Tarikh

Khilafah Membangun Infrastruktur: Menyibak Jalinan Politik dan Spiritual yang Dilupakan (Bagian 10)

Dari sini sumber Sajarah Banten memberikan kita informasi penting, ternyata memang Pangeran Ratu ‘Abdul Qadir lah yang menginisiasi penggunaan gelar sultan dalam Kesultanan Banten. Ia tidak melihat tempat mencari otoritas kekuasaan Islam yang bisa memberi gelar “Sultan” kecuali ke wilayah Khilafah ‘Utsmaniyyah di Hijaz: Syarif Makkah. Untuk keperluan tersebut, pada tahun 1636 ‘Abdul Qadir mengirim tiga orang penting Banten ke Makkah: Lebe Panji, Mas Wangsaraja, dan Demang Tisnajaya. Setelah menempuh perjalanan sekian lama melintasi Samudera Hindia, akhirnya kapal mereka tiba di Jeddah. Dengan menumpang sebuah karavan unta, ketiga utusan Banten sampai di Makkah dan dibawa menghadap ke Sultan Sarip Jahed –demikian Sajarah Banten menyebutnya.1 Sultan Sarip Jahed tersebut tidak lain adalah Syarif Zayd bin Muhsin (menjabat 1631-1666), Syarif Makkah sekaligus Gubernur Hijaz untuk Khilafah ‘Utsmaniyyah. Diberikanlah surat Pangeran Ratu ‘Abdul Qadir kepada Syarif Zayd, yang menurut redaksi Sajarah Banten tertulis sebagai berikut:

“Salam doa hamba haturkan, kepada sultan yang bernama, Sarip Jahed. Dan segala puji, semua pujian yang utama, pujian yang diiringi, dengan hati ikhlas Tuan, doa yang senantiasa dipanjatkan, siang dan malam, yang menghabiskan semua keutamaan, tujuh bumi tujuh langit, yang memenuhi semua, di seluruh dunia, yang memulai kehendak, yang mengakhiri keinginan, yang agung (dan) yang menguasai dan juga utusannya, Nabi Mursal yang pertama, dan yang dijadikan penutup semua, (adalah) Nabi (Muhammad) alayhi wa sallam. Sesudah diampuni, akhir dari itu, inilah persembahan hamba, ini panjang bagori, pojengge dan pala, mangosyi, cendana, dedes, tampaus, dan gaharu. Selain itu, hamba haturkan juga, mohon berkah, sekehendak Tuan. Dan hamba mohon lagi, arti kitab hamba, Markum, Wujudiyyah, dan Muntahi, Tuan. Hamba mohon artinya Tuan. Hamba juga mohon lagi dengan sungguh, seorang alim ulama, yang mau ke Jawa, yang dapat dijadikan penerang, bagi negeri Banten sekarang, hamba menunggu-nunggu, terkabulnya permohonan hamba, selamatlah yang diutus, karena syafaat Baginda Tuan.”2

Saya memahami, setidaknya ada tiga tujuan yang terkandung dalam misi para utusan Banten sebagaimana yang tertera dalam kutipan di atas, khususnya kalimat-kalimat yang saya garis bawahi. Yakni untuk (1) meminta legitimasi gelar sultan untuk Pangeran Ratu Banten, ‘Abdul Qadir; (2) menanyakan syarah atau penjelasan dalam kitab Markum, Muntahi, dan Wujudiyyah; dan (3) meminta agar dikirimi fuqaha dari Haramayn yang bisa menjadi rujukan di Banten. Permintaan poin nomor (1) tidak disampaikan secara lugas, melainkan dengan bahasa berkias: “Hamba haturkan juga, mohon berkah, sekehendak Tuan”. Syarif Zayd bin Muhsin memahami kalimat “memohon berkah” yang disampaikan dengan penuh kerendahan hati tersebut sebagai permintaan legitimasi Pangeran Ratu Banten untuk dijadikan Sultan.

