Dari Redaksi

Khilafah dan Mimpi Buruk Netanyahu

Perdana Menteri entitas Yahudi, Benjamin Netanyahu, mengatakan pada Hari Rabu, 23 April 2025, bahwa pemerintahannya “tidak akan pernah menyerah untuk meraih kemenangan dalam perang”. Ia menambahkan, “Kami bertekad untuk membebaskan para tawanan dan kami tidak akan membiarkan pendirian Khilafah Islam (Kekhalifahan) mana pun, baik di utara maupun di selatan, atau di tempat lain mana pun.”

Ia juga menambahkan, “Jika para ekstremis mengalahkan kami, dunia Barat akan menjadi target mereka berikutnya.”

Ini bukan pertama kalinya Netanyahu menyebut Khilafah sebagai ancaman yang ingin ia cegah. Ini adalah kedua kalinya dalam minggu ini, dan ketiga kalinya selama perang di Gaza, meskipun tidak selalu dengan nomenklatur dan struktur yang sama, tetapi dengan makna yang identik. Tentu bukan tanpa maksud mengapa Netanyahu berulang menyatakan tentang ancaman Khilafah ini.

Poin penting pertama: Pernyataan Netanyahu ini menunjukkan pemahaman mereka tentang ancaman nyata Khilafah Islamiyah bagi penjajahan Yahudi dan imperialisme Barat. Artinya, mereka paham, tegaknya Khilafah Islamiyah akan mewujudkan lima hal yang paling ditakuti oleh Barat dari Dunia Islam.

Pertama: Persatuan umat Islam yang akan melebur dan menghancurkan pagar-pagar warisan kolonialisme seperti konsepsi nation state yang telah memecah belah dan melemahkan umat Islam.

Kedua: Penerapan syariah Islam secara kâffah, yang akan membuat Islam sebagai sistem kehidupan nyata dirasakan kebaikannya oleh seluruh umat manusia. Hal yang saat ini dirindukan oleh seluruh umat manusia, yang melihat kegagalan kapitalisme global memberikan kebaikan pada umat manusia. Penerapan syariah Islam ini juga akan memutus jalan-jalan penjajahan yang selama ini berjalan mulus karena penerapan sistem kapitalisme di negeri-negeri Islam.

Ketiga: Tegaknya Khilafah akan menjadi kekuatan politik yang memobilisasi tentara-tentara kaum Muslim untuk membebaskan negeri-negeri Islam yang dijajah.

Keempat: Tegaknya Khilafah akan menghadirkan kembali negara adidaya yang merepresentasikan umat Islam dan sistem Islam secara global. Negara adidaya yang mampu mengimbangi kekuatan negara imperialis seperti Amerika secara nyata. Bahkan bisa mengungguli negara adidaya kapitalisme yang sedang melemah.

Kelima: Tegaknya kembali Khilafah akan melumpuhkan bahkan melenyapkan penguasa-penguasa di negeri Islam yang selama ini menjadi kaki tangan negara-negara imperialis. Yang menjadi ‘iron dome’ terkuat dan terdekat entitas Yahudi. Penguasa pengkhianat yang tidak menggerakkan bahkan satu peluru pun untuk membebaskan tanah Palestina dan mengakhiri penderitaan umat Islam di Palestina.

Poin penting kedua: Ketika Netanyahu mengungkap obsesinya terhadap Khilafah dan berkata, “Jika para ekstremis mengalahkan kita, dunia Barat akan menjadi target mereka berikutnya”, ia tahu bahwa kembalinya Islam yang murni di bawah Khilafah merupakan kekhawatiran utama Barat. Artinya, ia menakut-nakuti mereka bahwa jika ia tidak melanjutkan perang brutalnya, maka Khila­fah akan tegak. Di sini, Netanyahu sedang menyampaikan pesan kepada publik dan elit Barat.

Netanyahu tahu bahwa gerakan perlawanan di Gaza (selatan), Hizbullah Iran di Lebanon, Houthi di Yaman, rezim baru Suriah, dan bahkan Iran sendiri tidak menyerukan apalagi berusaha mendirikan Khilafah Rasyidah. Namun, Netanyahu membingkai perang brutalnya dalam konteks fobia Khilafah yang telah tertanam dalam politik Barat sehingga ia mendapat dukungan dan restu dari mereka untuk terus menyerang Gaza, Lebanon, Yaman, dan Suriah. Ini menunjukkan bahwa Netanyahu mulai kesulitan mempertahankan dukungan global.

Artinya, Netanyahu sadar persis, dia membutuhkan kekuatan global Barat. Pasalnya, entitas Yahudi ini tidaklah punya kekuatan kalau tidak didukung Barat. Netanyahu tahu bahwa entitasnya terlalu lemah untuk menghadapi umat Islam atau upaya serius mereka. Ia melihat bagaimana pasukannya hanya mampu membunuh anak-anak, wanita dan orangtua tak berdaya serta mengebom fasilitas sipil tanpa menghadapi pasukan sejati. Selama delapan belas bulan, bersama negara-negara besar seperti AS, Jerman, dan Prancis, serta dengan dukungan para penguasa Muslim, mereka belum mampu mengalahkan garis pertahanan Gaza yang dijaga oleh segelintir mujahidin. Lalu bagaimana mungkin mereka mampu menghadapi satu pasukan Muslim sejati dari negara sejati Khilafah Islamiyah ala Minhâj an-Nubuwwah?

Wacana Netanyahu tentang Khilafah sepenuhnya ditujukan kepada Barat: kepada rakyat, elit politik dan para pemimpin mereka. Bukan kepada umat Islam atau gerakan perlawanan. Wacana ini menunjukkan krisis yang ia hadapi di Gaza dan fakta bahwa prospek keberhasilan militernya semakin menipis. Meskipun Khilafah tidak banyak disebut di media arus utama atau oleh politisi Barat dan para penguasa negara Muslim, kenyataannya Khilafah tetap menjadi mimpi buruk terbesar Barat—obsesi yang selalu mereka peringatkan satu sama lain ketika keadaan mendesak.

Bagi umat Islam, pernyataan Netanyahu ini seharusnya menjadi api yang lebih membakar lagi untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Pasalnya, hanya dengan jalan itulah umat Islam bisa membebaskan Palestina dan negeri-negeri Islam tertindas lainnya. Apalagi kembalinya Khilafah ala Minhâj an-Nubuwwah merupakan janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah saw.: “Kemudian akan ada Khilafah (Kekhalifahan) yang mengikuti metode kenabian.” (HR Ahmad). Segera, insya Allah, pendirian Khilafah, yang menjadi mimpi buruk yang menghantui para pemimpin Barat dalam tidur mereka, akan menjadi kenyataan di hadapan mata mereka. Allah SWT berfirman: (Itulah) janji Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS ar-Rum [30]: 6).

AlLâhu Akbar! [Farid Wadjdi]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three + 4 =

Back to top button