Tarikh

Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680)(Bagian Satu)

Seketika itu juga (dalam perjalanan pasukan Banten ke Pakuan), kata Maulana Judah, “Hayyâ bismillâh!”

Ia lalu membaca doa, “Bismillâhi’r-Rahmâni’r-Rahîm lâ hawlâ wa lâ quwwata illâ bilLâh al-‘aliyy’il-‘azhîm,”

Itulah niatnya orang yang hendak SabîlulLâh Ta’âlâ.1

Jika kita berkunjung ke pusat Kota Bogor hari ini, citra yang tampak dari kota bersejarah di Jawa Barat tersebut lebih lekat dengan heritage kolonial Eropa. Memang kita akui, ada suatu masa Ketika Bogor pernah menggunakan nama “Buitenzorg”. Istilah Belanda ini bermakna “Tanpa Kekhawatiran” atau bisa juga berarti “Tanpa Perawatan”. Bergantung pada bagaimana kita mau memaknai kata “zorg”.

Nama tersebut pertama kali disematkan orang Belanda pada era VOC ketika Gubernur Jenderal Baron van Imhoff menitahkan pembangunan perkebunan dan villa di selatan Batavia.  Nama “Buitenzorg” dengan arti “Tanpa Perawatan” yang berkonotasi negatif diakui sendiri oleh Official Tourist Bureau (Biro Resmi Pariwisata) Pemerintah Hindia Belanda: “Buitenzorg (Tanpa Perawatan) bukanlah nama yang tepat untuk tempat tinggal permanen Gubernur Jenderal seluruh jajahan Belanda di Timur (Buitenzorg [without care] is not a very appropriate name for the permanent residence of the Governor General of the whole of the Dutch possessions in the East).”2

Bagaimana pun, “Buitenzorg” hanyalah nama yang dikenal Belanda dan diperkenalkan mereka ke dunia Barat. Menurut tuturan Antoine Cabaton, kota ini sendiri tetap “dikenal oleh orang Jawa sebagai Bogor.”3

Citra lain yang disematkan kepada Bogor adalah julukan “Kota Hujan”. Ini memang tidak salah karena curah hujan di kota ini begitu tinggi. Namun, jika kita berbicara identitas sebuah kota, kita tidak melulu harus melihat dari citra fisik Bogor yang memang lekat dengan heritage kolonial. Ada fakta empiris masyarakat yang juga membentuk identitas daerah. Sebagaimana perkataan Saleh Danasasmita, “bukan jejak yang kita kaji, melainkan manusia pemilik jejak itu!”4

Data sensus tahun 2020 menunjukkan, dari 1.043.070 jiwa penduduk, ada 969.343 kaum Muslim di Kota Bogor.5

Belum lagi jika kita menghitung kaum Muslim di Kabupaten Bogor yang jauh lebih luas dan terbentang dari Jasinga hingga Tanjungsari. Citra Islam tetap memenuhi Bogor dari segi fakta empiris masyarakat. Banyaknya masyarakat Islam di Bogor merupakan hasil dari perjalanan sejarah Panjang. Yang pasti akan dilupakan “historiografi Buitenzorg” dengan pendekatan Eropasentris.

Kalau kita melongok ke penulisan sejarah Bogor dengan pendekatan Indonesiasentris (selaku penantang mazhab Eropasentris), akan didapati sejarahnya yang didominasi historiografi era Tarumanegara hingga Pajajaran, negara-negara Hindu yang pernah berkuasa di Jawa Barat. Eksistensi mereka ditandai dengan hadirnya berbagai peninggalan sejarah dalam bentuk prasasti (Ciaruteun, Batutulis, Kabantenan, dll), naskah-naskah kuno (Carita Parahyangan, Sanghyang Siksakanda ng Karesian, Ratu Pakuan, dll), atau puisi (Putera Rama dan Rawana, Pendakian Sri Ajnyana, Cerita Bujangga Manik, dll).6

Sangat betul bahwa Bogor dulunya adalah ibukota dari Kerajaan Pajajaran yang berjuluk Dayeuh Pakuan. Namun, jika kita kembali melihat fakta empiris masyarakat (Kota dan Kabupaten) Bogor yang penganut Hindunya hanya 4.288 jiwa7 dari total jumlah penduduk sekitar 6.470.138 jiwa,8 maka peninggalan Pajajaran yang diwariskan hari ini kepada masyarakat Bogor dalam bentuk agama sangat kecil. Kecil sekali. Tidak sebanding dengan Islam yang menjadi kepercayaan utama orang Bogor bersuku Sunda. Islam diyakini dan diwariskan secara turun-temurun. Andaipun seorang Muslim Sunda di Bogor hanya mencantumkan agamanya di KTP belaka dan jarang salat, tetap saja secara psikologis dia tidak sudi disebut “kafir” dan dikuburkan dengan cara selain Islam ketika dia wafat nanti.

