Baiti Jannati

Mencetak Generasi Mujahid

Sungguh tidak diragukan kemuliaan seorang mujahid di sisi Allah SWT.  Posisinya yang istimewa diraih karena kesungguhannya dalam memenuhi kewajiban dari Tuhannya: jihad di jalan-Nya. Kedudukan istimewa ini telah menjadi cita-cita yang dikejar oleh para sahabat dan para pejuang Islam.  Mereka sangat merindukan mati sebagai syuhada.

Namun, mengapa semangat untuk menggapai gelar nan mulia ini tampak memudar pada generasi sekarang?  Bahkan parahnya lagi, ada yang mengkaitkan semangat jihad dengan potensi terorisme yang mengancam kehidupan.

Sebagai umat Rasulullah saw., kita mesti memahami bahwa jihad bukan terorisme. Kita pun selayaknya mengetahui bahwa Baginda Nabi saw. memberikan contoh nyata dalam berjihad. Sepanjang hidupnya, beliau sering memimpin jihad. Beliau ikut dalam 27 perang.

Di tengah cengkeraman ideologi kapitalisme-sekulerisme serta massifnya gempuran pemikiran moderasi beragama, menanamkan semangat jihad bukanlah perkara mudah.  Generasi sekarang banyak disibukkan dengan perbuatan sia-sia dan kemaksiatan yang menjerumuskan.  Keinginan  mereka  pun sebatas meraih kenikmatan duniawi yang semu.  Menjadi mujahid bukanlah cita-cita yang ada dalam benak mereka.

Apa yang harus dilakukan oleh keluarga Muslim untuk menempa sosok pejuang dalam keluarganya, yang akan melahirkan generasi mujahid? Berikut beberapa langkah yang harus diupayakan oleh orangtua.

Pertama: Menanamkan prinsip hidup seorang Muslim, bahwa hidup di dunia dalam rangka ibadah kepada Allah SWT, dan kelak semua yang dilakukan di dunia ini akan mendapat balasan. Pemahaman ini akan menjadi kontrol untuk menjalani hidup sesuai dengan misi yang telah diamanahkan. Demikian sebagaimana firman Allah SWT:

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  ١٦٢


Katakanlah, “Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’am[6]: 162).

 

Kedua: Menanamkan pemahaman bahwa jihad adalah salah satu ibadah yang telah diwajibkan, dan ketundukan pada hukum jihad merupakan manifestasi dari keimanan kepada Allah SWT (Lihat: QS al Hajj [2]: 78).

Ketiga: Menanamkan pemahaman bahwa kematian itu pasti. Tidak ada yang lepas dari kedatangannya. Siapapun tidak bisa menghindari kematian. Pemahaman yang benar tentang kematian akan melahirkan kesiapan dalam menghadapi kematian tersebut. Mereka tidak takut untuk bertempur melawan musuh. Mereka pun yakin jika ajal belum menjemput maka kematian tidak mungkin tiba sekalipun terluka di medan tempur.  Sebaliknya, jika sudah waktunya, malaikat maut akan mencabut nyawanya sekalipun sedang tidur di kasur yang empuk. Allah SWT berfirman (yang artinya): Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (TQS. Ali Imran: 145).

Allah SWT pun berfirman (yang artinya): Katakanlah, “Sungguh kematian yang kalian berusaha hindari itu tetap akan menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada (Allah), Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu Dia memberitakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (TQS Jumu’ah [62]: 8).

Keempat: Menjelaskan tentang hakikat jihad dan urgensinya.  Imam Taqyuddin An-Nabhani, dalam kita Asy-Syakhshiyyah Islaamiyyah Jilid 2, menjelaskan definisi jihad sebagai “mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan dan lain sebagainya”.  Dengan demikian makna syar’i dari jihad adalah peperangan (al-qitaal), dan semua yang terkait dengannya berupa pemikiran, ceramah, tulisan, strategi dan sebagainya.

Salah satu dasar pensyariatan jihad adalah firman Allah SWT (yang artinya): Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir, yang tidak mengharamkan apa yang telah Allah dan Rasul-Nya haramkan, yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu mereka) yang diberi Al-Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk (TQS at-Taubah [9]: 29).

Generasi Muslim harus memahami bahwa jihad bukanlah aktivitas biasa. Ia merupakan amalan yang istimewa bahkan menempati posisi puncak dalam ajaran Islam.  Demikian sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُه الصَّلاَة وَذِرْوَة سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Asas suatu perkara adalah Islam. Tiangnya adalah shalat. Puncak perkaranya adalah jihad  (HR at-Tirmidzi).

