Dunia Islam

Serangan Turki Ke Suriah Utara, Exit Strategy Amerika?

Setelah terkesan membiarkan Turki masuk ke Suriah menyerang milisi Kurdi, Donald Trump menelepon Erdogan untuk menghentikan serangannya. Hal tersebut disampaikan Trump dalam percakapan via telepon dengan Erdogan pada Senin (14/10) waktu setempat. Wakil Presiden (Wapres) Mike Pence menyatakan bahwa dalam percakapan via telepon tersebut, Trump mendesak Erdogan untuk “menghentikan invasi, untuk memberlakukan gencatan senjata segera dan untuk memulai negosiasi dengan pasukan Kurdi di Suriah,” kata Pence kepada para wartawan.

Per-hari Senin 14 Oktober, operasi militer Turki ke Suriah utara telah menyebabkan sekitar 500 orang tewas (sebagian besar milisi Kurdi, tentara Turki dan non-kombatan), serta memicu lebih dari 100.000 warga sipil mengungsi dari kota-kota perbatasan di Suriah utara yang menjadi lokasi peperangan.

Pada Minggu 13 Oktober 2019, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa pasukannya telah menguasai 109 kilometer persegi wilayah Suriah utara, termasuk 21 desa. Dia mengatakan kepada wartawan bahwa kota perbatasan utama Ras al-Ain berada di bawah kendali Turki; meskipun SDF mengatakan mereka telah mendorong pasukan Turki kembali ke pinggiran kota.

Seperti yang diberitakan BBC (9/10) Pasukan Turki mulai melakukan serangan di Suriah timur laut, dengan alasan menciptakan “wilayah aman” dari milisi Kurdi dan juga untuk melindungi pengungsi Suriah.  Saat mengumumkan serangan tersebut di Twitter, Erdogan mengatakan “misinya adalah untuk mencegah terbentuknya daerah teror di perbatasan bagian selatan dan menciptakan perdamaian di daerah tersebut”.

Operasi tersebut, tambahnya, akan “memelihara integritas wilayah Suriah dan membebaskan masyarakat setempat dari para teroris.” Pemerintah Turki ingin menciptakan “daerah aman” yang bersih dari milisi Kurdi yang juga menjadi tempat bagi sebagian dari 3,6 juta pengungsi Suriah di Turki.

Juru Bicara Erdogan, Ibrahim Kalim, mengatakan Turki “sama sekali tidak ingin merebut atau menduduki wilayah Suriah”. “Tujuannya adalah membersihkan dan mengamankan perbatasan kami dengan Suriah dengan cara menghabisi semua unsur-unsur teroris dari wilayah perbatasan,” kata Kalin.

“Tujuan kedua adalah menyediakan ruang bagi para pengungsi untuk kembali secara aman. Kami melakukan hal tersebut sesuai dengan kerangka Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 2.254. Kami akan sepenuhnya mendukung dan menghormati integritas wilayah dan persatuan nasional Suriah. Turki tidak berniat menduduki wilayah Suriah mana pun,” kata Kalin.

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, seperti yang dilaporkan BBC online (8/10), sebelumnya mengancam bakal menghancurkan ekonomi Turki jika negara tersebut “melampaui batas” dalam melancarkan operasi militer ke Suriah. Sebagaimana terungkap pada serangkaian cuitannya, Trump membela keputusannya untuk menarik pasukan AS dari bagian timur laut Suriah sehingga Turki dapat mengerahkan militernya untuk menyerang milisi Kurdi. Keputusan Trump itu disebut oleh sebuah kelompok Kurdi sebagai “tikaman ke punggung” mengingat milisi Kurdi adalah sekutu utama AS dalam mengalahkan ISIS di Suriah.

Setelah dihujani kritik, Trump mengunggah sederet cuitan. Dalam cuitan-cuitan itu, Trump memperingatkan Turki untuk tidak mengambil keuntungan dari keputusannya—yang bertentangan dengan nasihat para pejabat senior di Pentagon dan Departemen Luar Negeri AS. Trump menekankan bahwa dirinya bisa “menghancurkan dan memusnahkan” ekonomi Turki.

