
Masa Depan Suram Pemerintahan Baru
Setelah sepuluh tahun memimpin Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan tongkat estafet kepada pemerintahan baru yaitu Prabowo. Pemerintahan baru yang segera terbentuk di Indonesia menghadapi tantangan besar dari warisan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meninggalkan jejak mendalam di berbagai sektor.
Ekonomi
Pemerintahan Prabowo Subianto akan menghadapi sejumlah tantangan berat dalam bidang ekonomi yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya. Berikut adalah beberapa fakta dan analisis dari sudut bidang ekonomi:
- Pertumbuhan Ekonomi Menurun.
Pada tahun 2024, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 4,9%. Ini jauh lebih rendah dari target yang diharapkan Prabowo sebesar 8%. Penurunan ekspor, penurunan harga komoditas, serta perlambatan ekonomi global menjadi faktor utama yang menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia (Resetdoc.org).
Pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan lebih rendah dari target (sekitar 4.9% pada 2024) dapat menekan penciptaan lapangan kerja baru, memperlambat kenaikan upah, dan mengurangi peluang ekonomi bagi masyarakat. Perlambatan ini juga akan berdampak pada investasi yang lebih rendah, terutama di sektor-sektor padat karya yang berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Dengan pertumbuhan yang lemah, potensi pengangguran meningkat. Hal ini dapat memperburuk kesenjangan sosial dan kemiskinan.1
Selain itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) juga masih mengancam berbagai industri. Data terbaru Kementerian Ketenagakerjaan menampilkan terdapat 46.240 orang tenaga kerja terkena PHK pada periode januari hingga agustus 2024 (Bisnis.tempo.co).
- Daya Beli Masyarakat Menurun.
Kenaikan inflasi yang dipicu oleh peningkatan harga pangan dan energi telah berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga yang berkontribusi besar terhadap PDB Indonesia terancam melambat jika daya beli terus tergerus.2
Tingginya inflasi dapat menurunkan daya beli masyarakat. Hal ini paling berdampak pada kelompok berpenghasilan rendah yang memiliki porsi pengeluaran terbesar untuk kebutuhan pokok. Tekanan harga yang terus naik tanpa diimbangi dengan kenaikan upah yang signifikan akan berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat yang berujung dapat meningkatkan angka kemiskinan. Di tambah lagi dengan kebijakan kenaikan pajak penghasilan menjadi 12%. Ini tentu akan semakin menambah berat daya beli masyarakat.
- Angka Kemiskinan Masih Tinggi.
Berdasarkan data, jumlah orang miskin di Indonesia per maret 2024 mencapai 25,22 juta orang (Setkab.go.id). Jumlah itu mengacu pada kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2024 sebesar Rp 582.932 perkapita perbulan. Itu merupakan batas pengeluaran untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak (Finance.detik.com).
Ironi memang. Bagaimana tidak. Negeri yang begitu melimpah SDA, namun banyak rakyatnya justru hidup dalam kemiskinan. Jika kriteria kemiskinan itu dinaikan tidak sebesar Rp 582.932 perkapita perbulan atau sesuai dengan kriteri bank dunia sebesar US$ 3 perhari, maka jumlah rakyat miskin naik menjadi 40% dari total penduduk Indonesia (Cnbcindonesia.com). Yang lebih menyesakkan lagi, kemiskinan di Indonesia merupakan kemiskinan struktural dan sistemik.3 Artinya, sebagian besar hal itu karena kebijakan yang kurang tepat.
- Kondisi Moneter yang Ketat.
Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan menekan inflasi. Namun, kebijakan moneter yang ketat ini berpotensi memperlambat pertumbuhan kredit dan investasi, terutama di sektor riil.4 Hal ini juga dapat memperburuk kesulitan bagi UMKM dalam mengakses permodalan (Eastasiaforum.org).
Dengan kebijakan moneter yang berbasis ribawi dari Bank Indonesia melalui kenaikan suku bunga,5 biaya kredit akan meningkat. Hal ini berdampak pada konsumsi dan investasi.6 Masyarakat akan kesulitan mendapatkan akses permodalan murah, terutama untuk pembiayaan perumahan dan kebutuhan konsumsi lainnya. Ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memperparah ketidakstabilan ekonomi rumah tangga. Jika kebijakan ini tetap berlangsung maka dipastikan daya beli masyarakat akan tetap rendah.
