Saat Kekuasaan Berpisah dari Al-Quran
Apa yang bisa kita baca dari serangkaian kebijakan penguasa negeri ini? Makin hari makin menampakkan kezaliman dan ketidakadilan.
Lihatlah, sebelumnya aparat menahan Habib Rizieq Shihab (HRS). Tuduhannya adalah pelanggaran protokol kesehatan dalam acara Perayaan Maulud Nabi saw. di Petamburan beberapa waktu lalu. Juga beberapa tuduhan lain. Kini aparat juga menahan 5 pimpinan FPI. Tuduhannya sama.
Aparat juga menahan Zaim Saidi, inisiator pasar muamalah. Tuduhannya, Zaim telah melanggar sejumlah ketentuan terkait pemakaian mata uang. Sebelumnya, ada penahanan Gus Nur, Ustadz Maher, juga sejumlah tokoh kritis yang tergabung dalam KAMI seperti Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat.
Yang paling dramatis tentu saja adalah pembunuhan 6 anggota laskar FPI. Hingga sekarang, pembunuhan tersebut tetap tidak diakui sebagai pelanggaran berat HAM. Setelah itu FPI bukannya mendapatkan pembelaan. FPI malah dibubarkan. Lalu puluhan rekeningnya diblokir. Sejumlah pimpinan utamanya juga ditahan.
Bukan hanya itu, seolah memanfaatkan kondisi pandemik, saat publik tidak lagi bisa bergerak bebas, selama hampir satu tahun ini telah disahkan sejumlah peraturan perundangan yang sangat kontroversial. Sebutlah Perppu Covid-19. Lalu RUU Minerba. Yang paling kontroversial tentu adalah pengesahan UU Omnibus Cipta Kerja. Sebelum itu, Presiden menaikkan lagi besaran iuran BPJS yang sebenarnya sudah dibatalkan oleh MA. Paling akhir, Presiden mengeluarkan Perpres RAN PE (Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ektremisme). Lalu terbit SKB Tiga Menteri mengenai pakaian seragam kekhususan agama, yang dinilai sangat sarat muatan nilai-nilai sekular dan liberal.
++++
Rasulullah saw. dalam hadis riwayat ath-Thabarani menyatakan bahwa akan tiba saat al-Quran dan penguasa akan berpisah. Apa tanda nyata ketika penguasa berpisah dari al-Quran? Kata beliau, penguasa itu mengambil keputusan untuk kepentingan diri mereka sendiri, bukan untuk kepentingan umat atau rakyat.
Semua pengesahan peraturan perundangan dan keputusan-keputusan rezim yang tadi disebut, secara kasatmata mengkonfirmasikan apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. di atas. Semua keputusan itu tampak sekali tidak rasional, zalim dan jauh dari prinsip-prinsip keadilan. Bila DPR dikatakan adalah wakil rakyat yang melaksanakan kedaulatan rakyat, maka pengesahan semua peraturan perundangan itu telah membuktikan sebaliknya. DPR telah mengkhianati prinsip yang mereka yakini. Dalam pengesahan RUU Minerba, misalnya, DPR telah jelas-jelas lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal, khususnya pemilik PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), dengan memberikan kepastian perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi dengan luasan semula. DPR menganulir ketentuan lama yang menyebut area itu harus dikembalikan kepada negara. Bukankah dengan potensi yang disebut-sebut mencapai Rp 13.000 dari ladang batubara yang luasnya lebih dari 300.000 hektar itu, bila dikelola oleh Negara, hasilnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat? Mengapa semua itu malah jutru diserahkan kepada perusahaan swasta?
Pengesahan Perppu Covid-19 lebih tragis lagi. DPR telah jelas-jelas mengebiri sendiri kewenangan yang mereka miliki. Dalam hal ini hak budgeting. DPR malah memberikan hak itu kepada Eksekutif. DPR juga telah jelas-jelas mengebiri kewenangan Yudikatif, yang berdasarkan Pasal 27 memberikan imunitas bagi pejabat lembaga pemerintah di bidang keuangan. Pasal itu juga menyebutkan setiap pengeluaran negara dengan tujuan penyelamatan ekonomi saat pandemi Covid-19 tak dihitung sebagai kerugian negara. Keputusan yang diambil berdasarkan Perppu bukan obyek gugatan di PTUN. Pasal ini telah membuat Pemerintah kebal hokum. Ini jelas merupakan bentuk pengistimewaan hukum yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kesamaan semua orang di muka hukum (equality before the law).