 

Kelima: Menjelaskan kepada anak realitas kehidupan yang sedang terjadi.  Generasi kita mesti sadar bahwa sekarang banyak kezaliman yang merampas hak-hak umat. Semakin gencar penyesatan dan pelecehan terhadap ajaran Islam. Kian nyata berbagai kemaksiatan. Itu akibat syariah Islam tidak diterapkan oleh negara.

Fakta penjajahan yang dilakukan oleh entitas Yahudi di Palestina bisa menjadi contoh bahwa kezaliman dan perampasan hak-hak terjadi di depan mata.  Semua ini terus berlangsung karena tidak ada perintah jihad yang diserukan oleh negara.  Andai para pemimpin negeri Muslim mau memberikan komando kepada militernya untuk membantu saudara-saudara mereka di Palestina, penjajahan negeri para nabi itu bisa dihentikan.  Kesombongan dan kebiadaban tentara Yahudi akan dilawan dengan kekuatan yang berimbang dari pasukan Muslim yang memiliki keistimewaan dengan semangat jihadnya. Pemahaman jihad yang telah terhunjam akan menjadi bekal untuk memberikan respon yang benar terhadap panggilan yang diserukan oleh saudara-saudara mereka di Palestina.  Mereka pun akan memberikan jawaban sesuai dengan firman Allah SWT (yang artinya): Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan (TQS al-Anfal [8]: 72).

Keenam: Memberikan pemahaman tentang keutamaan dan balasan bagi orang-orang yang gugur di medan jihad.  Banyak dalil yang menjelaskan tentang ini (Lihat, misalnya: QS Ali Imran [3]: 157),

Ketujuh: Melawan narasi yang mendeskreditkan dan memalingkan makna  jihad.  Anak-anak kita dan generasi Muslim harus paham bahwa sekarang banyak pemikiran dan narasi yang sengaja dikembangkan untuk memalingkat umat dari makna jihad yang sebenarnya.  Jihad diartikan hanya sebatas makna bahasa, yakni bersungguh-sungguh.  Ada juga yang mengartikan berperang secara umum. Muncullah istilah “jihad untuk memerangi kebodohan,” “jihad memerangi kemiskinan dan keterbelakangan”, dll.  Musuh sebenarnya yang harus dilawan justru tetap dibiarkan bercokol dan menancapkan taring-taring penjajahannya yang terus mencabik-cabik negeri Muslim dan mengucurkan darah anak-anak muslim yang tidak berdosa.

Kedelapan: Memberikan pemahaman terkait fiikih jihad sebagaimana dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw.  Ilmu yang mumpuni akan menyelamatkan generasi Muslim dari perilaku-perilaku salah yang mengatasnamakan jihad. Mereka pun akan paham bahwa pelaksanaan jihad butuh kehadiran institusi Khilafah yang akan memimpin pemenuhan kewajiban ini. Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّماَ الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Sungguh Imam (Khalifah) itu perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR Muttafaqun ’alayh).

 

Kesembilan: Memberikan contoh nyata.  Orangtua harus memberikan keteladanan bahwa mereka siap untuk memenuhi panggilan suci membela agama Allah.  Berani berada di garda terdepan barisan perjuangan.  Itulah yang ditunjukkan oleh keluarga seorang Sahabat Nabi saw. Dialah Khaitsamah dan putranya,  Saad bin Khaitsamah. Ayah dan anak berebut untuk pergi berperang.  Keduanya mendapatkan syahid.  Saad gugur di medan Badar. Ayahnya wafat di pertempuran Uhud.

Kesebelas: Mengelorakan semangat jihad dengan untaian doa dan kalimat motivasi.  Salah satu doa yang penting adalah permohonan yang dipanjatkan oleh Umar bin a;-Khaththab ra.:

اللَّهُمَّ ارْزُقْنِى شَهَادَة فِى سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ مَوْتىِ فِى بَلَدِ رَسُولِكَ – صلى لله عليه وسلم

Ya Allah berikanlah aku anugrah mati syahid di jalan-Mu, dan jadikanlah kematianku di negeri Rasul-Mu Shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR al-Bukhari).

 

Kalimat penyemangat yang punya daya dorong kuat seperti rangkaian kata indah dari Khansa binti Amru kepada keempat putranya jelang Perang Qadisiyah , “Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah. Majulah paling depan, niscaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat, negeri keabadian. Sungguh tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Inilah kebenaran sejati. Karena itu berperanglah dan bertempurlah sampai mati. Wahai anakku, carilah maut niscaya kalian dianugerahi hidup.”

Semoga kita dimudahkan Allah SWT dalam mencetak generasi mujahid yang siap berjuang fii sabilillah. Amin.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dedeh Wahidah Achmad]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 3 =

Back to top button