. Sebab bagi mereka, yang utama adalah kepentingan nasionalnya, bukan kepentingan negara lain (Indonesia).

 

Apa sebenarnya yang menjadi akar masalah terus suburnya opini disintegrasi di Papua?

Mengutip hasil studi dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), saya melihat akar masalah gejolak Papua setidaknya ada empat. Pertama, sejarah integrasi Papua ke Indonesia. Kedua, traumatik masyarakat Papua akan operasi militer. Ketiga, diskriminasi oleh Pemerintah. Keempat, kegagalan pembangunan Papua.

Satu hal lagi yang tidak bisa dilepaskan, yaitu adanya intervensi asing khususnya Amerika Serikat (AS) yang dinilai sangat berkepentingan dengan Bumi Cenderawasih.

 

Siapa saja yang bermain untuk menyuburkan isu disintegrasi ini?

Yang bermain dalam upaya separatisme untuk menyuburkan isu disintegrasi setidaknya dilakukan melalui tiga elemen yakni: gerakan bersenjata, diplomatik dan politik. Elemen-elemen tersebut saling bahu-membahu.

Ketiga unsur di atas masing-masing digerakkan oleh sejumlah organisasi. Elemen pertama melalui Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) yang kerap melakukan berbagai aksi penyerangan dan kontak senjata di Papua.

Elemen kedua melalui diplomasi di luar negeri terutama organisasi ILWP (International Lawyer of West Papua) dan IPWP (International Parliament of West Papua). Keduanya diberi mandat TPN/OPM dan didukung oleh KNPB untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua di dunia internasional. Mereka menggalang dukungan negara lain terutama dari negara-negara MSG (Melanesian Spearhead Groups) agar mendukung agenda separatisme Papua dari Indonesia.

Terakhir elemen politik dalam negeri melalui LSM-LSM yang kerap melakukan aksi-aksi penuntutan referendum. Termasuk demonstrasi yang berujung pada kerusuhan yang dipicu aksi yang diduga rasisme di Surabaya beberapa waktu silam.

 

Lalu bagaimana solusi Islam dalam menyelesaikan masalah disintegrasi ini?

Islam mendorong agar umatnya bersatu. Tidak boleh berpecah-belah. Harus ditolak dan dihentikan segala bentuk gerakan separatisme dan intervensi asing yang akan memisahkan Papua dari negeri ini. Bahkan dengan tegas secara syar’i, pemisahan Papua dari negeri Muslim Indonesia hukumnya haram.

Saya melihat, Papua seharusnya tidak mengalami masalah disintegrasi. Keberagaman adalah fitrah bagi negeri ini. Berbeda suku, ras, agama, sejarah dan lainnya. Namun, bila perbedaan itu tidak disatukan dengan konsep yang akan meleburkan, maka keberagaman itu akan selalu menjadi potensi konflik.

Perlakuan yang adil oleh Pemerintah mutlak dilakukan. Keadilan dalam pembangunan infrastuktur dibutuhkan sesuai dengan kondisi, juga keadilan dalam pembangunan lainnya. Dengan itu Papua merasa ‘ingroup’ dengan bangsa Indonesia lainnya.

Adanya kaum separatis harus ditangani dengan tegas. Pemahaman yang komprehensif akan peta masalah di Papua mutlak dilakukan agar tidak keliru dalam penanganan kaum separatis ini. Terutama bila mereka bersembunyi di balik LSM atau organisasi keagamaan yang disokong oleh kepentingan asing.

 

Jadi benarkah bahwa Khilafah itu akan memecah-belah negeri Indonesia?

Tidak ada bukti historis bahwa Khilafah memecah-belah negeri Indonesia. Tuduhan tersebut juga bertolak belakang dengan konsep Khilafah yang justru merupakan konsep negara kesatuan yang mempersatukan. []

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

16 − 5 =

Back to top button