- Pajak yang Semakin Mencengkeram.
Pemerintahan baru Prabowo berencana untuk meningkatkan rasio pajak terhadap PDB dari sekitar 10% menjadi 16%. Hal ini guna menutupi pembiayaan proyek-proyek besar (Internationalfinance.com). Namun, kebijakan ini berpotensi menambah beban bagi dunia usaha dan masyarakat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Tekanan pajak yang meningkat dapat menurunkan konsumsi dan investasi .
Rencana peningkatan rasio pajak untuk menutupi defisit anggaran akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat, terutama kelas menengah dan dunia usaha. Peningkatan pajak dapat berdampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini juga dapat mempengaruhi sektor investasi, mengurangi kapasitas mereka untuk berinvestasi dan sulit menciptakan lapangan kerja baru. Seperti kebijakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% sudah barang tentu memiliki multiplier efek bagi rakyat. Sebabnya, ternyata PPN 12 persen menjadi PPN tertinggi kedua di wilayah ASEAN (Antaranews.com).
Dampak kenaikan PPN ini bisa memunculkan dampak dan efek domino pada masyarakat, khususnya masyarakat menengah bawah. Hal ini bisa memicu kelesuan aktivitas bisnis dan daya beli masyarakat semakin menurun.
- Utang yang Mengikat.
Sampai saat ini jumlah total utang negara ini mencapai Rp. 9.993 triliun. Jika jumlah utang itu dibagi dengan jumlah rakyat Indonesia maka masing-masing harus menanggung sebesar Rp 35,4 juta rupiah perorang (Kedaulatan Rakyat, 21/8/2024).
Meskipun demikian, Prabowo tetap berencana melonggarkan batas defisit ini serta meningkatkan rasio utang terhadap PDB yang saat ini berada di sekitar 38.11%, dengan beban pembayaran bunga yang besar (Eastasiaforum.org).
Kebijakan ini sangat berpotensi menambah tekanan fiskal jika tidak dikelola dengan hati-hati. Pasalnya, dengan utang negara yang terus meningkat, anggaran negara akan semakin terbebani oleh pembayaran bunga dan cicilan utang, mengurangi alokasi untuk program sosial dan infrastruktur penting yang dapat langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ini berpotensi memperpanjang kesulitan ekonomi, terutama bagi kelompok rentan. Pasalnya, APBN yang seyogyanya dialokasikan untuk rakyat akan tergerus untuk membayar utang. Tahun ini saja total alokasinya untuk bayar utang bunga dan pokoknya dari APBN mencapai Rp.1.153 trilliun (Datanesia.id).
- Ekonomi Populis yang Butuh Dana.
Prabowo telah berjanji untuk menerapkan kebijakan populis, termasuk subsidi dan program sosial, yang akan membutuhkan anggaran besar. Program-program ini dapat memerlukan dana besar yang akan memperluas defisit anggaran jika tidak diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai. Tantangan utamanya adalah bagaimana menyeimbangkan kebijakan populis dengan disiplin fiskal yang ada (Reset DOC).
Jika ekonomi tidak tumbuh sesuai harapan, program-program populis ini justru dapat memperberat defisit dan berdampak buruk pada stabilitas ekonomi
- Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Proyek pembangunan IKN di Kalimantan Timur menjadi tantangan besar bagi Prabowo. Proyek ini diperkirakan memerlukan dana lebih dari Rp 500 triliun. Sebagian besar pendanaannya berasal dari APBN dan investor asing. Namun, ada kekhawatiran tentang kemampuan menarik investasi dan dampak proyek ini terhadap lingkungan (Internationalfinance.com).
Mega proyek yang bombastis ini memunculkan kekhawatiran. Pasalnya, alokasi anggaran untuk IKN dapat mengorbankan sektor-sektor lain yang lebih mendesak bagi masyarakat luas, seperti kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terpencil.
- PHK yang Semakin Membesar.
Sektor manufaktur dan industri menghadapi tantangan berat, dengan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meningkat. Perlambatan global serta tekanan biaya produksi membuat banyak perusahaan merampingkan tenaga kerja. Prabowo harus menghadapi masalah ini dengan menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat sektor-sektor strategis nasional (Eastasiaforum.org).
Dampak perlambatan ekonomi global dan penurunan permintaan ekspor telah menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia meningkat pada tahun ini. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sepanjang Januari sampai 26 September 2024 total hampir 53.000 orang dipecat (Detik.com).