Kantor Kepresidenan Turki mengatakan Presiden Erdogan dan Presiden Trump telah berbincang melalui telepon mengenai rencana Turki untuk mendirikan “zona aman” di bagian timur laur Suriah. Langkah itu dipandang perlu untuk memerangi “teroris” sekaligus menciptakan “kondisi-kondisi yang penting bagi kembalinya pengungsi Suriah ke negara asal mereka”.

“Semua persiapan untuk operasi telah rampung,” cuit Kementerian Pertahanan Turki. Belakangan, Juru Bicara Pentagon, Jonathan Hoffman, mengatakan “Departemen Pertahanan telah membuat jelas kepada Turki—dan kepada presiden—bahwa kami tidak mendukung operasi Turki di Suriah Utara.” (BBC online, 8/10).

Rezim Suriah sendiri, selain mengecam serangan Turki sebagai bentuk intervensi terhadap wilayah Suriah, memilih bekerjasama dengan Kurdi dengan bantuan Rusia. Tentara Suriah bergerak cepat ke kota-kota dan desa-desa di wilayah timur laut negara tersebut, yang memungkinkan konfrontasi dengan pasukan Turki. Media Pemerintah mengatakan pasukan Suriah yang disokong Rusia telah memasuki Kota Manbij, sebagai bagian dari kesepakatan dengan tentara Kurdi yang sebelumnya bersekutu dengan Amerika Serikat.

Media Pemerintah Suriah mengatakan pasukan Pemerintah telah memasuki Manbij, di daerah tempat Turki ingin menciptakan “zona aman” yang steril dari para pasukan Kurdi. Sebelumnya, tentara Suriah menduduki Tal Tamer dan Ain Issa. Para penduduk merayakan kedatangan mereka. Kesepakatan antara Kurdi dan Pemerintah Suriah dipandang sebagai dorongan bagi Presiden Bashar al-Assad untuk kembali mengerahkan pasukannya ke daerah-daerah tersebut untuk pertama kalinya sejak 2012.

Milisi Kurdi Suriah, awal pekan ini, mengklaim telah menyepakati koalisi dengan Tentara Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad, dalam upaya bersama untuk membendung operasi militer Turki di Suriah utara yang dimulai sejak 9 Oktober 2019. Pemerintah Suriah belum memberikan komentar langsung. Namun, hal itu dibenarkan, setidaknya oleh media Pemerintah Suriah, yang melaporkan bahwa tentara Presiden Assad telah dikerahkan ke utara. Demikian seperti dikutip dari BBC, Senin (14/10/2019).

Pengerahan Tentara Suriah akan membantu Syrian Democratic Forces (SDF), sebuah milisi pimpinan mayoritas kelompok Kurdi yang diperangi oleh Turki, “dalam melawan agresi, serta membebaskan daerah yang diinfiltrasi oleh tentara dan proksi bayaran Turki,” kata sebuah pernyataan dari pihak SDF.

Langkah itu juga “membuka jalan untuk membebaskan sisa kota-kota Suriah yang diduduki oleh tentara Turki seperti Afrin,” tambahnya—merujuk pada upaya sukses pasukan Turki dan pemberontak Suriah yang pro-Ankara untuk memaksa milisi Kurdi keluar dari Afrin pada 2018 dalam sebuah operasi militer yang berlangsung selama dua bulan.

 

Exit Strategy AS dan Jebakan untuk Turki

Restu awal Amerika terhadap serangan Turk diduga sebagai strategi Amerika untuk keluar dari beban Perang Suriah yang telah menyedot sumberdaya ekonominya. Gedung Putih sebelumnya menyatakan bahwa Turki akan segera bergerak maju dengan operasinya yang sudah lama direncanakan ke Suriah utara,

Dalam pernyataan Gedung Putih seperti yang dilberitakan BBC online (7/10) ditegaskan,  “Angkatan Bersenjata Amerika Serikat tidak akan lagi mendukung atau terlibat dalam operasi dan pasukan Amerika Serikat, yang telah mengalahkan ‘kekhalifahan’ wilayah ISIS, tidak lagi berada di area dekat situ.”

Gedung Putih juga menyatakan bahwa Turki akan memikul semua tanggung jawab atas para milisi ISIS yang ditangkap pasukan Kurdi selama dua tahun terakhir. Puluhan ribu mantan petempur ISIS, bersama istri dan anak mereka, kini ditahan di sejumlah kamp di Suriah yang dikelola pasukan Kurdi.

