Fikih

Hukum Seputar Network Marketing

Soal:

Pertanyaan pertama: Seorang teman mengirimi saya undangan untuk kesempatan bisnis baru yang bisa memberi saya pendapatan tambahan. Kesempatan itu adalah bisnis secara online dan menghadiri sejumlah pertemuan pengenalan melalui aplikasi zoom. Ringkasnya ada di bawah ini:

Pengenalan bisnis dan penjelasan kebutuhan kami atas penghasilan tambahan dalam kondisi yang kami jalani, terutama dalam kondisi pandemi Corona dan semua transaksi telah menjadi dari jarak jauh dan secara elektronik (internet).

Bisnis itu bersama perusahaan Jeunesse Products – Health/Beauty. Supaya setiap orang memiliki toko online atau e-wallet, dia harus membeli satu paket kosmetik harganya berkisar antara $ 1.000  dan $ 2.000 minimalnya.

Pembayarannya melalui bank, kemudian paket akan sampai kepada Anda di rumah. Cara kerjanya bukan menjual atau mempromosikan paket yang menjadi milik saya atau menjualnya secara online. Mereka menganggap ini sebagai cara tradisional. Namun, bisnisnya adalah dengan mengajak orang lain untuk bergabung dan berpastisipasi dalam bisnis. Lalu membuat tim dan meyakinkan mereka akan kesempatan tersebut. Kemudian berdialog dengan sebanyak mungkin orang dari keluarga, kerabat, rekan-rekan melalui situs komunikasi. Melibatkan mereka dengan pertemuan-pertemuan melalui aplikasi zoom. Bertemu dengan orang-orang yang senior di bidang ini dan telah mendapatkan level dan telah menghasilkan banyak keuntungan.

Keuntungan didapat melalui komisi yang Anda peroleh pada setiap peserta baru yang melakukan langkah pertama, yaitu membeli paket dan sebagian besarnya membeli untuk penggunaan pribadi. Semakin banyak Anda mengikutsertakan orang lain dan semakin panjang rantai, maka semakin banyak komisi yang akan diperoleh.

Orang-orang yang Anda undang pun akan mengundang orang lain. Mereka akan mendapatkan komisi. Anda juga akan mendapatkan komisi tambahan atas setiap orang baru. Begitulah seterusnya. Komisinya senilai $35.

Semakin banyak tim, Anda akan mendapatkan hak istimewa, komisi dan tingkat baru. Seiring dengan peningkatan pendapatan yang bisa mencapai $ 4.000 dalam dua bulan menurut deskripsi orang yang mengajak saya.

Pertanyaannya: Apa sikap syar’i dari bisnis ini? Apa pendapat para ulama dan para syaikh tentang masalah ini?

Pertanyaan kedua: Belakangan ini menyebar E-commerce, khususnya Pemasaran Sistem Jaringan (Network Marketing). Pandangan tentang masalah ini terpecah seputar halal dan haramnya. Pertanyaannya: Apa hukum Pemasaran Sistem Jaringan (Network Marketing)?

Gambarannya begini: Pada awalnya perusahaan menawarkan kepada siapa yang ingin bergabung dengan bisnis agar membayar sejumlah uang tertentu untuk mendapatkan situs web-nya dengan nama ID seolah-olah itu merupakan izin untuk wakalah. Dengan ID ini, perusahaan memungut biaya yang diambil dari kliennya. Setelah bergabung, ia memulai bisnis sebagai berikut. Pertama, dibagi menjadi dua bagian. Agen mulai memasarkan dan menjual produk, yang diketahui harganya dan benar-benar ada (riil). Tidak ada gharar di dalamnya. Dia harus mencapai target yang diinginkan agar bisa  mendapat komisi prosentase tertentu yang diberikan perusahaan kepada agen karena menjual produk ini. Perlu diketahui, agen itu mentransfer informasi tentang pembeli ke perusahaan. Perusahaan mengirim produknya dan memberi agen nisbah komisinya tanpa kepemilikan agen untuk produk itu. Agen adalah seorang pemasar dan bukan penjual produk ini. Ini di satu sisi.

