Fokus

HTI Di Sidang PTUN: Saat Negara Mencitraburukkan Ajaran Islam

Persidangan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas keputusan pencabutan Surat Keputusan Badan Hukum Perkumpulan (SK BHP) oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kememkumham) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah memasuki tahap akhir. Bulan ini Majelis Hakim Tata Usaha Negara memutuskan hasil akhir gugatan tersebut.

HTI mengajukan gugatan ke PTUN karena pencabutan SK BHP oleh Pemerintah tidak sesuai dengan azas keterbukaan, tanpa alasan yang jelas. Pencabutan itu tidak memenuhi azas kecermatan karena hanya memakai Pasal 17 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai dasar.

Di persidangan HTI diwakili kuasa hukum Prof. Yusril Ihza Mahendra dan tim dari Kantor Pengacara Ihza & Ihza. HTI sendiri diwakili oleh juru bicaranya, M Ismail Yusanto. Ia senantiasa hadir dalam setiap sidang sejak awal hingga menjelang akhir sidang.

Seperti diketahui, HTI dicabut badan hukumnya sesuai dengan SK Menteri Hukum dan HAM nomor AHU -30.AHA.01.08.2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian perkumpulan HTI.  Pencabutan itu dilakukan pada 19 Juli 2017, sembilan hari setelah Perppu No 2 Tahun 2017 disahkan.  Ada jeda lebih dari sepekan.

Kepada Majelis Hakim PTUN, HTI mengajukan dua gugatan atau petitum ke PTUN Jakarta atas keputusan pencabutan SK BHP tersebut. Pertama, penundaan. HTI meminta kepada PTUN agar putusan pencabutan itu ditunda berlakunya. Kedua, pembatalan. HTI meminta PTUN membatalkan SK Kemenkumham tersebut.

Kuasa hukum HTI Yusril Ihza Mahendra, menyampaikan 41 alasan menggugat keputusan SK Menteri Hukum dan HAM AHU-30.AH.01.08 tahun 2017.  “Intinya pembubaran HTI melanggar undang-undang dan asas pemerintah yang baik,” kata Yusril.

Pelanggaran Pemerintah dalam urusan tata usaha negara itu di antaranya adalah mencabut BHP tanpa alasan yang jelas. Padahal secara administrasi pemerintahan, ada keharusan untuk mencantumkan alasan yuridis, sosiologis dan filosofis sebagai dasar penetapan sebuah keputusan. Alasan pencabutan SK BHP ini hingga menjelang akhir persidangan tetap tidak jelas.

Dalam pandangan HTI, Pemerintah telah bertindak sewenang-wenang karena menjatuhkan sanksi administratif tanpa melalui proses pengadilan. Apalagi sebelum Perppu No. 2 Tahun 2017 keluar—berlaku UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas—HTI tidak pernah melakukan pelanggaran hukum sama sekali. Padahal sesuai dengan hukum yang berlaku, Pemerintah seharusnya melakukan tindakan persuasif seperti peringatan. Namun demikian, itu tak pernah dilakukan. Pemerintah lebih memilih menyusun Perppu untuk menegasikan pengadilan.

Pemerintah menuding HTI melanggar pasal 59 ayat (3) dan (4) Perppu No. 2 Tahun 2017 yakni meyakini, mengembangkan dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Ini adalah tindakan sepihak Pemerintah dan tidak dibenarkan secara hukum.

Yusril menyebutkan, hingga akhir sidang Kemenkumham sebagai pihak tergugat tidak dapat membuktikan bahwa HTI bertentangan dengan Pancasila. “Enggak ada bukti. Kalaupun ada, buktinya lemah semua. Bukti tergugat itu hanya asumsi-asumsi saja,” ujar Yusril.

“Apa yang dilakukan HTI melanggar Perppu itu hanya dalam waktu sembilan hari itu? Hukum tidak boleh diberlakukan secara surut,” kata Yusril.

Pakar hukum tata negara itu meminta pemerintah untuk membuktikan adanya pelanggaran Perppu Ormas oleh HTI dalam kurun waktu jeda sembilan hari itu.

Benar saja, ketika Pemerintah mengajukan bukti, bukti mereka adalah berupa video-video kegiatan HTI yang berlangsung jauh sebelum Perppu ini keluar. Bahkan ada video yang merupakan rekaman kegiatan HTI pada tahun 2013.

