Kaidah Islam Dalam Memilih Pejabat Publik (Bagian Kedua)
Kaidah-kaidah dasar Khalifah Umar selanjutnya dalam mencari dan mengangkat pejabat yang nantinya akan membatu menjalankan roda pemerintahan adalah: Kaidah keempat: Tidak mengangkat pegawai dari kerabatnya. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab karya Dr. Muhammad ash-Shalabi dijelaskan bahwa Khalifah Umar al-Faruq selalu berusaha untuk tidak mengangkat pegawai dari kerabatnya sendiri walaupun dia memiliki kemampuan dan masuk Islam lebih dulu, seperti putra pamannya Said bin Zaid dan putranya sendiri Abdullah bin Umar. Ini semua untuk menghindarkan diri dari kolusi, korusi dan nepotisme yang ujungnya membuka pintu penyalahgunaan wewenang jabatan dan aparat tidak berani menindak karena masih keluarga pejabat.
Khalifah Umar pernah mendengar salah seorang sahabatnya mengadu karena penduduk Kufah selalu menentang perintah Gubernurnya. Umar bin al-Khaththab berkata, “Seandainya saya mendapatkan orang Islam yang kuat dan amanah pasti saya akan mengangkat dia sebagai gubernur.” Sahabatnya berkata, “Demi Allah, saya akan menunjukkan kepada Anda orang tersebut. Dia adalah Abdullah bin Umar (anaknya Umar-red.).” Umar berkata kepada dia, “Celakalah kamu. Demi Allah, saya tidak menginginkan ini.”1
Umar al-Faruq kemudian berkata, “Siapa saja yang mengangkat seseorang menjadi pegawai karena rasa senang atau karena mempunyai hubungan kekerabatan maka hal ini tidak akan membantu pekerjaannya. Dia juga telah berbuat khianat kepada Allah dan Rasulnya.”2
Kaidah kelima: Melarang pegawainya melakukan dagang. Umar melarang para pegawainya untuk melakukan transaksi jual-beli secara umum baik mereka sebagai penjual atau pembeli.3 Diriwayatkan ada seorang pegawai namanya Haris bin Kaab bin Wahab mendapatkan kekayaan yang melimpah. Umar al-Faruq bertanya kepada dia tentang sumber kekayaannya. Ia menjawab, “Saya membawa gajiku kemudian saya melakukan dagang dengan uang tersebut.” Umar berkata kepada dia, “Demi Allah, saya tidak menyuruhmu untuk berdagang.” Khalifah kemudian mengambil semua keuntungan yang ia dapatkan dari dagangannya.4
Inilah bentuk kehati-hatian Umar bin al-Khaththab. Mengkondisikan seluruh jajarannya untuk berdagang. Sebabnya, dalam mengurusi urusan rakyat sangat erat dengan proses pengadaan barang dan jasa dan itu melibatkan uang yang tidak sedikit. Biasanya di situlah pintu pejabat tergiur untuk berdagang. Dengan larangan Khalifah Umar bagi para jajarannya untuk berdagang maka diharapkan para jajarannya tetap fokus dalam melayani urusan rakyat. Tidak silau dengan gemerlap keuntungan dagang dari projek pemerintah ini. Mereka juga tidak akan pernah silau dengan trilunan uang sogok, uang fee, uang tanda jasa atau istilah-istilah lainnya.
