Baiti Jannati

Menjaga Anak dari Bahaya Moderasi Agama

Ayah-Bunda, anak adalah amanah Allah SWT yang sangat berharga,  yang patut kita syukuri. Anak wajib kita asuh dan didik hingga pada akhirnya kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya.  Kita wajib menjaga anak kita. Kita wajib memastikan tak ada satu pun  bahaya yang mengancam anak kita. Baik bahaya fisik maupun bahaya pemikiran.

Saat ini, banyak pemikiran rusak dan berbahaya mengancam anak anak kita. Salah satunya adalah moderasi beragama. Sering disebut dengan moderasi Islam. Moderasi Islam dibuat sebagai bagian dari rencana busuk Barat untuk men-”deideologisasi” Islam. Mereka berupaya menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam sebagai ideologi. Islam jelas tidak hanya ajaran ritual, namun juga memancarkan berbagai aturan hidup disertai dengan metode penerapannya.

Massif-nya moderasi ini diaruskan telah membuat sebagian umat Islam terjebak. Banyak yang akhirnya  mengadopsi pemikiran ini dan menganggapnya sebagai ajaran Islam.  Padahal moderasi Islam adalah ajaran kufur. Ajaran ini mengajak Muslim untuk bersikap moderat, yaitu sikap kompromis dan jalan tengah.

Atas nama toleransi dan moderasi, umat Islam harus mengakui bahwa semua agama adalah benar. Padahal ini jelas menyalahi akidah Islam (Lihat: QS Ali Imran [3]: 19).

Atas nama toleransi dan moderasi pula,  sekolah-sekolah negeri tak boleh menetapkan seragam Muslimah bagi para siswinya.  Larangan ini semakin membuktikan bagaimana moderasi adalah ancaman bagi umat Islam untuk menerapkan ajaran agamanya sendiri.

Demikianlah, atas nama toleransi dan moderasi, umat Islam perlahan namun pasti dipaksa untuk mau berkompromi dengan pemikiran dan aturan kufur. Berkompromi dengan sistem kufur. Ini sama saja mencampurkan al-haq (kebenaran) dengan al-bathil (kebatilan). Perbuatan ini jelas melanggar larangan Allah SWT (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 42).

 

Bagaimana Anak Terpapar Moderasi Agama?

Ayah-Bunda, anak-anak kita terpapar pemikiran moderasi setidaknya dari dua jalan, yaitu rumah dan sekolah. Ketika di rumah, pemikiran moderasi masuk melalui berbagai acara televisi yang dikemas dalam bentuk film, sinetron, acara anak anak, program belajar dll.  Bisa juga dari berbagai buku bacaan baik majalah, komik, novel dll. Juga bisa masuk melalui gadget, yang selama pembelajaran jarak jauh ini selalu setia menyertai anak-anak kita.

Adapun di sekolah moderasi agama masuk  melalui  pembelajaran di kelas; dari buku atau modul-modul yang harus dibaca anak; dari berbagai tayangan saat pembelajaran; bahkan masuk juga di kegiatan Rohis, ekstrakurikuler seperti pramuka dll.

Tak aneh jika moderasi beragama sangat massif diaruskan di sekolah-sekolah. Pasalnya, Pemerintah Indonesia memang telah memasukkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Berbagai program moderasi beragama pun dibuat. Moderasi masuk menjadi  kurikulum wajib baik di sekolah umum maupun sekolah agama (madrasah). Juga di pondok-pondok pesantren.

 

Anak Berkarakter Moderat

Moderasi akan melahirkan anak-anak berkarakter moderat, yaitu inklusif, toleran dan sekular. Anak yang inklusif tak mau atau enggan menampakkan keislamannya karena tak ingin  dianggap beda dengan lingkungan sekitarnya. Jika berkerudung akan membuat tampak berbeda dengan teman temannya, maka ia  akan melepas kerudungnya. Atau kalaupun memakai kerudung, ia akan memilih  kerudung ‘ala kadarnya’ seperti yang dikenakan teman-temannya. Bukan kerudung yang menutup aurat dengan benar.

Anak  yang moderat akan sangat  toleran terhadap kemaksiatan,  yang diwujudkan dengan sikap tak peduli. Bisa jadi ia anak yang taat ibadah. Shalat fardhu tak pernah ia tinggalkan. Namun, ia akan membiarkan teman-temannya tidak shalat. Ia akan membiarkan temannya atau siapapun melanggar syariah. Ia bisa menerima itu. Pasalnya, karena bagi dia semua orang bisa punya pendapat yang berbeda-beda. Tak perlu mencampuri.

Tak hanya itu, anak yang moderat  juga  sangat toleran dan menghormati  non-Muslim, tetapi dengan toleransi  yang kebablasan. Ia akan mengucapkan selamat hari raya ke teman-temannya yang non-Muslim. Ia juga ikut acara acara keagamaan mereka. Bahkan bisa jadi ia pun  ikut masuk ke tempat-tempat peribadatan mereka.

Tak kalah berbahayanya, anak yang moderat hanya mau taat pada sebagian syariah, menolak sebagian lainnya. Bisa jadi ia taat menjalankan ibadah ritual seperti shalat, puasa serta menghiasi diri dengan berbagai sifat akhlak mulia (seperti dermawan, baik hati, jujur dsb). Namun, ia menolak taat pada aturan aturan Islam lainnya yang berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, pergaulan dll.