Karena pemberian gelar sultan lazimnya adalah hak Khalifah sebagaimana yang terjadi sejak zaman ‘Abbasiyyah, dan sesuai dengan apa yang disampaikan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ al-Ulumuddin, maka Syarif Zayd tidak bisa memutuskan sendiri. Ia perlu mengabarkan permintaan Banten kepada Khalifah di masanya yang dijabat Bani ‘Utsmaniyyah di Istanbul. Karena itu ia mengundang wazir-wazirnya di Makkah untuk mengadakan rapat. Sajarah Banten meriwayatkan bahwa Syarif Zayd berkata, “Hai wazir, bagaimana (mengenai) surat dari Banten ini? Sekehendak kalianlah, jika ada yang pantas dihaturkan, diserahkan ke Rum” (iku wajir kaparehe, surat saking Banten ika, sakarsa makanira, yen ingkang pantas kaatur, matur ing Erum ika).3 Menurut wazir-wazirnya Syarif Zayd, permintaan Banten tidak perlu diteruskan kepada Khalifah di Istanbul. Sajarah Banten tidak menerangkan apa sebabnya, tapi mungkin saja para wazir itu mengetahui bahwa Sultan Murad IV (berkuasa 1623-1640) selaku Khalifah ‘Utsmaniyyah sedang berada dalam kesibukan menghadapi perang melawan Daulah Shafawiyyah.

Akhirnya, Syarif Zayd bin Muhsin mengundang 200 koja/hoca alias ulama dari Istanbul (angundang sakehe ngajoca, sampun kumpul sadaya, awajah kang saking Ngerum, kalih atus kathahneka)4 sebagai perwakilan Khalifah Murad IV dalam memberikan gelar sultan kepada penguasa Banten. Syarif Zayd segera mengundang Mas Wangsaraja dan Demang Tisnajaya5 untuk menghadap lagi, dan diberikanlah surat keputusan yang di antaranya berbunyi sebagai berikut:

“Dan nama (gelar untuk) saudaraku, ayahnya bergelar, Sultan Abu’l-Mafakhir, Mahmud Dzu’l-Qadir; (adapun) putranya namanya, Sultan Abu’l-Ma’ali Ahmad; dan (kepada) Ratu Mataram, aku namakan ia; dan Ratu Makassar, itu aku gelari Sultan Haji. Yang mentasbihkan sultan, kelak adalah Banten, semua sudah mentasbihkannya. Ketiga negara ini, negara yang tidak kujadikan satu, baru jika ada fitnah, (dari) orang kafir yang akan merusak, atau sesama Islam, ketiga negara itu, (hendaklah) bersatu, saling tolong menolong, (dan) bermufakat jangan berbeda, meskipun sama kuat, (dalam) menjalankan pemerintahan, wujudkanlah kesejahteraan, (hendaklah) saling menyokong, demikian isi suratnya.6

Dari jawaban Syarif Zayd ternyata dapat dipahami bahwa bukan hanya Banten yang penguasanya dianugerahi gelar sultan. Mataram dan Makassar –yakni Gowa dan Tallo’– turut dianugerahi gelar prestisius tersebut. Rentang waktu keberadaan utusan Banten di Haramayn cukup lama, dari tahun 1636 dan dikabarkan pulang lagi ke Banten tahun 1640. Kepulangan mereka tentu sangat ditunggu-tunggu Pangeran Ratu ‘Abdul Qadir. Mas Wangsaraja dan Demang Tisnajaya langsung disambut penuh gempita, dan dibacakanlah keputusan Syarif Makkah untuk mengangkat ‘Abdul Qadir sebagai “Sultan Abu’l-Mafakhir Mahmud ‘Abdul Qadir”, serta putra mahkotanya menjadi “Sultan Abu’l-Ma’ali Ahmad”.7