Mengapa semua itu dilakukan? Apa yang selama ini coba ditutupi akhirnya terkuak. Tanpa banyak diketahui publik, sesaat setelah penandatanganan UU Omnibus Law oleh Presiden Jokowi pada 2 November lalu, Pemerintah memberikan perpanjangan usaha kepada PT Arutmin Indonesia yang pada 1 November 2020 lalu habis masa kontraknya. Dengan perpanjangan ini, mereka mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan luasan 57.107 hektar (setara 3 kali luas kota Bandung). Sama dengan sebelumnya. Perpanjangan ini seolah mengkonfirmasi apa yang sebelumnya menjadi kecurigaan besar publik, bahwa UU Omnibus dibuat tak lain untuk kepentingan oligarki. Utamanya pemilik tambang batubara besar. Hanya saja, yang tidak terlalu disadari oleh publik, pengesahan UU itu ternyata terkait erat dengan bakal habisnya salah satu dari 7 pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), yakni PT Arutmin pada 1 November itu.
Kini menjadi sangat jelas. Semua proses dan kelit kelindan lahirnya UU Minerba, UU Omnibus Cipta Kerja, juga Perppu Covid-19, tak lain adalah demi memuluskan kepentingan oligarki pemilik modal. Termasuk mengapa semua dibuat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata karena ada perusahaan yang bakal segera habis masa kontraknya.
Semua fakta di atas menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat hanyalah mitos. Yang berjalan adalah kedaulatan pemilik modal. Dengan kekuatan modalnya, mereka dengan cara yang tampak prosedural, bisa membuat atau mengubah undang-undang yang ada sesuai keinginan mereka.
Adapun pembuatan Perpres RAN PE merupakan bentuk nyata memerangi radikalisme. Seperti yang dinyatakan oleh Daniel Pipes, otak di belakang War on radicalism, semua itu hakikatnya tak lain adalah bagian dari usaha memerangi Islam (war on Islam). Tentu yang dimaksud bukan Islam secara keseluruhan, tetapi Islam politik atau Islam ideologis. Itulah Islam yang menghendaki tegaknya syariah secara kaffah guna mengatur kehidupan masyarakat dan negara. tentu agar bisa terwujud rahmat bagi sekalian alam yang telah Allah SWT janjikan.
Untuk hal itu, sebelum ini rezim juga sudah bertindak. Membubarkan HTI, lalu FPI. Dua organisasi ini dikategorikan sebagai kelompok radikal, persis seperti yang disebut oleh Daniel Pipes tadi. Bila berjalan nanti, Perpres ini jelas akan membelah masyarakat. Sebagian anggota masyarakat merasa diawasi. Sebagian lagi mengawasi. Dalam dokumen ini memang disebut adanya program pemolisian masyarakat.
Di sisi lain, SKB Tiga Menteri, terutama pada poin bahwa negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama, jelas sekali membawa prinsip sekular, juga liberal. Seperti tampak pada poin tentang pentingnya pemahaman dan praktik agama moderat. Dalam pandangan Islam, memakai pakaian menutup aurat jelas merupakan kewajiban. Muslimah wajib memakai jilbab dan khimar atau kerudung. Sebagai sebuah kewajiban, sudah semestinya guru sebagai pendidik, pihak sekolah, bahkan juga pemerintah di daerah dan pusat, mendorong bahkan mewajibkan. Bukan sebaliknya.
++++
Bila demikian kenyataannya, apa yang harus kita lakukan? Nabi saw. memberi nasihat sangat jelas. Kita wajib tetap kokoh berpegang pada al-Quran, “Fa la tufarriqu al-Kitab (Janganlah engkau berpisah dari al-Quran.” Apapun risikonya meski umpamanya harus menanggung derita seperti yang dialami oleh pengikut Nabi Isa as., “Mereka digergaji dengan gergaji besi dan disalib di atas sebatang kayu.” Akhirnya, Nabi saw. memberikan nasihat kunci, “Mati di atas ketaatan kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kemaksiatan kepada-Nya.”
Ya, ketaatan kepada Allahlah yang akan mengantarkan kita pada surga-Nya. Sebaliknya, kemaksiatan, meski menghasilkan kekuasaan dan kekayaan, dipastikan akan mengantarkan pelakunya ke seburuk-buruk tempat kembali: Neraka! [H. Muhammad Ismail Yusanto]