Fikih

Mengatakan Kebenaran Dengan Lantang

Soal:

Allah SWT berfirman:

فَأَتۡبَعَهُمۡ فِرۡعَوۡنُ وَجُنُودُهُۥ ٩٠

Lalu Fir’aun dan bala tentaranya mengejar mereka (QS Yunus [10]: 90).

 

Allah SWT juga berfirman:

فَأَتۡبَعَهُمۡ فِرۡعَوۡنُ بِجُنُودِهِۦ ٧٨

Lalu Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka (QS Thaha [20]: 78).

 

Apakah ini berarti bahwa perintah penguasa dan perbuatan penguasa itu sama? Lalu kita katakan bahwa berdiri menentang perintah penguasa itu seperti berdiri menentang perbuatannya? Artinya, kita katakan bahwa kalimat kebenaran di depan polisinya atau mu’âwin (deputi)-nya itu seperti mengatakan kebenaran di depan penguasa itu, yakni sebagai:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling afdhal adalah (mengatakan) kalimat kebenaran di depan penguasa yang zalim.

 

Jawab:

Berkaitan dengan dua ayat di atas, seolah Anda mengisyaratkan ada perbedaan dalam makna yang dipahami dari penggunaan huruf al-wâwu dan huruf al-bâ‘ pada lafal junûduhu (bala tentaranya). Dalam ayat pertama Allah berfirman: “fa atba’ahum Fir’awnu wa junûduhu (lalu Fir’aun dan bala tentaranya mengerjar mereka)”. Lalu dalam ayat kedua , Allah SWT berfirman: “fa atba’ahum Fir’awnu bi junûdihi (Lalu Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka)”. Frasa atba’ahum bermakna: mengikuti mereka, menyusul mereka dan mengejar mereka. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam banyak kitab tafsir.

Ayat pertama menyatakan: “Fir’awnu wa junûduhu (Fir’aun dan bala tentaranya)”. Sesuai dengan makna Bahasa,  frasa ini bisa dipahami bahwa Fir’aun berada bersama dengan orang-orang yang menyusul mereka. Artinya, menyusul dan mengejar Musa as. dan Bani Israel, di dalamnya ada Fir’aun la’natulLâh ‘alayh. Jadi dia termasuk orang yang menyusul dan mengejar mereka. Hal itu karena al-wâwu dalam lafal “wa junûduhu” di sini menunjukkan partisipasi Fir’aun dan bala tentaranya dalam mengejar Bani Israel.

Ayat kedua menyatakan:  “Fir’awnu bi junûdihi”. Sesuai dengan makna bahasanya, frasa ini mungkin dipahami bahwa Fir’aun berpartisipasi dengan bala tentaranya dan menyertai mereka dalam mengejar. Namun, juga sesuai dengan makna bahasanya, mungkin untuk dipahami bahwa Fir’aun tidak berpartisipasi dengan bala tentaranya dan tidak keluar bersama mereka. Namun, Fr’aun meminta pertolongan kepada mereka saja dalam mengejar Bani Israel. Hal itu karena huruf al-bâ`u secara bahasa memberikan faedah makna al-mushâhabah wa al-isti’ânah (menyertai dan meminta tolong). Artinya, mungkin saja Fir’aun bersama mereka. Namun, mungkin juga dia meminta pertolongan bala tentaranya untuk mengejar tanpa dia berpartisipasi. Artinya, yang mengejar mereka adalah bala tentara Fir’aun tanpa Fir’aun sendiri.

Penentuan salah satu dari dua makna tersebut (menyertai [al-mushâhabah] atau meminta bantuan [al-isti’ânah]) menjadi jelas dengan menghimpun kedua ayat tersebut:

Ayat pertama, madluul (makna)-nya secara bahasa hanya satu, yaitu Fir’aun (semoga Allah melaknat dia) berpartisipasi dengan mereka, yakni menyertai mereka dalam mengejar Musa as. Ayat kedua, madluul (makna)-nya secara bahasa mungkin bermakna al-mushâhabah (menyertai), yakni Fir’aun menyertai mereka dalam mengejar Musa as.; juga mungkin maknanya al-isti’ânah, yakni Fir’aun meminta bantuan bala tentaranya untuk mengejar Musa as tanpa Fir’aun—la’anahulLâh—menyertai mereka. Karena madluul kedua ayat tersebut tidak kontradiksi, maka dengan menghimpun makna kedua ayat tersebut bisa dipahami bahwa Fir’aun bersama bala tentaranya mengejar Musa as. Artinya, huruf al-bâ‘ dalam bi junûdihi di sini memberikan faedah makna al-mushâhabah. Attinya, Fir’aun menyertai bala tentaranya dalam mengejar Musa as. Ini mengenai makna kedua ayat tersebut.

Adapun hadis yang mulia yang dinyatakan di dalam pertanyaan, maka Imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan di dalam Sunan-nya dari Abu Sa’id al-Khudzri bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Sungguh di antara jihad yang paling afdhal adalah mengatakan kalimat yang adil (benar) di depan penguasa yang zalim.

