Tarikh

Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680)(Bagian 2)

Sejarah Awal Islam di Bogor

Berdasarkan tradisi tutur yang ditulis dalam naskah-naskah kuno, sejarahwan menetapkan penduduk Pulau Jawa yang berakidah Islam muncul pertama kali pada Tahun Jawa 1250 (1337 Masehi). Sosok yang dimaksud adalah salah seorang dari dua putra Kuda Lalean, penguasa Kerajaan Galuh, yang beribukota di Kawali (sekarang Ciamis). Bratalegawa, putra Kuda Lalean yang tertua, karena tidak senang untuk tinggal di istana, kemudian terlibat dengan perdagangan luar negeri dan pergi mengarungi laut. Adiknyalah yang kemudian menggantikan Kuda Lalean dan naik takhta dengan gelar Prabu Munding Sari.

Setelah tujuh tahun berlalu, sang kakak kembali lagi dan kini menyandang gelar Haji Purwa. Ternyata selama perantauannya di dunia internasional, Bratalegawa mendapat hidayah Islam hasil dari kontaknya dengan kaum Muslim yang merajai lalu-lintas Samudera Hindia pada zaman itu. Ia bahkan sempat menunaikan haji ke Makkah al-Musyarrafah. Dia pulang ke Galuh bersama seorang Arab dari negeri Khoja (India) yang merupakan keturunan dari Sayyid ‘Abbas. Haji Purwa alias Bratalegawa mengajak saudara dan keluarganya untuk memeluk agama ini. Namun, mereka menolak.1

Dalam pembacaan Raffles atas sumber-sumber Jawa, pertentangan ini kemudian menyebabkan pemindahan letak ibukotanya jauh ke barat. Tempat baru ini terletak di Bogor. Bogor masa lalu dikenal sebagai Pakuan Pajajaran. Haji Purwa yang belum berhasil dalam mendakwahi keluarganya pergi ke Cirebon. “Inilah keterangan pertama yang menyebutkan agama Islam di Jawa,” simpul Raffles dalam The History of Java.2

Berdasarkan keterangan di atas, dapat kita katakan bahwa Haji Purwa adalah Muslim pribumi pertama yang menautkan kesadaran kaum Muslim di pusat dunia Islam untuk berdatangan ke Pulau Jawa dengan tujuan dakwah. Beliau menjadi penghubung lokalitas masyarakat Sunda dengan jaringan internasional umat Islam.

Setelah Haji Purwa, berangsur-angsur mulai datang gelombang ulama yang datang ke Cirebon, basis Pangeran Galuh yang Muslim tersebut, untuk lebih luas menyebarkan Islam. Para ulama yang populer dalam tradisi tutur seperti Syaikh Quro dan Syaikh Datuk Kahfi muncul setelah generasi Haji Purwa pada abad ke-14. Angka tahun kedatangan ulama-ulama tersebut muncul di catatan Ali Galip Bey, Konsul Jenderal Khilafah ‘Utsmaniyah pertama di Batavia pada abad ke-19. Dalam laporan Galip Bey yang ditulis pada Ramadhan 1303/Juni 1886 dan ditujukan untuk Khalifah Abdülhamid II, disebutkan bahwa seorang Arab yang bernama “Benî Kurey؛ Mahzem bin Habü’l-Mahzemi” (kemungkinan besar Syaikh Datuk Kahfi) datang dari Baghdad dan mendarat di Pulau Jawa, khususnya Cirebon pada tahun 791 Hijriah atau 1388 Masehi.3

Kala itu Pulau Jawa bagian barat dikuasai oleh dua kerajaan Sunda yang berdaulat setelah Tarumanegara runtuh: Padjadjaran (beribukota Pakuan, sekarang Bogor) dan Galuh (beribukota Kawali, sekarang Ciamis). Pada tahun 1482, Sri Baduga Maharaja (berkuasa 1482 – 1521) naik takhta dan sanggup menyatukan dua pemerintahan Sunda tersebut di bawah satu bendera. Wilayah kuasanya terbentang dari Ujungkulon di barat hingga timurnya di Sungai Pemali, Brebes, sebagai batas demarkasi Kerajaan Sunda dengan Majapahit.4