Para pengacara Pemerintah pun menjadikan buku-buku terbitan HTI sebagai barang bukti. Namun demikian, mereka tidak bisa menunjukkan bahwa buku-buku tersebut telah dilarang oleh Pemerintah sehingga isinya menjadi terlarang untuk disebarkan.

Yusril menyatakan, secara keseluruhan argumentasi dan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan itu tidak terbukti (proven). HTI tidak pernah melanggar hukum. HTI tidak pernah menimbulkan keributan di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan dakwahnya positif/ HTI tidak pernah menimbulkan konflik dengan yang lain walaupun dipancing-pancing oleh suatu ormas seperti Ansor. Kegiatan-kegiatan HTI juga tidak pernah dilarang oleh polisi, aparat keamanan, baik pada masa pemerintahan Pak SBY maupun pada pemerintahan Jokowi.

Untuk menguatkan gugatannya HTI mengajukan saksi fakta dan saksi ahli. Saksi ahli di antaranya Prof. Zainal Arifin, pakar hukum administrasi negara, Dr. Daud Rasyid dan Prof. Didin Hafiduddin sebagai pakar fikih dan dakwah serta pakar sejarah Muflih Hasbullah.  Terkait hubungan dengan Pancasila, HTI mengajukan saksi ahli Prof. Suteki dari Undip Semarang.

 

Bergeser

Karena secara prosedural sangat lemah, tampak pihak Pemerintah menarik-narik HTI ke soal material, yakni tentang Khilafah yang dianggap mengancam NKRI dan anti Pancasila.

Sidang tata usaha negara (TUN) yang biasanya membahas tentang prosedur administrasi keluarnya sebuah keputusan TUN akhirnya bergeser. Tampak sekali ada upaya kuasa hukum Pemerintah untuk menarik kasus ini ke substansi perjuangan HTI di Indonesia.

Sepanjang persidangan,  kuasa hukum Pemerintah berusaha membangun satu opini bahwa apa yang sedang diperjuangkan oleh HTI bertentangan dengan Pancasila, membahayakan NKRI dan mengancam kebhinnekaan.

Mereka selalu mempermasalahkan ide/gagasan khilafah. Bagi mereka ide khilafah adalah ancaman negara. Karena itu organisasi yang menyampaikan ide tersebut harus dibubarkan. Di situ mereka membangun opini bahwa Khilafah bertentangan dengan Pancasila dan akan menghancurkan NKRI.

Upaya membangun pandangan bahwa HTI itu berbahaya itu bisa dilihat dari upaya Pemerintah menghadirkan saksi ahli Ansyaad Mbai. Mantan Kepala Badan Penanggulangan Nasional Terorisme (BNPT) ini berbicara panjang lebar tentang ide khilafah. Padahal HTI tak pernah sama sekali terkait dengan terorisme, termasuk dalam pencabutan SK BHP-nya. Lalu mengapa ada saksi ahli terorisme?

 

Pertarungan Ideologi

Mencermati perjalanan sidang sejak awal hingga menjelang akhir, tergambar sebuah pertarungan ideologi. HTI yang merepresentasikan ideologi Islam melawan ideologi kapitalis-liberal di sisi pemerintah. Persidangan TUN ini akhirnya sangat berbeda jauh dengan persidangan TUN yang biasa; lebih tampak seperti persidangan di pengadilan negeri (biasa).

Ada sebuah upaya menjatuhkan Islam, bukan sekadar membubarkan organisasi. Bagaimana mungkin perjuangan HTI yang berlangsung damai, tanpa kekerasan dan selalu mengikuti prosedur hukum yang berlaku dianggap sebagai sebuah ancaman?

Pertarungan ideologi ini tampak makin kentara ketika mereka berusaha menyerang ajaran Islam. Para pengacara Pemerintah dan saksi ahli mempermasalahkan keharaman pemimpin kafir, juga pemimpin perempuan, sebagaimana didakwahkan HTI. Ide ini mereka anggap sebagai mengancam kebhinekaan.

Yang paling mereka permasalahkan adalah sistem Khilafah yang akan mempersatukan kaum Muslim seluruh dunia. Mereka menyebut Khilafah ala HTI adalah sebuah propaganda ideologi politik. Mereka menyebut ide itu tidak boleh diterapkan karena Indonesia dibentuk berdasarkan kesepakatan para pendiri bangsa.

Namun demikian, di beberapa kesempatan ahli Pemerintah sendiri justru menyebut  Khilafah itu memang ada meski ia tak mengakui semua Khilafah.

