Dunia Islam

Biden Tak Akan Mengubah Kebijakan Amerika Di Timur Tengah

Kemenangan Biden sebagai presiden Amerika memunculkan satu pertanyaan besar, apakah kebijakan Amerika di Timur Tengah akan berubah? Sebagai negara besar yang berdasarkan pada ideologi yang kuat Kapitalisme, secara mendasar tidak akan terjadi perubahan kebijakan luar negeri Amerika, termasuk terhadap Timur Tengah. Sebagai sebuah negara yang berdasarkan pada kekuataan system, bukan person, siapapun yang menjadi ‘the ruling party’, Demokrat atau Republik, Clinton atau Bush Senior, Obama atau Goerge W. Bush, tetap akan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pokok negara Kapitalisme yang sekulr. Demikian pula halnya Biden.

Sebagai sebuah negara kapitalis, politik luar negeri Amerika tetap dalam rangka menyebarluaskan kapitalisme di dunia dan tentu menjaga eksistensinya sebagai ideologi utama dunia. Amerika tidak akan membiarkan berkembangnya ideologi yang mengancam eksistensi Kapitalisme global. Tidaklah mengherankan kalau Amerika dan sekutu Baratnya sangat serius memerangi munculnya  kekuatan politik Islam. Apalagi dalam representasi negara Khilafah.

Metode (thariqah) polugri Amerika juga kokoh tidak berupa, yaitu penjajahan imperialisme (isti’mar). Metode penjajahan ini dilakukan dalam berbagai bentuk baik militer, politik, ekonomi, ataupun budaya. Karena itu, Biden tentu akan tetap menjaga nilai-nilai penting Amerika, yang menjadi ‘nyawa’ dari Kapitalisme seperti demokrasi, liberalism dan pluralisme.

Secara khusus terkait Timur Tengah, Amerika akan menjaga tiga kepentingan besar negara itu di Timur Tengah. Pertama: kontrol terhadap minyak dan gas Timur Tengah. Kedua: Menjaga eksistensi penjajah Yahudi. Ketiga: Mencegah munculnya kekuatan politik Islam di kawasan ini.

Siapapun yang menjadi pemimpin Amerika, dari partai manapun, ketiga kepentingan utama ini akan tetap dijaga. Sebagai wilayah yang memiliki sumber melimpah minyak dan gas, kendali terhadap regional ini sangat penting. Memamng saat ini harga minyak dunia sedang menurun, dipengaruhi pengembangan minyak serpih (shale oil) oleh Amerika yang memukul harga minyak dunia. Namun, teknologi  eksplorasi minyak konvensional yang lebih murah dan cadangan minyak yang masih melimpah membuat kendali terhadap wilayah Timur Tengah tetap penting.

Pada awalnya negara-negara Barat merasa berkepentingan terhadap Timur Tengah karena letaknya secara geograpolitik strategis dalam perdagangan dunia. Namun, penemuan banyak sumber minyak pada tahun 30-an membuat minyak menjadi magnet utama negara-negara Barat untuk menguasai Timur Tengah. Selama ini, konflik Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari kerakusan negara-negara Barat untuk menguasai minyak dan gas wilayah ini. Karena itu di Era Biden nanti, kontrol terhadap minyak dan gas Timur Tengah tidak akan dilepaskan oleh Amerika, apalagi dengan masuknya ancaman Cina dan Rusia.

Mengendalikan Irak, Saudi, negara-negara Teluk, Libya, Iran  akan tetap menjadi prioritas utama Biden. Dalam perkiraan Jurnal Oil dan Gas, Irak mempunyai cadangan minyak sebesar 115 miliar barel atau terbesar ketiga di dunia. Saudi, berdasarkan data OPEC, memiliki cadangan minyak yang terbesar di kawasan ini (258 miliar barel), Iran (93 miliar barel) dan Uni Emirat Arab dan Kuwait masing-masing 92 miliar. Karena itu Biden akan tetap mempertahankan kendali Amerika terhadap Saudi dan negara-negara Teluk. Yang berbeda mungkin pendekatannya.

