Setiap Perbuatan Punya Nilai
Soal:
Pertanyaannya berkaitan dengan topik nilai yang dinyatakan di dalam Kitab Al-Mafâhîm: Apakah perjuangan untuk menegakkan Khilafah dalam bentuk kehadiran dalam halqah dan aktivitas dakwah merealisasi nilai kemanusiaan atau nilai ruhiah? Apakah aktivitas Negara juga merealiasasi nilai ruhiah, kemanusiaan, moral atau materiil?
Jawab:
Pertama: Dinyatakan di Kitab Mafâhîm Hizbi at-Tahrîr sebagai berikut:
Berkaitan dengan maksud dari perbuatan maka setiap orang yang melakukan perbuatan harus memiliki maksud yang menjadi alasan/tujuan dia melakukan perbuatan itu. Maksud itulah nilai perbuatan. Oleh karena itu, menjadi keniscayaan setiap perbuatan memiliki nilai yang diperhatikan manusia untuk diraih ketika melakukan perbuatan. Jika tidak begitu maka itu menjadi sekadar main-main (sia-sia). Tidak seharusnya manusia melakukan perbuatannya main-main tanpa maksud. Dia harus memperhatikan perealisasian nilai perbuatan yang untuk itulah dia melakukan perbuatan tersebut.
Perbuatan ada kalanya bernilai materiil, seperti aktivitas perdagangan, pertanian, industri dan semacamnya. Artinya, maksud pelaksanaan aktivitas-aktivitas ini adalah mewujudkan manfaat-manfaat materiil, yaitu keuntungan. Itu merupakan nilai yang memiliki bobot di dalam kehidupan.
Ada kalanya perbuatan itu bernilai kemanusiaan, seperti menyelamatkan orang yang tenggelam dan membantu orang yang kesusahan. Artinya, maksud dari perbuatan tersebut adalah menyelamatkan manusia tanpa peduli warna kulit, jenis kelamin, agamanya atau pertimbangan lainnya selain kemanusiaan.
Ada kalanya perbuatan itu bernilai moral seperti jujur, amanah, kasing sayang. Artinya, maksud dari perbuatan tersebut adalah aspek moral (akhlak) terlepas dari keuntungan dan terlepas dari aspek kemanusiaan. Sebabnya, kadang moral itu terhadap selain manusia seperti lemah lembut kepada hewan dan burung. Kadang kala perbuatan bersifat moral itu menghasilkan kerugian materiil. Namun, perealisasian nilainya adalah wajib, yaitu aspek moral.
Ada kalanya nilai perbuatan itu berupa nilai ruhiyah seperti ibadah. Artinya, maksud dari perbuatan tersebut bukanlah demi keuntungan materiil, aspek kemanusiaan dan tidak pula masalah-masalah moral. Akan tetapi, yang dimaksudkan dari dari perbuatan tersebut semata-mata ibadah. Oleh karena itu, harus diperhatikan perealisasian nilai ruhiyahya saja terlepas dari nilai-nilai lainnya.
Inilah nilai seluruh perbuatan manusia. Inilah yang menjadikan manusia merealisasikan nilai-nilai tersebut ketika dia melakukan semua perbuatannya.
Kedua: Di dalam Kitab Mafâhîm Hizbi at-Tahrîr halaman 30-34 file word juga dinyatakan:
Standar masyarakat manusia di dalam kehidupan duniawinya tidak lain menurut nilai-nilai ini. Itu menurut kadar apa yang direalisasikan di masyarakat dan apa yang
menjamin perealisasiannya berupa kemakmuran dan ketenteraman. Oleh karena itu, setiap Muslim harus mengerahkan daya upayanya untuk merealisasi nilai yang dimaksudkan dari setiap perbuatan yang dia lakukan ketika dia menunaikan dan melangsungkan perbuatan ini, Dengan itu dia berkontribusi dalam kemakmuran dan ketinggian masyarakat dan menjamin—pada waktu yang sama—kemakmuran dan ketenteraman dirinya sendiri.
Nilai-nilai ini tidak saling berlebih dan tidak setara karena zatnya sendiri. Sebabnya, tidak ada di antara nilai-nilai itu karakterstik yang bisa dijadikan kaidah untuk kesetaraannya satu sama lain atau kelebihannya satu sama lain, melainkan itu adalah hasil-hasil yang dimaksudkan oleh manusia ketika dia melakukan perbuatan tersebut.
Seseorang yang pada dirinya lebih dominan perasaan-perasaan ruhiyah dan dikuasai oleh kecenderungan pada aspek ruhiyah dan mengabaikan nilai materiil, mereka akan mengutamakan nilai ruhiyah atas nilai materiil sehingga dia berpaling untuk beribadah dan zuhud terhadap materi. Oleh karena itu, mereka menelantarkan kehidupan karena itu adalah materi dan menyebabkan kemunduran kehidupan secara materi. Disebabkan hal itu, tingkat kehidupan masyarakat yang mereka hidup di dalamnya merosot karena menyebarluasnya kemalasan dan kelesuan.
Orang-orang yang dalam dirinya dominan kecenderungan materiil dan dikuasai oleh syahwat dan menelantarkan nilai ruhiyah, mereka mengutamakan nilai materiil dan berpaling untuk merealisasi nilai ruhiyah. Oleh karena itu mereka memiliki banyak cita-cita. Disebabkan hal itu, masyarakat tempat mereka hidup pun terganggu dan di dalamnya menyebar luas keburukan dan kerusakan.