Dari sini, bukankah Islam telah menghujam begitu kuat di lubuk hati mereka? Bahkan orang Sunda memunculkan anekdot “Sunda teh Islam, Islam teh Sunda”. Ini sebagai bentuk identitas agama dan suku mereka yang telah menyatu. Lantas ke mana sejarah Islam di Bogor yang telah membentuk kepribadian mereka sekarang? Mengapa yang banyak dinarasikan hanya sejarahnya di era Hindu dan Kolonial? Inilah pertanyaan sejarah yang tidak terjawab dalam historiogafi bermodel Eropasentris maupun Indonesiasentris.

Tulisan ini menawarkan cara pandang baru dalam melihat sejarah lokal (local history) daerah Bogor dengan kacamata Islam. Jika karakteristik sejarah Islam digunakan sebagai parameter, maka masa lalu masyarakat Islam yang memenuhi Bogor akan berangkat dari definisi ummah (umat) dalam Islam, yaitu sekelompok manusia yang memiliki kepercayaan (‘aqîdah) yang satu, pemahaman (mafâhim) yang satu, serta tolok ukur (maqâyis) dan keyakinan (qanâ’ât) yang sama. Dari itu Muslim di mana saja ia berada, dari bangsa mana saja ia berasal dan pada masa kapan saja ia hidup, ia adalah bagian dari ummah Islam. Tanah airnya adalah tanah air tempat ditegakkan syariah Allah.9

Dengan demikian sejarah Islam di Bogor ialah sejarah penerapan ‘aqîdah dan syarî’ah Islam di Dayeuh ini. [Bersambung]

 

Catatan kaki:

1        Jan Edel (ed.), Hikajat Hasanoeddin, (Meppel: Drukkerij en Uitgeverszaak B. Ten Brink, 1938), 52.

2        “Ilustrated Tourist Guide to Buitenzorg, the Preanger and Central Java”, Official Tourist Bureau (Weltevreden [Batavia], 1913): 9.

3        Antoine Cabaton, Jawa, Sumatra, dan Kepulauan Lain di Hindia Belanda, Penerjemah Abmi Handayani, dkk, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2019), 68.

4        Saleh Danasasmita, Sejarah Bogor, (Bogor: Pemda Kotamadya DT II Bogor, 1983), 102.

5        Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, “Jumlah Penduduk dan Agama yang Dianut 2019-2021”,

https://jabar.bps.go.id/indicator/108/335/1/jumlah-penduduk-dan-agama-yang-dianut.html

6        J. Noorduyn dan A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, Penerjemah Hawe Setiawan, dkk, (Bandung: Pustaka Jaya, 2009), 1-5.

7        Data tahun 2020: Hindu di Kota Bogor (1.635) dan Kabupaten Bogor (2.653). Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, “Jumlah Penduduk dan Agama yang Dianut 2019-2021”.

8        Data tahun 2020: Populasi Kota Bogor (1.043.070) dan Kabupaten Bogor (5.427.068). “Jumlah Penduduk Kota Bogor Sebanyak 1,04 Jiwa pada 2020”, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/17/ jumlahpenduduk-kota-bogor-sebanyak-104-juta-jiwa-pada-2020; “Kabupaten Bogor Berpenduduk Terbanyak SeIndonesia”, https://opendata.jabarprov.go.id/id/infografik/kabupaten-bogor-berpenduduk-terbanyak-seindonesia

9        Lihat: Taqiyuddin Muhammad, Daulah Shalihiyyah di Sumatera: Ke Arah Penyusunan Kerangka Baru Historiografi Samudra Pasai, (Lhokseumawe: CISAH, 2015), xii-xiii: catatan kaki no. 8.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − 3 =

Back to top button