Joe Biden tidak akan mengubah secara radikal kebijakan Amerika terhadap Saudi. Meskipun punya catatan hitam dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan jurnalis asal Saudi Jamal Khashoggi, Biden akan tetap memilihara hubungan baik dengan MBS, penguasa de facto Saudi saat ini. Tentu dengan catatan, MBS masih dianggap punya power politik terkuat saat ini di Saudi. Biden kemungkinan, sama seperti Trump, akan menggunakan cacat MBS dan lindungan keamanan dari ancaman internal Kerajaan, sebagai salah satu alat kendali. Hanya saja, mengingat Biden memposisikan diri seolah lebih peka terhadap persoalan HAM dibanding Trump, Biden tidak akan melakukan dukungan terbuka. Bisa jadi ia melakukan pendekatan dua muka. Secara terbuka menjaga jarak dengan MBS. Di belakang tetap melakukan hubungan baik.

Sebelum terpilih menjadi presiden, Biden mengklaim akan berkomitmen menilai hubungan kembali AS dan Riyadh. Dia mengatakan kepada Dewan Hubungan Luar Negeri bahwa dia akan “mengakhiri dukungan AS untuk perang pimpinan Saudi yang membawa bencana di Yaman dan memerintahkan penilaian ulang hubungan Amerika dengan Arab Saudi. Biden menyatakan, “Saya ingin mendengar bagaimana Arab Saudi bermaksud mengubah pendekatannya untuk bekerja dengan pemerintah AS yang lebih bertanggung jawab.”

Namun, mengingat Saudi merupakan mitra strategis dan pilar penting keamanan regional kawasan Teluk selama lima puluh tahun, Biden tidak akan mengorbankan kepentingan nasional Amerika, demi citra HAM yang selama ini AS usung. Selama ini Amerika memang dalam beberapa kesempatan kerap menyerang nilai-nilai Saudi, mengecam sebagai pendukung ‘wahabi’, tidak demokratis, pelanggar HAM. Namun  faktanya, Amerika di bawah kepemimpinan siapapun tetap menjalin hubungan baik dengan Saudi.  Bisa dimengerti, mengingat selain ada potensi ancaman dari Rusia dan Cina, posisi Inggris sebagai negara yang secara historis sangat dekat dengan Saudi siap menerkam kalau Amerika lengah.

Yang mungkin dilakukan Biden, itu pun masih diragukan, Amerika akan menekan Saudi untuk menghentikan Perang Yaman untuk menjaga citra Amerika sebagai negara pengusung HAM. Saat ini Angkatan Laut AS terus berpartisipasi dalam blokade pantai Yaman. Pemerintahan Biden dapat menangguhkan aktivitas ini sebagai sinyal ke Riyadh. Biden juga kemungkinan akan menekan Arab Saudi dan UEA lebih keras untuk mengakhiri blokade Dewan Kerjasama Teluk (GCC) di Qatar.

 

Biden dan Penjajah Yahudi

Bagi Amerika menjaga eksistensi penjajah Yahudi adalah harga mati. Siapapun yang menjadi presiden, baik Partai Demokrat atau Republik, akan menjaga prinsip ini. Di samping penjajah Yahudi merupakan mitra terpercaya Amerika di Timur Tengah, karena kesamaan ideologi dan sejarah, keberadaan penjajah Yahudi di kawasan ini penting bagi Washington untuk menciptakan instabilitas permanen di Timur Tengah. Tetap bergejolaknya kawasan ini penting sebagai legitimasi intervensi Amerika di kawasan panas dunia ini. Penjajah Yahudi, bagaikan duri dalam daging, yang dicangkokkan Barat untuk tetap menimbulkan gejolak kawasan.