Kaidah keenam: Menghitung kekayaan pegawai sebelum diangkat. Umar menghitung kekayaan pegawai dan gubernur sebelum mereka menjabat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah selisih kekayaan mereka sebelum dan sesudah menjabat. Jika mereka mendapatkan kekayaan yang jumlahnya tidak masuk akal, akan mudah diketahui. Jika mereka beralasan bahwa kekayaan tersebut mereka dapatkan dari dagang maka alasan ini tidak diterima. Umar berkata kepada mereka, “Saya mengangkat kalian untuk menjadi pegawai bukan untuk berdagang.”5
Kaidah ketujuh: Hal-hal yang disyaratkan Umar kepada para pegawai. Jika Umar al-Faruq mengangkat pegawai dia menulis surat kepadanya. Surat tersebut berisi sumpah yang dibacakan dan disaksikan oleh sejumlah orang. Isi suratnya dia tidak akan menunggang kuda milik pemerintah, tidak makan enak, tidak memakai pakaian yang bagus dan tidak menutup pintu untuk melayani keperluan orang-orang Islam. Kemudian berdoa, “Ya Allah, saksikanlah apa yang dia katakan.6
Maksud dari syarat-syarat diatas adalah seorang pegawai harus komitmen dengan kehidupan zuhud dan rendah hati terhadap orang lain. Dengan keharusan seorang pegawai berlaku sederhana dalam pakaian dan kendaraannya maka hal ini diharapkan sebagai langkah awal untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Kebijaksanaan Umar bin al-Khaththab di atas merupakan kebijaksanaan yang penuh dengan hikmah. Dia tidak mungkin mengharuskan seluruh masyarakat melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariah. Akan tetapi, ia dapat mengharuskan hal tersebut terhadap para gubernur dan pemimpin umat. Mereka adalah panutan masyarakat. Langkah Umar ini juga merupakan langkah yang dapat menjaga masyarakat dari kehancuran.7
Kaidah kedelapan: Bermusyawarah dalam mengangkat gubernur. Sebelum mengangkat seorang gubernur, Khalifah Umar terlebih dulu berkonsultasi dengan tokoh-tokoh sahabat.8 Suatu hari Umar al-Faruq berkata kepada para sahabatnya; “Tunjukkanlah kepadaku seorang yang jika berada di kaumnya menjadi pemimpin, tetapi dia bukan pemimpin yang resmi. Walaupun dia bukan pemimpin yang resmi, dia adalah pemimpin yang sesungguhnya.”9 Mereka kemudian menunjukkan kepada Umar seseorang yang bernama Rabi’ bin Ziyad.10
Umar langsung bermusyawarah dengan mereka untuk menentukan gubernur Kufah. Dia berkata kepada mereka, “Siapa yang dapat memberitahu padaku, jika seorang yang wira’i diangkat sebagai gubernur Kufah penduduknya menyepelekannya? Jika seorang yang kuat menjadi Gubernur Kufah penduduknya melawannya?”
Kemudian Dia berpidato, “Wahai saudara-saudara, mana yang lebih pantas menjadi gubernur menurut kalian? Orang yang lemah tetapi dia Muslim yang bertakwa ataukah orang yang kuat tetapi tabiatnya sangat keras?”
Mughirah kemudian bangkit untuk menyampaikan pendapatnya, “Wahai Amirul Mukminin. Sungguh Muslim yang lemah, Islamnya untuk dirinya sendiri dan kelemahannya berpengaruh terhadap Anda dan orang-orang Islam. Sebaliknya, orang yang keras tabiatnya, dia tegas terhadap dirinya dan kekuatannya bermanfaat untuk Anda dan orang-orang Islam. Lakukanlah menurut pendapat Anda.”
Umar bin al-Khaththab menjawab, “Pendapatmu betul, wahai Mughirah.”
Setelah itu Umar mengangkat Mughirah bin Syu’bah untuk menjadi gubernur Kufah. Umar al-Faruq memberikan nasihat kepada dia, “Jadilah kamu orang yang dapat menenteramkan orang-orang yang baik dan ditakuti oleh orang-orang yang jahat.” Mughirah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, saya akan melakukan hal ini.”11
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]
Catatan kaki:
1 Ibnu al-Jauzi, Manaqib Umar bin Al Khattab, halaman 108 dan Al Wilayah ‘ala Al-Buldan, 1/128.
2 Al-Fatawa, XVIII/138.
3 Idarah al-Islamiyah fi Ashri Umar bin al-Khattab, hlm. 213.
4 Ibid.
5 Ibid, hlm. 215.
6 Ma’hdh ash-Shawab, jilid 1 halaman 510.
7 At-Tarikh al-Islam, XIX dan XX, hlm. 268.
8 ‘Ashru al-Khalifah ar-Rasyidah, hlm. 114.
9 Fara’id al-Kalam, hlm. 165.
10 Ibid.
11 Al-Wilayah ‘ala al-Buldan, I/128.