Naskah Bujangga Manik mengungkapkan, “Sesampainya ke perbatasan Sunda/kuseberangi Sungai Cipamali/sampailah ke wilayah Jawa” (sadatang ka tungtung Su[n]da/meu[n]tasing di Cipamali/datang ka alas Jawa).5

Pelabuhan-pelabuhan utama Kerajaan Sunda Padjadjaran, sebagaimana kesaksian Tome Pires yang menulis Suma Oriental-nya sepanjang 1512-1515, terdiri dari Bantam (Banten), Pomdag (Pontang), Chegujde (Cigede),6 Tamgara (Tangerang), Calapa (Sunda Kalapa) dan Chemano (Cimanuk). Masih menurut orang Portugis itu, di beberapa pelabuhan tersebut “banyak orang Moor (Muslim) tinggal.”7

Tak ayal, daerah-daerah pesisir menjadi katalisator perubahan dengan kehadiran komunitas Tujjâr al-Muslimîn (Pedagang Muslim), ditambah sejumlah besar ulama yang fokus mengajarkan ilmu dan mendirikan basis dakwah. Tradisi tutur menyebutkan bahwa Ki Gedeng Tapa, pemimpin bawahan Padjadjaran di Labuan (Pandeglang), menitipkan putrinya, Subang Larang, untuk dididik secara Islam kepada Syaikh Quro di Karawang. Di kemudian hari, Nyai Subang Larang dinikahi oleh Prabu Siliwangi alias Sri Baduga Maharaja.8

Pernikahan penguasa tertinggi Padjadjaran di Pakuan (Bogor) dengan salah seorang rakyatnya yang Muslimah tentu menghebohkan segenap Tatar Sunda, sekaligus menjadi titik penting perubahan sejarah. Pernikahan Sri Baduga Maharaja dengan Nyai Subang Larang dikaruniai anak-anak yang bernama Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang. Mereka berdua memeluk Islam dan memperdalam ‘ulûm ad-dîniyyah di Pesantren Amparan Jati yang didirikan Syaikh Datuk Kahfi.9  [Bersambung…] [Nicko Pandawa]

 

Catatan kaki

1        Nina Herlina Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, (Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2011), 15; Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Penerjemah Eko Prasetyaningrum, dkk, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2014), 352, 452.

2        Thomas Stamford Raffles, The History of Java, 452.

3        Ali Galip Bey kepada Sultan Abdülhamid II, 21 Ramadhan 1303/23 Juni 1886. BOA, Y.EE, 8/6. Ismail Hakk‎ Kad‎ and A.C.S. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives, (Leiden: Brill, 2020), 1:477, 482. Lihat ulasannya dalam Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia, 1882-1928, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, 2021), 171-172: catatan kaki no. 396.

4        Edi S. Ekadjati, “Asal-Usul, Lokasi, Perkembangan Pakuan Pajajaran”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran dan Esai-Esai Lain tentang Kebudayaan Sunda, (Bandung: Pusat Studi Sunda, 2015), 101.

5        J. Noorduyn dan A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, 280.

6        Toponimi “Cigede” sekarang sudah tidak digunakan lagi, dan sukar untuk menentukannya. Yang jelas, dia terletak di antara Pontang dan Tangerang. Tempat ini bisa jadi terletak antara di Tanjung Kait, muara Cisadane, atau muara kali Kramat. Lihat: Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII, Penerjemah Hendra Setiawan, dkk, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), 44.

7        Armando Cortesao, Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Fransisco Rodrigues, Penerjemah Adrian Perkasa dkk, (Yogyakarta; Penerbit Ombak, 2015), 238-242.

8        Nina Herlina Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, 16.

9        Ibid.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − 7 =

Back to top button