Di sisi kedua, agen mempromosikan perusahaan dan merekrut agen-agen lain bercabang di bawahnya, kanan dan kiri. Dari setiap agen yang direkrut dia mendapat 500 poin. Jika ia bisa mendapatkan keseimbangan kanan dan kiri dengan menjual produk dan merekrut orang-orang, misalnya 1.000 poin kanan dan 1.000 poin kiri, agen tersebut naik peringkatnya di perusahaan untuk mendapatkan komisi tetap sebagai penghasilan tetap. Semakin banyak poin kanan dan kiri, agen pertama akan naik tingkatnya (levelnya) dan komisinya. Yang lainnya melakukan aktivitas yang sama untuk naik level dan komisinya juga.

Apakah aktivitas ini di dalamnya ada gharar atau perjudian atau masuk di bawah al-ju’âlah?

 

Jawab:

Sebelumnya telah datang kepada kami pertanyaan serupa tentang Pemasaran Sistem Jaringan (Network Marketing). Kami telah menjawab masalah ini pada 13 Oktober 2007, 8 Maret 2009 dan 19 Agustus 2015. Saya akan kutip kembali untuk Anda potongan dari jawaban itu sebagai berikut:

Akad di dalam Islam itu jelas, mudah dan tidak ada kerumitan. Transaksi (muamalah) itu harus jelas dari sisi faktanya, juga pihak-pihak yang bertransaksi. Kemudian kita harus mengetahui nas-nas yang berkaitan, mempelajari dan meng-istinbath hukum dengan ijtihad yang sahih.

Perusahaan yang Anda maksud dalam pertanyaan Anda itu bertransaksi melalui jaringan pemasaran dalam sejumlah produk. Perusahaan ini mensyaratkan kepada orang yang memasarkan produk-produknya untuk terlebih dulu membeli sesuatu dari produk-produk perusahaan itu (seperti yang ada di pertanyaan pertama). Atau membayar sejumlah tertentu “seolah-olah dia mengambil izin wakalah (agensi)” (seperti dalam pertanyaan kedua). Hal itu supaya perusahaan memberi dia hak untuk mendatangkan klien untuk perusahaan. Lalu perusahaan memberi dia komisi sebagai imbalan mereka, “yaitu dia menjadi makelar perusahaan, menghadirkan para pembeli dan mendapat komisi dari upayanya menghadirkan mereka itu”.

Perusahaan tidak memberi dia komisi sampai dia menghadirkan sejumlah pembeli, yakni sesuai program perusahaan yang disiapkan untuk tujuan ini. Dengan kata lain, dari setiap pembeli pertama atau orang yang membayar uang pertama, yang berhasil dia hadirkan, dia mendapatkan komisi; juga mendapat tambahan komisi yang lebih kecil dari orang-orang yang dihadrikan oleh yang lain dan aktifitas pemasaran “samsarah-brokery-”. Terus berlanjut seperti ini, yaitu dalam bentuk serangkaian samsarah atau jaringan pemasaran.

Aktivitas bisnis seperti ini menyalahi syariah. Penjelasannya sebagai berikut:

Pertama: Tidak dibenarkan penjual mensyaratkan bahwa seorang pria tidak akan menjadi makelarnya kecuali jika dia membeli dari dia. Namun, dia hanya dibolehkan (menjadi makelar) jika sesuai dengan fakta samsarah (makelaran/brokery), yaitu penjual mengatakan kepada seorang pria, “Jika kamu mendatangkan pelanggan untukku, aku akan memberi kamu upah untuk setiap pelanggan.” Ini tanpa harus membeli dari dia atau membayar uang kepada dia supaya menjadi makelar dari penjual itu. Faktanya, perusahaan mensyaratkan kewajiban pembelian “pemasar/marketer” produk perusahaan itu (seperti pada pertanyaan pertama) atau membayar jumlah tertentu (seperti pada pertanyaan kedua). Dengan itu ia berhak untuk bekerja untuk perusahaan itu sebagai makelar dengan mendapat komisi, yaitu menghadirkan pelanggan dan menerima komisi atas mereka. Ini berarti bahwa akad pembelian “atau pembayaran uang” dan akad samsarah adalah dua akad dalam satu akad, atau dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. Pasalnya, keduanya saling dipersyaratkan satu sama lain. Ini jelas haram.