Gedung Putih menyebutkan, “Pemerintah Amerika Serikat telah menekan Prancis, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya, mengingat banyak petempur ISIS yang ditangkap berasal dari sana, untuk membawa mereka kembali namun negara-negara itu menolak.”

“Amerika Serikat tidak akan menahan mereka yang bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun dan biaya besar untuk para pembayar pajak Amerika Serikat.” Kebijakan Amerika menarik 2.000 pasukan militer AS dari Suriah utara tidak lain untuk memotong kerugian Washington setelah menghabiskan puluhan miliar dolar untuk terlibat dalam perang di Suriah.

Beberapa pihak menyoroti, serangan Turki ini akan membawa negara itu pada kesulitan ekonomi yang lebih parah. Selain biaya penyerangan yang pasti mahal, Turki juga langsung atau tidak akan menanggung dampak dari perang ini. Mengurus ratusan ribu, mungkin jutaan warga sipil di daerah-daerah yang berada di bawah kendalinya, apakah penduduk di daerah itu atau pengungsi yang melarikan diri ke sana.

Awalnya, Turki berharap ketika Amerika merestui serangan ini, negara itu akan turut berbagai beban keuangan dalam mengelola zona aman. Namun tampaknya, Amerika justru menarik diri dari semua beban itu. Keadaan ekonomi ini akan semakin buruk kalau Amerika dengan keculasannya merealisaskan ancamannya untuk menghukum Turki secara ekonomi, kalau Turki dianggap terlampau berlebihan.

Langkah Turki juga meningkatkan prospek campur tangan tentara Suriah, cepat atau lambat, dan bentrok dengan pasukan Turki. Kepemimpinan Suriah telah berulang memperingatkan bahwa mereka tidak akan mentolerasi pelanggaran baru terhadap wilayah dan kedaulatannya. Rezim Suriah juga mengatakan akan melawan balik terhadap invasi apa pun.

Bahkan jika serangan berhasil dan Pemerintah Turki mengambil kendali atas seluruh wilayah yang ditargetkan, mereka akan memiliki bom waktu mengelola ribuan Pejuang Daesh yang ditahan di penjara Kurdi.

Bagaimana ini akan berurusan dengan mereka? Akankah itu membuat mereka menjalani proses hukum, atau hanya menahan mereka, baik di Suriah utara atau di Turki sendiri? Apa pula yang akan dilakukan terhadap para pejuang asing, terutama orang-orang Eropa, yang negaranya tidak akan mengambilnya kembali?

Penarikan pasukan Trump dari Suriah utara tidak hanya menusuk sekutunya , kelompok Kurdi di Suriah. Para pemimpin Kurdi seharusnya belajar, sudah berapa kali Barat menikam mereka dari belakang? Ini juga bisa menjadi awal dari mundurnya AS di Timur Tengah, termasuk Irak dan banyak pangkalannya di Teluk. Hal ini sejalan dengan janji kampanye Trump untuk melepaskan diri dari perang mahal dan tidak berguna di Timur Tengah.

Untuk itu Trump telah mencoba merelokasi pusat komando untuk pasukan AS di wilayah tersebut dari Qatar ke daratan Amerika. Dia telah memerintahkan kapal induk dan kapal perang keluar dari Teluk dan ke Samudra Hindia. Trump juga tidak akan bertanggung jawab atas Kurdi di Suriah. Trump menyatakan AS sudah memberi mereka banyak uang dan senjata untuk memerangi Daesh di bawah kepemimpinan Amerika. Dia tampaknya telah memilih untuk keluar dari Timur Tengah.

Demi menghancurkan Revolusi Suriah, Amerika Serikat telah menyusun sebuah rencana kompleks yang melibatkan banyak kekuatan regional. Amerika Serikat telah menarik Erdogan untuk terlibat dalam rencana ini dengan berjanji akan membangun zona penyangga Turki di dalam wilayah Suriah untuk mengimbangi ancaman Kurdi. Peran Erdogan dalam rencana ini sangat efektif dalam menyesatkan kelompok-kelompok besar. Akan tetapi sekarang, setelah Erdogan memberikan semua tuntutan Amerika, ternyata Amerika Serikat kurang peduli dan bersikap masa bodoh terkait upaya apa pun untuk kepentingan Turki. [Abu al Fatih Sholahuddin]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen − 3 =

Back to top button