Upaya mengarahkan opini di persidangan yang keluar dari pembahasan adminstratif tentu diladeni pihak HTI dan kuasa hukumnya. Tak jarang sidang berlangsung hingga tiga jam untuk memeriksa satu saksi fakta/ahli.

HTI pun mengajukan ahli yang kompeten membahas tentang fikih Islam. Di hadapan majelis hakim, saksi ahli ini menyebut Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Khilafah adalah ide yang sudah masyhur di kalangan ulama. Bahkan ulama empat mazhab mengakui kewajiban menegakkan Khilafah ini.

Saksi ahli HTI lainnya menyebut Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang harus disebarluaskan.  Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur urusan pribadi, masyarakat dan negara. Islam yang kâffah ini didakwahkan dengan hikmah, maw’izhatil hasanah dan jaddilhum hiya ahsan.

 

Islam vs Liberal

Persidangan TUN yang mendapatkan perhatian besar masyarakat—tidak seperti sidang TUN biasa—mempresentasikan dua kubu: kubu Islam melawan kubu Pemerintah yang diwakili sebagian besar oleh kalangan liberal.

Yang menarik, ada pengacara kafir yang berusaha menyerang ide-ide Islam dengan mengambil contoh fakta suatu daerah yang penduduknya mayoritas kafir ketika membahas soal kepemimpinan.

Kalangan yang selama ini liberal muncul satu-persatu di persidangan. Selain dikenal sebagai liberal, ada sebagian mereka yang nyata-nyata dikenal selama ini mendukung penista agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Misalnya, Pemerintah mengajukan saksi fakta Guntur Romli. Sosok yang satu ini sangat dikenal liberal. Ungkapan-ungkapannya melalui media sosial atau elektronik pun sering menyakitkan umat Islam. Ia dikenal sebagai pembela Ahok.

Ada juga Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Yudian Wahyudi. Ia sebelumnya menentang penggunaan cadar di kampusnya. Di persidangan ia dengan nyata menentang Ijmak Sahabat. Alasannya, Ijmak Sahabat sudah dihapuskan oleh kesepakatan ulama di Indonesia.  Bahkan ia menyebut Donald Trump adalah khalifah dalam era sekarang.

Pendukung Ahok lainnya yang hadir adalah dosen UIN Lampung Ahmad Ngishomuddin.  Ia menyebut hanya Hizbut Tahrir saja yang menyatakan kewajiban Khilafah dengan mengangkat satu orang khalifah. Padahal dalam kitab-kitab klasik kewajiban itu jelas-jelas ada.

Ada juga dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Zuly Qadir. Ia termasuk 50 tokoh liberal di Indonesia. Dalam persidangan, ia menyebut Khilafah itu haram di Indonesia. Setelah diingatkan akan keahliannya sebagai seorang sosiolog, baru ia mengatakan bahwa dirinya tak berhak menjawab soal halal-haramnya Khilafah.

 

Tak Kompeten

Selain beberapa tokoh liberal, saksi ahli Pemerintah terkesan dihadirkan untuk membangun opini, bukan sebagai ahli sesungguhnya. Yang paling mencolok adalah kehadiran Ansyaad Mbai.  Padahal sidang TUN itu tidak sedang membahas masalah terorisme. Sama sekali tidak ada kaitan dengan terorisme. Lalu mengapa ia dihadirkan?

Di persidangan pun ia hanya bicara tentang pengalamannya sebagai kepala BNPT dan menganalisis beberapa kejadian terorisme. Ia mencoba ‘memfitnah’ dengan mengaitkan Khilafah dengan terorisme. Mbai mengatakan bahwa Khilafah merupakan paham radikal. Khilafah juga paham yang sangat berbahaya dan terkait erat dengan terorisme. “Terorisme adalah anak kandung radikalisme,” katanya.

Bahkan ia menegaskan bahwa  radikalisme lebih berbahaya dari terorisme. Semua aksi kekerasan dan teror di Indonesia terkait dengan paham ini. “Jika paham radikal ini dibiarkan maka kita akan terus mandi bom,” ucapnya.

Untuk mengaitkan dengan HTI, ia mengatakan, ada 25 orang anggota HTI yang terlibat dalam aksi terorisme. Namun demikian, ketika diminta menunjukkan buktinya, ia tidak bisa memberikan. Mbai hanya mengatakan bahwa itu dapat disimpulkan dari paham yang dianut para pelaku teroris.