Mereka pun  dijadikan  agen moderasi.  Anak-anak   yang seharusnya menjadi pejuang dan pembela Islam, akhirnya terjerumus menjadi pembela dan pejuang pemikiran kufur, menjadi pejuang moderasi. Bahkan anak-anak ini dibentuk menjadi penghadang kebangkitan Islam dan tegaknya Khilafah.

 

Menjaga Anak dari Bahaya Moderasi Agama

Ada beberapa hal yang bisa ayah-bunda  lakukan untuk menjaga anak terpapar moderasi agama. Pertama: Membentengi anak dengan Islam yang shahih (benar), baik akidah maupun syariah. Ayah-bunda  harus berusaha menghujamkan keimanan bahwa Islam adalah agama yang paripurna; mengatur urusan dunia dan akhirat, bukan sekadar spiritual. Tak ada agama serta sistem kehidupan yang terbaik kecuali hanya Islam. Siapapun yang mencari selain Islam, amalnya akan sia-sia dan di akhirat pun akan merugi (Lihat: QS Ali Imran [3]: 85).

Kemudian ajak anak untuk mengkaji Islam sebagai ideologi. Bukan sekadar ilmu pengetahuan. Mengajari mereka agar terikat dengan syariah Islam secara keseluruhan (kaffah). Dengan terikat pada syariah Islam, mereka akan mampu menilai baik-buruk berdasarkan ajaran Islam. Mereka pun lambat-laun akan mampu membentengi dirinya sendiri dari moderasi Islam, ataupun pemikiran berbahaya lainnya.

Kedua: Menyiapkan anak untuk menjadi agen Islam kaffah, penghancur moderasi agama. Ayah-bunda harus membangun kesadaran anak  akan pentingnya dakwah menyampaikan kebenaran Islam. Kita bisa memulainya dengan membiasakan anak untuk berani berbicara,  menyampaikan pendapat mereka kepada kita, lalu kemudian menyampaikan kepada teman-temannya. Terus pupuk keimanannya dan bangun kepeduliannya. Dengan itu ia tak akan berdiam diri terhadap kemaksiatan. Ia akan terdorong menyampaikan kebenaran sekalipun bisa jadi tak semua orang menyukainya. Ajarkan cara menyampaikan dengan bahasa ahsan dan mudah dimengerti serta dipahami.

Dengan bertambahnya usia, ajarkan pula cara berdakwah melaui tulisan, video maupun sarana-sarana lainnya di berbagai media massa, terutama media sosial yang saat ini menjadi sarana yang sangat efektif untuk dakwah Islam. Ajak dan pahamkan anak untuk mau menyampaikan Islam kaffah bukan Islam moderat.         Terus tanamkan kepada anak-anak sikap berpihak pada Islam dan membela Islam.  Ajak dan libatkan mereka  dalam dakwah Islam demi tegaknya syariah dan Khilafah.

Ketiga: Menjauhkan anak dari ajaran moderasi. Untuk itu, ayah-bunda  harus mengawal  agar semua pintu masuk moderasi tertutup rapat.  Memilih program TV yang aman, mendampingi saat menonton,      menyeleksi buku buku atau bacaan lainnya yang ada di rumah,  dst. Demikian juga dalam penggunaan gadget, harus terus dalam pengawasan ayah-bunda.

Ayah-bunda yang beraktivitas keluar rumah harus memastikan ada yang mendampingi anak  di rumah. Seseorang yang bisa dipercaya dan memiliki pemahaman Islam yang benar. Dengan itu ia bisa menjalankan tugas-tugas pendampingan selama ayah-bunda tidak di rumah.

Tentu yang agak sulit ketika masuknya moderasi ini melalui pembelajaran di sekolah. Ketika ananda belajar dari rumah selama pandemi, justru lebih memudahkan ayah-bunda mengontrol materi pelajaran yang disampaikan. Ketika kita tahu ada materi yang tidak benar karena mengajarkan moderasi, maka kita bisa menjelaskan letak kesalahannya, dan ketidakbolehan kita mengambilnya.

Adapun ketika anak anak  kembali ke sekolah off line, memang lebih sulit menutup pintu masuk pemikiran ini. Yang bisa dilakukan adalah dengan membentengi mereka dengan ajaran Islam yang shahih sebagaimana yang dijelaskan di poin pertama. Ini jika anak-anak sudah besar. Adapun untuk yang masih kecil, ayah-bunda bisa terus mengontrol mereka dengan sering bertanya pelajaran apa saja yang didapatkan di sekolah. Jika ada yang tidak sesuai dengan Islam, kita  bisa langsung meluruskannya.

Sebenarnya, akan lebih efektif upaya ini jika ayah-bunda sudah mengantisipasi dari sejak awal masuknya moderasi, yaitu ketika memilih sekolah untuk anak.  Pilihlah  sekolah yang menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam. Sekalipun tetap saja ada  celah masuknya moderasi di sekolah tersebut, pastinya lebih kecil peluang masuknya dibandingkan sekolah sekolah lainnya.

WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Wiwing Noeraini]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 + 14 =

Back to top button