 

Abu Isa mengatakan, “Pada bab ini, dari Abu Umamah. Hadis ini hasan ghariib dari aspek ini.” Dinyatakan di dalam Mu’jam al-Kabîr karya Imam ath-Thabarani dari Abu Umamah bahwa Rasulullah saw. bersabda:

أَحَبُّ الْجِهَادِ إِلَى اللهِ كَلِمَةُ حَقٍّ تُقَالُ لِإِمَامٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling disukai Allah adalah kalimat kebenaran yang dikatakan kepada pemimpin yang zalim.

 

Dalam riwayat Imam ath-Thabarani yang lain dari Abu Umamah disebutkan bahwa seorang laki-laki berkata di al-Jamrah, “Ya Rasulullah, jihad manakah yang paling afdhal?” Beliau bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْد سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling afdhal adalah (mengatakan) kalimat kebenaran di depan penguasa yang zalim.

 

Dinyatakan pula di dalam buku ‘Awn al-Ma’bûd saat  menjelaskan hadis ini sebagai berikut: Dari Abu Said al-Khudzri, ia berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda, “Afdhalu al-jihâdi kalimatu ‘adl[in] ‘inda sulthân[in] jâ`ir[in] aw amîr[in] jâ’ir[in] (Jihad yang paling afdhal adalah mengatakan kalimat kebenaran di depan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” Pengarang ‘Awn al-Ma’bûd berkata:

 

Afdhalu al-jihâdi, yakni yang termasuk jihad yang paling afdhal—dengan dalil riwayat at-Tirmidzi “inna min a’zhami al-jihâdi (Sesungguhnya termasuk jihad yang paling afdhal)”,  kalimatu ‘adl[in] (kalimat yang adil). Dalam riwayat Ibnu Majah dinyatakan “kalimatu haqq[in] (kalimat kebenaran). Yang dimaksudkan dengan al-kalimat adalah apa yang dipahami sebagai upaya memerintahkan kemakrufan atau melarang kemungkaran. Bisa berupa lafal (ucapan/lisan) atau yang serupa seperti tulisan dan semacamnya.

‘Inda sulthân[in] jâ`ir[in], yakni penguasa zalim. Ini menjadi jihad yang paling afdhal karena orang yang berjihad memerangi musuh berada di antara harapan dan kekhawatiran. Dia tidak tahu apakah dia akan menang atau kalah. Adapun teman penguasa itu ditindas di tangan penguasa. Jika dia mengatakan kebenaran dan memerintahkan kemakrufan kepada penguasa itu, dia bisa terancam bahaya dan kematian. Ini yang menjadikan tindakannya sebagai jihad yang paling afdhal karena kekhawatirannya lebih dominan. Demikian menurut al-Khaththabi dan yang lainnya.

Lalu aw amîr[in] jâ‘ir[in] (atau pemimpin yang zalim), tampak bahwa ada keraguan dari perawi.

 

Dari hadis yang mulia ini dapat dipahami bahwa jihad yang paling afdhal adalah mengatakan kalimat kebenaran di depan penguasa yang zalim bukan di depan para pengikutnya. Yang dimaksud dengan penguasa zalim adalah pemimpin zalim; baik kepala negara, raja, perdana menteri atau gubernur. Jadi dia haruslah orang yang memiliki kekuasaan dan pemilik urusan pemerintahan. Dengan demikian  ada afdhaliyah dalam hal mengucapkan kebenaran di hadapannya.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa tidak ada keutamaan untuk mengucapkan kalimat kebenaran di depan para pengikut penguasa yang zalim. Lantang mengatakan kalimat kebenaran, di dalamnya selalu ada kebaikan dan keutamaan. Namun, keutamaan khusus yang disebutkan oleh Nabi saw. di dalam hadis beliau ini adalah keutamaan yang berkaitan dengan pemilik kekuasaan, yakni penguasa itu sendiri. Ini karena mengatakan kalimat kebenaran di hadapannya termasuk urgen. Dalam hal demikian itu juga ada bahaya, keberanian dan kekuatan. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh sebagian pensyarah hadis tersebut:

Al-Khaththabi berkata, “Hal itu (menyatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim) menjadi jihad yang paling afdhal. Pasalnya, orang yang berjihad memerangi musuh berada di antara harapan dan kekhawatiran. Dia tidak tahu akan menang atau kalah. Adapun teman penguasa itu ditindas di tangan penguasa. Jika dia mengatakan kebenaran dan memerintahkan kemakrufan kepada penguasa itu, dia terancam bahaya dan kematian. Inilah yang menjadikan sikapnya termasuk jihad yang paling afdhal karena kekhatirannya lebih dominan.”

Al-Muzhhir berkata, “Ini (menyatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim) menjadi adalah jihad yang paling afdhal. Pasalnya, kezaliman penguasa menjangkau semua orang yang ada dalam pemeliharaannya. Jumlahnya tentu sangat besar. Karena itu jika seseorang melarang penguasa itu dari kezaliman, berarti dia telah menyampaikan manfaat kepada banyak makhluk. Ini berbeda dengan memerangi orang kafir.

 

Jadi semua ucapan itu adalah tentang penguasa yang zalim. Bukan tentang para pengikutnya dan bala tentaranya.

 

[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, tanggal 17 Rajab 1445 H – 29 Januari 2024 M]

 

Sumber:

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/93582.html

https://www.facebook.com/AtaabuAlrashtah.HT/posts/224577857391387

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen + eight =

Back to top button