Begitu mengetahui kalau dirinya diamanahi Syarif Zayd di Makkah untuk mentahbiskan Susuhunan Mataram dan Karaeng Makassar sebagai “sultan” juga, Sultan Abu’l-Mafakhir lantas mempersiapkan pengiriman utusan ke dua kerajaan tersebut. VOC dalam Daghregister (Laporan Harian)-nya mencatat, pada 27 Januari 1641 Sultan Abu’l-Mafakhir mengirim salah satu utusannya yang berangkat ke Makkah dulu, Mas Wangsaraja,8 untuk pergi ke Mataram dalam rangka menobatkan penguasanya menjadi sultan. Susuhunan Agung Hanyokrokusumo akhirnya ditabalkan sebagai sultan dengan gelar “Sultan ‘Abdullah Muhammad Maulana Matarani”;9 lebih terkenal kemudian hari dengan sebutan Sultan Agung Hanyokrokusumo (berkuasa 1613-1645). Setelah tugasnya selesai di Mataram, Mas Wangsaraja dari Banten kemungkinan besar melanjutkan perjalanannya ke Makassar; menemui I Mannuntungi Daaeng Mattola yang akhirnya “digelari (Sultan) oleh Makkah dengan nama Muhammad Sa’id.”10 Demikianlah Sultan Muhammad Malik as-Sa’id Tumamenang ri Papambatuna, Sang Karaeng Gowa di Makassar, memperoleh gelar “Sultan” dari Khilafah ‘Utsmaniyyah yang diwakili gubernurnya di Makkah, Syarif Zayd bin Muhsin, melalui perantara Sultan Abu’l-Mafakhir Banten. (Tulisan ke sepuluh).

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]

 

Catatan Kaki:

1        Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, 53-54.

2        Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2015), 343.

       Ibid, 344.

       Ibid, 346-347.

5        Satu utusan lagi, Lebe Panji dikabarkan mendadak wafat di Makkah setelah menemui Syarif Zayd bin Muhsin. Lihat: Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, 54.

6        “Lan namane sanak ingwang, kang rama ika jenenge, Sultan Abu Mapakhir ika, Mamhud Zulkadir ika, ingkang putra jenengipun, Sultan Abul Ma’ali Akhmad, lan Ratu Mataram iki, isun jenengaken ika, lan Ratu Makasar mangko, iku arani Sulthan Haji, kang nekakena Sulthan, Banten besyuk iku, kabeh kang nekakena, nagara titika (titiga) iki, nagara tan sun dadekaken satunggal, yen ana pitnah tembe, wong kapir kang anggrurusak, atawa padha Islam, nagara tetelu iku, dadi wicara satunggul, tulung tinulung syami, den mupakat aja siwah, dipune padha kuwate, salakuning kang nagara, anglakonana harja, padha anjurung junurung, mangkana sajeroning surat.”. Lihat: Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 344-345.

7        Mufti Ali, Aria Wangsakara Tangerang: Imam Kesultanan Banten, Ulama-Pejuang Anti Kolonialisme 1615-1681, (Pandeglang: Bhakti Banten Press, 2019), 22-29.

8        Daghregister menyebutnya dengan nama “Kiai Narantaka”. Atas jasanya dalam menjadi perantara Banten, Mataram, dan Makassar yang melegalisasi tiga kerajaan itu menjadi Kesultanan atas izin Syarif Makkah dan Khalifah ‘Utsmaniyyah, Mas Wangsaraja dianugerahi Sultan Abu’l-Mafakhir dengan gelar Kiai Mas Haji Wangsaraja. Di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai Imam Raden Arya Wangsakara, pahlawan nasional yang mendirikan kota Tangerang. Makamnya hari ini ada di Desa Lengkong Kulon, Kec. Pagedangan, Kab. Tangerang.

9        HJ. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990),  274-275.

10      William P. Cummings, A Chain of Kings, 47, 79.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − eighteen =

Back to top button