نهى رَسُولُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم عَنْ صَفْقَتَين فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَة

Rasulullah saw. telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (HR Ahmad).

 

Jelas, kenyataan inilah yang ada sesuai dengan pertanyaan di atas. Jadi jual-beli dan samsarah (makelaran) dalam satu akad, artinya wajib membeli dari perusahaan adalah syarat untuk aktivitas samsarah (makelar), yakni untuk memasarkan dengan mendapat komisi dari pembeli yang dihadirkan untuk perusahaan.

Kedua: Samsarah (makelar) adalah akad penjual dengan orang yang menghadirkan pelanggan untuk penjual itu. Komisi samsarah (broker) dalam akad ini wajib dari orang-orang yang dihadirkan seseorang itu untuk perusahaan. Bukan dari orang-orang yang dihadirkan oleh orang lain. Karena komisi samsarah (broker) dalam transaksi perusahaan yang disebutkan itu diambil oleh makelar “pemasar/marketer” dari pelanggan yang ia hadirkan (bawa) untuk membeli dari perusahaan, juga dari orang-orang yang dihadirkan (dibawa) oleh yang lainnya, maka ini menyalahi akad samsarah (makelaran/brokery).

Ketiga: Harga pembelian dari perusahaan tersebut disertai dengan ghabn fâhisy (selisih yang keterlaluan). Pembeli mengetahui hal itu. Hanya saja, perkara tersebut tidak kosong dari tipuan (tipdaya) hasil dari cara-cara yang “berliku” yang digunakan oleh perusahaan dalam mempromosikan bisnisnya. Faktanya, perusahaan menuntun pembeli untuk membayar harga mahal untuk produk perusahaan yang tidak setara dengan bagian kecil dari harga yang sebenarnya. Semua itu disebabkan apa yang dipromosikan oleh perusahaan berupa masa depan (cemerlang) untuk pembeli ini karena ia akan memiliki kesempatan untuk memasarkan produk perusahaan dengan mendapat komisi dari (para pembeli) yang dia hadirkan (bawa) ke perusahaan, juga dari para pembeli yang akan dihadirkan (dibawa) oleh orang-orang yang dia hadirkan (dia bawa) dulu. Ketika pembeli tidak dapat menghadirkan (membawa) para pembeli, khususnya mereka yang ada di ujung rantai pembeli, maka trik itu telah mengepung dia, dan dia merugi karena harga mahal yang dia bayar untuk sebuah produk yang tidak sebanding dengan angka yang dia bayar Tipuan (tipudaya) itu di dalam Islam hukumnya haram.

Rasulullah saw. bersabda:

الخَدِيعَةُ فِي النَّار

Tipuan (tipudaya) itu (pelakunya) di neraka  (HR al-Bukhari).

 

Rasulullah saw. mengatakan kepada seorang pria yang biasa tertipu dalam jual-beli:

إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبةَ

Jika engkau menjual, katakanlah, tidak ada khilâbah (HR al-Bukhari).

 

Al-Khilâbah adalah al-khadî’ah (tipuan). Inilah manthuq hadis tersebut. Mafhum-nya menunjukkan bahwa tipuan adalah haram.

Kesimpulan: Transaksi (muamalah) ini, menurut cara yang dijelaskan di dalam pertanyaan di atas, adalah menyalahi syarat-syarat samsarah (makelar/brokery) dan tidak kosong dari tipuan (tipudaya). Jadi, itu muamalah yang menyalahi syariah.

Saya sungguh memohon kepada Allah SWT untuk memberi kita taufik dengan pertolongan dan karunia-Nya untuk tegaknya Khilafah dan penerapan sistem ekonomi Islam yang menjelaskan berbagai transaksi (muamalah) ekonomi yang bersifat dan murni. Semua ituakan memberikan kehidupan yang tenang dan tenteram untuk semua individu rakyat. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Inilah yang saya rajih-kan dalam masalah ini. WalLâh a’lam wa ahkam. [Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah/23 Jumada al-Akhirah 1442 H-05 Februari 2021 M].

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − six =

Back to top button