Perumahan Yang Aman Dan Nyaman Bagi Perempuan dan Anak
Rumah merupakan kebutuhan pokok manusia. Rumah yang aman dan nyaman adalah dambaan setiap orang.
Islam sebagai agama yang sempurna sangat memperhatikan berbagai kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan perumahan yang aman dan nyaman. Kondisi rumah yang aman dan nyaman ini juga dibutuhkan oleh perempuan dan anak. Di rumah yang aman dan nyaman fungsi pendidikan dari ibu kepada anak dapat berlangsung dengan baik.
Mekanisme Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Perumahan
Islam telah mengatur bahwa negara adalah penerap sistem Islam, menjamin pemenuhan kebutuhan pokok seluruh warganya. Mekanisme jaminan tersebut melalui beberapa tahap. Pertama: Negara mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Negara memfasilitasi mereka, misalnya dengan menciptakan lapangan kerja, ataupun memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal. Dengan demikian, perintah dan fasilitas untuk bekerja tersebut memungkinkan mereka memenuhi semua kebutuhan primernya bahkan kebutuhan sekunder dan tersiernya.
Kedua: Negara mewajibkan kepala keluarga, ahli waris dan kerabat menyantuni. Mereka yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja, maka akan menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris dan kerabatnya, sebagaimana aturan (hukum) Islam dalam menyantuni makanan dan pakaiannya. Allah SWT berfirman (yang artinya): Tempatkanlah mereka (para istri) di mana saja kalian bertempat tinggal (TQS ath-Thalaq [65]: 6).
Allah SWT juga berfirman (yang artinya): Rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai (TQS at-Taubah [9]: 24).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang jauh.” (HR Nasa’i).
Ketiga: Jika tahap pertama dan kedua tidak bisa terwujud, maka yang memiliki kewajiban selanjutnya adalah Negara. Dengan menggunakan harta milik negara atau harta milik umum dan berdasarkan pendapat atau ijtihad untuk kemaslahatan umat, maka Khalifah bisa menjual dengan harga terjangkau, menyewakan, meminjamkan atau bahkan menghibahkan rumah secara cuma-cuma kepada orang yang membutuhkan. Dengan demikian tidak ada lagi individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah.
Negara juga harus melarang penguasaan tanah oleh korporat karena akan menghalangi masyarakat memiliki tanah. Rasul saw. hanya memberi kekuasaan memiliki tanah kepada individu, sebagaimana sabda beliau, “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanami tanah tersebut atau hendaknya ia berikan kepada saudaranya. Jika dia mengabaikan tanahnya, maka hendaknya tanah itu diambil.” (HR al-Bukhari).
Warga Negara juga dapat memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang untuk suatu keperluan, termasuk membangun rumah. Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR al-Bukhari).
Mekanismenya diatur oleh Negara.
Kemudian harta milik umum. Harta ini ditetapkan oleh Asy-Syaari’ (Allah dan Rasul-Nya) sebagai milik bersama kaum Muslim, seperti sumber air, padang rumput (hutan), bahan bakar, sarana umum (jalan, kereta api, trem, saluran air, dan sebagainya) dan barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas. Harta ini dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tentu saja Negara harus mengatur dan mengontrol pemanfaatannya agar tidak terjadi kerusakan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, dengan mekanisme tertentu, seseorang secara langsung bisa mengambil kayu di hutan dan bebatuan di kali untuk bahan bangunan rumahnya. Secara tidak langsung, Negara harus mengolah terlebih dulu kayu-kayu (pepohonan) milik umum untuk dijadikan papan, triplek dan batangan kayu sebagai bahan bangunan rumah.
Negara juga harus mengolah barang tambang untuk menghasilkan semen, besi, aluminium, tembaga, dan lain-lain menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Dengan demikian individu rakyat mudah menggunakan bahan-bahan tersebut, baik secara gratis maupun membeli dengan harga terjangkau (murah).
Di samping mekanisme di atas perlu diterapkan politik perumahan Islam.
Paradigma Politik Perumahan Islam
Politik perumahan Islam merupakan sekumpulan hukum syariah dan peraturan administrasi yang bersifat mubah, termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini. Ia merupakan bagian integral dari pelaksanaan seluruh sistem kehidupan Islam.
Hadirnya penguasa merupakan pelaksana syariah Islam secara kaaffah yang menjadikan khalifah memiliki karakter penuh kepedulian dan tanggung jawab. Sabda Rasul saw.:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari).
Hal ini tampak dari visi pengurusan hajat hidup publik yang begitu menonjol. Model sistem Negara Khilafah didukung penuh oleh sistem kehidupan Islam secara keseluruhan, khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam, semuanya dilandasi aqidah Islam yang sahih.
Negara adalah sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas jaminan pemenuhan kebutuhan hidup publik. Negara tidak berposisi sebagai regulator dan menyerahkan tanggung jawab tata kelola perumahan kepada operator.
Jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan idak saja dari aspek kuantitas, tetapi juga kualitas. Pemberian izin pendirian bangunan hanya jika sudah terpenuhi kriteria keamanan, termasuk dari aspek Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan konstruksi sesuai kondisi wilayah. Indonesia, misalnya, merupakan wilayah yang berada pada “ring of fire”. Wilayah ini sering mengalami gempa. Karena itu konstruksi bangunan harus tahan gempa. Selain itu juga harus dipenuhi tuntutan syariah khususnya dari segi fungsi dan model bangunan rumah, serta terpenuhinya kriteria kesehatan, keamanan dan kenyamanan. Tidak boleh terjadi dharar menimpa penghuninya pada rumah yang telah dibangun. Sabda Rasul saw.:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَا
Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan (baik diri sendiri maupun orang lain) (HR Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Daraquthni).
RTRW diformulasikan, selain berdasarkan aspek kemaslahatan dari segi kebenaran sains, juga harus dilandaskan pada politik dalam dan luar negeri Negara Khilafah yang bervisi pewujud rahmatan lil’aalamiin.
Oleh karena itu jika terjadi pelanggaran atas ketentuan izin pendirian bangunan dan RTRW, maka pelakunya dijatuhi sanksi yang bersifat mencegah dan membuat jera pelanggarnya termasuk membongkar paksa bangunan yang sudah didirikan.
Negara Khilafah dengan model kekuasaannya yang bersifat sentralisasi dan administrasi bersifat desentralisasi mengacu pada tiga prinsip yaitu:
- Kesederhanaan aturan. Tanpa syarat yang menyulitkan, seperti membeli rumah dengan syarat harus memiliki NPWP. Bagi masyarakat yang tidak memiliki NPWP, berarti tidak dapat mengakses layanan tersebut.
- Kecepatan dalam Masyarakat tidak menunggu lama untuk dilayani, tidak mengantri panjang yang melelahkan, menggunakan teknologi terbaru dan gratis tanpa harus membayar layanan yang cepat. Semua masyarakat diberi pelayanan yang sama. Tidak menggunakan prinsip kapitalis dalam melayani, siapa yang membayar akan mendapat layanan yang cepat, sedangkan yang tidak membayar akan lambat dilayani.
- Individu pelaksana yang kapabel. Negara menyiapkan individu-individu yang bertugas melayani masyarakat yang memiliki kemampuan yang sesuai dengan bidang yang dilayani, yakni dengan memberikan pendidikan yang dibutuhkan dalam pelayanan tersebut. Negara, misalnya, mendidik para petugas yang melayani masyarakat sehingga menjadi insinyur bangunan yang handal yang mampu memberikan berbagai solusi mengenai rumah yang aman dan nyaman kepada masyarakat tanpa harus mengeluarkan biaya konsultasi, karena negara telah menggaji para petugasnya.
Ditambah lagi dukungan sistem ekonomi Islam berupa pengelolaan sumberdaya alam, barang tambang material bangunan yang jumlahnya berlimpah. Semuanya dikelola sebagaimana layaknya harta milik umum. Status kepemilikan industrinya pun milik umum. Ini sebagaimana ketentuan syariah tentang industri, yakni dikembalikan pada status kepemilikan bahan asalnya.
Pada saat yang bersamaan, ada sistem pendidikan Islam, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi dengan keberadaan gugus tugas bagi kemaslahatan publik. Ia bersinergi dengan bagian mashaalih an-naas. Didukung dengan anggaran mutlak berbasis Baitul Mal, juga politik industri berbasis industri berat. Semua ini meniscayakan SDA bagi pembangunan perumahan termanfaatkan secara maksimal bagi perwujudan jaminan pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu masyarakat yang tidak saja memperhatikan aspek keindahan, namun juga aman dan nyaman untuk dihuni.
Dengan penerapan politik perumahan Islam ini, perempuan dan anak tinggal di rumah yang aman dan nyaman.
Penutup
Pemenuhan hajat hidup perumahan yang aman dan nyaman hanya akan terwujud dalam sistem kehidupan Islam, yakni Khilafah Islam. Pada tataran ini kita semua dapat menyaksikan betapa butuhnya negeri ini pada kehadiran syariah kaaffah, yakni Khilafah itu sendiri. Lebih dari itu, Khilafah adalah kewajiban yang diamanahkan Allah SWT kepada kita semua. [Iin Eka Setiawati]
Daftar Pustaka:
An-Nabhani, T. An-Nizhaam al-Iqtishaady fii al-Islaam. Daar al-Ummah. Beirut. 2004.
Hizbut Tahrir. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilaafah. Daar al-Ummah. Beirut. 2005.
Zalum, ‘Abdul Qadiim. Al-Amwaal fii ad-Dawlah al-Khilaafah. Daar al-Ummah. Beirut. 2004.