Oleh karena itu salah menyerahkan penentuan nilai-nilai ini kepada manusia. Nilai-nilai itu wajib ditentukan oleh Sang Pencipta manusia, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu syariah wajib menjadi pihak yang menentukan untuk manusia nilai-nilai ini dan menentukan waktu pelaksanaannya, yang mana manusia wajib mengambilnya menurut hal itu.
Syariah telah menjelaskan solusi-solusi problem-problem kehidupan menggunakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Syariah mengharuskan manusia untuk berjalan di kehidupan ini sesuai perintah dan larangan ini. Syariah telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang merealisasi nilai ruhiyah, yaitu ibadah yang diwajibkan dan disunnahkan oleh syariah. Syariah telah menjelaskan sifat-sifat yang merealisasi nilai moral. Syariah menyerahkan kepada manusia untuk merealisasi nilai materiil yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih dari kebutuhan pokok itu sesuai sistem (aturan) tertentu yang telah dijelaskan syariah untuk dirinya dan syariah memerintahkan manusia agar tidak menyimpang darinya. Yang menjadi kewajiban manusia tidak lain adalah melakukan perbuatan untuk merealisasi nilai-nilai ini sesuai perintah dan larangan Allah SWT dan menilai nilai-nilai itu sesuai kadar yang telah dijelaskan oleh syariah.
Ketiga: Adapun bagaimana peran Negara dalam perealisasian nilai-nilai ini, maka untuk menjawab hal itu kami menjelaskan perkara-perkara berikut:
Nilai suatu perbuatan adalah maksud yang menjadi alasan seseorang melakukan perbuatan itu. Jadi nilai adalah maksud dari perbuatan. Yang memiliki maksud dari perbuatan adalah manusia, yakni individu secara personal seperti Muhammad, Zainab, Fathimah dan Khalid. Ketika melakukan suatu perbuatan, dia bermaksud merealisasi nilai tertentu dari perbuatannya. Jika Muhammad melakukan aktivitas perdagangan maka dia bermaksud merealisasi keuntungan materi dan itu merupakan nilai materiil. Jika Zainab menunaikan shalat, maka dia bermaksud untuk merealisasi nilai maknawi, yaitu nilai ruhiyah. Jika Fathimah jujur maka dia bermaksud merealisasi nilai moral. Jika Khalid menolong orang yang kesusahan maka dia bermaksud merealisasi nilai kemanusiaan.
Begitulah. Jadi nilai adalah maksud individu secara personal dari perlaksanaannya atas suatu perbuatan, yakni bahwa yang melakukan perbuatan dengan maksud merealisasi nilai adalah manusia (individu). Hal itu sebagaimana yang dinyatakan di dalam pembahasan nilai di dalam Ktab Al-Mafâhîm bahwa nilai yang dilakukan oleh individu dengan person Fulan dan Fulan dan bukan oleh Negara.
Dengan merujuk pada apa yang dinyatakan di akhir apa yang disebutkan dari Kitab Al-Mafâhîm poin kedua:
Oleh karena itu salah menyerahkan penentuan nilai-nilai ini kepada manusia. Nilai-nilai itu wajib ditentukan oleh Sang Pencipta manusia, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu Syariah harus menjadi pihak yang menentukan untuk manusia nilai-nilai ini dan menentukan waktu pelaksanaannya, yang mana manusia wajib mengambilnya menurut hal itu.
Syariah telah menjelaskan solusi-solusi atas problem-problem kehidupan menggunakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Syariah mengharuskan manusia untuk berjalan di kehidupan ini sesuai perintah dan larangan ini. Syariah telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang merealisasi nilai ruhiyah, yaitu ibadah yang diwajibkan dan disunnahkan oleh syariah. Syariah telah menjelaskan sifat-sifat yang merealisasi nilai moral. Syariah menyerahkan kepada manusia untuk merealisasi nilai materiil yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih dari kebutuhan pokok itu sesuai sistem (aturan) tertentu yang telah dijelaskan syariah untuk dirinya dan syariah memerintahkan manusia agar tidak menyimpang darinya. Yang menjadi kewajiban manusia tidak lain adalah melakukan perbuatan untuk merealisasi nilai-nilai ini sesuai perintah dan larangan Allah SWT dan menilai nilai-nilai itu sesuai kadar yang telah dijelaskan oleh syariah.
Di sini tampak menonjol tugas Negara dengan mengontrol nilai-nilai ini sesuai dengan hukum-hukum syariah dan yang menjadi kewajiban manusia tidak lain berbuat untuk merealisasi nilai-nilai ini sesuai perintah dan larangan Allah di semua jenis nilai baik ruhiyah, moral, kemanusiaan dan meteriil.
Inilah tugas dan peran Negara dalam mengontrol pelaksanaan individu untuk merealisasi nilai-nilai tersebut sesuai hukum-hukum syariah, baik nilai ruhiyah, moral, kemanusiaan atau materiil. Negara menggunakan cara-cara yang diperlukan dalam mengontrolnya berupa arahan atau penjelasan sesuai hukum-hukum syariah. Jika arahan dan penjelasan tidak bermanfaat untuk meluruskan pelanggaran syar’i dalam pelaksanaan oleh individu untuk nilai-nilai ini dan diperlukan dijatuhkan sanksi maka Negara melakukannya. Hal itu untuk menjamin implementasi individu untuk nilai-nilai ini sesuai perintah dan larangan Allah SWT.
Inilah yang saya kuatkan dalam masalah ini.
WalLâh a’lam wa ahkam.
[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 26 Jumada al-Akhirah 1443 H/29 Januari 2022 M]
Sumber:
Https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/80006.html
Https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/480801780273863