Dukungan terhadap penjajah Yahudi ini juga penting bagi siapapun politisi Amerika untuk mendapatkan dukungan dari kelompok penekan lobi Yahudi yang sangat berpengaruh di negara Paman Sam ini. Perlu dicatat, meskipun belum menang secara formal, karena masih terganjal dengan gugatan hukum Trump, kelompok Yahudi Amerika telah mengucapkan selamat atas kemenangan Biden. Selama ini, Biden juga dikenal sebagai pendukung kuat penjajah Yahudi dan berpandangan bahwa hubungan AS-Israel adalah harga mati.

Pada Perayaan Hari Kemerdekaan Israel ke-67 di Yerusalem pada bulan April 2015 Biden memulai pidatonya, “Nama saya Joe Biden. Semua orang tahu saya mencintai Israel.”

Dalam forum tahunan di Brooking Institution pada Desember 2014, Biden berpidato, “Jika tidak ada Israel, kami harus menciptakannya.”

Menurut dia, mendukung penjajah Yahudi adalah kepentingan Amerika dan merupakan kewajiban moral di samping kebutuhan strategis.

Joe Biden, sebagaimana pemimpin Amerika lainnya, dalam kebijakannya akan mengacu pada solusi dua negara (two state solution). Hal ini tampak dalam situs-situs kampanye Biden, “Joe Biden percaya pada nilai dan nilai setiap orang Palestina dan setiap Israel. Dia akan bekerja untuk memastikan bahwa Palestina dan Israel menikmati kebebasan, keamanan, kemakmuran dan demokrasi yang setara. “

Two state solution merupakan solusi palsu yang sering ditawarkan Amerika untuk penyelesaian krisis Palestina. Solusi ini intinya tetap mempertahankan penjajah Yahudi, dengan didampingi negara Palestina yang lemah karena dikendalikan sampai pada batas yang tidak mengancam penjajah Yahudi. Solusi ini tidak akan pernah menyelesaikan persoalan Palestina, sebagaimana solusi perdamaian, karena solusi ini tetap mensyaratkan eksistensi penjajah Yahudi. Padahal akar persolan krisis di Palestina justru karena keberadaan penjajah Yahudi ini. Penjajah yang merampas tanah Palestina, mengusir dan membunuh penduduknya, membangun perumahan ilegal, dan terus membombardir wilayah Palestina.

Alhasil, jangan berharap Amerika di era Biden akan berubah secara mendasar.

Berkaca pada apa yang dilakukan Obama saat Biden menjadi wakil presidennya, yang kerap mengusung isu perdamaian, Obama bukan hanya tidak berbuat banyak, tetapi justru merestui penyerangan keji yang dilakukan penjajah Yahudi terhadap rakyat Palestina. Perlu dicatat, Obama saat menjadi presiden alih-alih mengecam serangan masif Yahudi terhadap Gaza pada tahun 2014 yang telah membunuh 300 rakyat Palestina, Obama malah menyatakan membela penjajah Yahudi dengan mengatakan akan tetap memberikan dukungan kepada Israel untuk membela diri dari serangan Hamas. Menurut dia, Israel memiliki hak untuk membela diri. Ini jelas pandangan yang absurd. Pasalnya, bagaimana mungkin entitas Yahudi ini dikatakan membela diri, padahal posisinya adalah menjajah tanah Palestina yang diberkahi.

Intinya Trump dan Biden tetaplah sama. Menjalankan politik Amerika yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Perbedaannya, yang satu pendekatannya ‘soft’, bermulut manis seperti Obama. Yang lain lebih ‘hard’, dengan retorika publik yang lebih vulgar. Dua-duanya adalah pembunuh kaum Muslim. Bedanya, pembunuh yang satu menyembunyikan pisaunya di hadapan korbannya. Pembunuh yang lain secara terbuka menampakkan pisaunya yang berdarah-darah di hadapan korban. [Farid Wadjdi]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × two =

Back to top button