Ada pula Guru Besar Hukum UI Satya Arinanto. Ia menjawab pertanyaan di persidangan secara politis, bukan sesuai keahliannya. Ini terlihat ketika Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menanyakan kepada dia tentang paham sosialisme dan kapitalisme, apakah bertentangan dengan Pancasila? Ahli tidak menjawab sesuai atau bertentangan. Ia hanya menjawab, itu bukan keahliannya. “Lho, kalau bukan keahlian mengapa tadi ngomong bahwa Pancasila itu tidak bisa diubah dengan ideologi lain? Pertanyannya, ideologi lain itu apa?” kata Ismail usai sidang.

Saksi fakta Guntur Romli mengaku telah mengkaji seluruh kitab-kitab HT dalam tempo enam bulan ketika masih kuliah di Mesir. Dengan berapi-api ia menjelaskan berbagai kesimpulan yang diperoleh dari kajian yang dilakukan. Di antaranya, Guntur menyebut dalam kajian HTI tidak pernah dikaji al-Quran dan al-Hadis. Semua kajian yang dilakukan HTI diarahkan pada materi Khilafah. Semua pembahasan kitab-kitab kajian HTI hanya membahas tentang Khilafah.

Ketika dikonfirmasi oleh Jubir HTI mengenai kajian yang dilakukan, apakah Guntur Romli mengkaji atau sekadar membaca? Guntur baru mengakui, dirinya tidak mengkaji melainkan hanya membaca. Majelis Hakim sempat mengingatkan agar Guntur fokus memberi keterangan seputar apa yang diketahui dan dialami sendiri oleh saksi, bukan mengutip informasi dari internet atau sarana lainnya.

Yang paling aneh adalah saksi ahli Zuly Qadir. Ketika muncul pertanyaan dari Ismail Yusanto tentang haramnya Khilafah yang ia katakan, ia diingatkan hakim untuk menjawab sesuai keahliannya. Eh, ia malah menjawab seenaknya,  “Ya, biarkan saja dia bertanya. Ini kan hanya lucu-lucuan. Ini hiburan saja, kan?” sambil tertawa-tawa merasa tak bersalah.

Hakim pun berkata kepada dia, “Kalau itu di luar keahlian Saudara, Saudara tidak perlu menjawab. Sebab, kalau Saudara menjawab, akan terus ditanya,” kata hakim ketua.

 

Dukungan Ulama

Dalam persidangan yang berlangsung lebih dari enam bulan ini, dukungan para ulama dari berbagai daerah terus berdatangan. Mereka selalu hadir memenuhi ruang sidang PTUN di kawasan Pulo Gebang, Jakarta Timur ini. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka tak mau kalah oleh pendukung Pemerintah yang tak lain adalah pendukung Ahok yang juga hadir di persidangan. Setiap sidang, para ulama mendominasi pengunjung yang hadir. Mereka harus rela melihat dari layar monitor di luar ruang sidang karena kapasitas tempat duduk yang terbatas.

Ustadz Qudhori menyatakan sangat prihatin dengan fakta persidangan selama ini. Ahli yang dihadirkan Pemerintah suka bohong dan memfitnah dalam memberikan keterangan.

“Saya hadir untuk memberikan dukungan kepada HTI karena HTI mendakwahkan kebenaran, dakwah Islam,” kata ulama asal Jawa Tengah ini.

Selain hadir di persidangan, para ulama di berbagai daerah menggelar sejumlah pertemuan untuk mendukung perjuangan HTI. Di Medan, ulama mengadakan Multaqa Ulama. Mereka menyatakan Khilafah adalah ajaran Islam. Ini karena para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah, semua Murji‘ah, semua Syiah dan semua Khawarij menyatakan kewajiban Imamah (Khilafah).

Sejumlah ulama di Sumenep Madura pun mendukung perjuangan HTI. Kiai Chairil Anam menyatakan, perjuangan syariah dan Khilafah ini akan terus berlanjut meskipun rezim menghalanginya. “Pencabutan BHP HTI bukan pembubaran, namun hanya mencabut legalitasnya. Oleh karena itu, perjuangan harus tetap dilanjutkan,” tegas Kiai Chairil.

Sedangkan Kiai Fauzi Ro’ie, Pengasuh Majlis Tafsir Al-Ihsan Lengkong, Sumenep, mengatakan bahwa perjuangan penegakan syariah Islam adalah bentuk perniagaan dengan Allah yang akan menyelamatkan kita di dunia, apalagi di akhirat kelak. [Humaidi]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen + fourteen =

Back to top button