Industri manufaktur dan teknologi yang berorientasi ekspor menghadapi tantangan besar, yang dapat mengakibatkan meningkatnya pengangguran di kalangan tenaga kerja produktif. Tanpa intervensi Pemerintah yang kuat, PHK massal ini bisa menciptakan tekanan sosial yang lebih besar.
- Lapangan Kerja yang Sempit.
Ketersediaan lapangan kerja menjadi salah satu isu utama, terutama bagi generasi muda. Dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan peningkatan PHK, persaingan untuk lapangan kerja akan semakin ketat. Generasi muda, khususnya lulusan perguruan tinggi, akan menghadapi tantangan besar dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan mereka. Kurangnya peluang di sektor formal juga berpotensi meningkatkan jumlah pekerja informal yang rentan terhadap ketidakpastian pendapatan.
Politik dan Hukum
Tidak hanya dalam bidang ekonomi, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto akan menghadapi sejumlah tantangan berat terkait politik dan hukum di Indonesia, yang sebagian besar berasal dari warisan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Tantangan-tantangan ini mencakup potensi dinamika koalisi politik yang rumit, kepastian hukum, serta ketegangan antara kontrol eksekutif dan kekuatan oligarki.
- Koalisi Politik yang Rentan.
Meskipun berhasil memenangkan Pemilu, Prabowo tidak memiliki mayoritas legislatif yang solid. Partai Gerindra, yang dia pimpin, hanya memperoleh sekitar 14% suara di Parlemen. Ini menjadikan Gerinda partai terbesar ketiga. Hal ini berarti Prabowo harus merangkul koalisi politik yang luas untuk menjalankan pemerintahan, yang berpotensi menciptakan ketegangan internal. Koalisi ini mencakup berbagai partai dengan agenda yang berbeda. Upaya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dapat mempengaruhi stabilitas politik pada masa depan (Nbr.org). Dengan koalisi yang gemuk sangat memungkinkan untuk muncul conflict of interes. Niat hati untuk mensejahterakan rakyat ujung-ujungnya cenderung sebatas bagi-bagi kekuasan.
- Kekuasaan Oligarki yang Mengcengkeram.
Di Indonesia, fenomena ini telah menjadi isu yang signifikan. Kekuasaan oligarki yang mengakar kuat memiliki dampak besar dan kompleks terhadap rakyat. Dari kesenjangan ekonomi hingga eksploitasi sumberdaya alam hingga pelemahan institusi negara, pengaruh oligarki sangat merugikan kepentingan masyarakat luas.
Salah satu ciri utama oligarki adalah konsentrasi kekayaan yang luar biasa pada segelintir orang. Dalam konteks Indonesia, ini terlihat jelas dalam struktur politik dan ekonomi di mana sejumlah kecil konglomerat mengendalikan sektor-sektor strategis, seperti sumberdaya alam (pertambangan, perkebunan), infrastruktur dan perbankan. Para oligark ini juga sering memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan politik. Ini memungkinkan mereka mempengaruhi kebijakan publik demi keuntungan pribadi.
Tidak hanya dalam politik. Dalam aspek penegakan hukum yang pengaruh oligarki begitu kuat. Kekuatan politik dan oligarki memiliki keistimewaan hukum yang tidak dimiliki rakyat biasa. Akibatnya, hukum kehilangan fungsinya sebagai pelindung keadilan, dan semakin memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap nagara dan aparat penegak hukum. Hasilnya banyak kasus hukum yang beberapa waktu lalu menjadi trending kini hilang entah kemana, seperti kasus KM 50, kasus suap tambang batu bara dll.
Sosial
Di bidang sosial, pemerintahan Prabowo Subianto akan menghadapi sejumlah tantangan sosial-politik yang kompleks dan berat, yang akan berdampak langsung pada rakyat Indonesia. Beberapa di antaranya adalah masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang meningkat, tingkat stres masyarakat yang tinggi, fenomena pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol), angka perceraian yang meningkat, dan LGBT yang semakin menguat.
Ketidakmampuan Pemerintah untuk menangani semua problem sosial ini secara efektif dapat memperburuk perasaan tidak aman di masyarakat. Rakyat akan merasa bahwa mereka tidak terlindungi dari ancaman kekerasan, eksploitasi, dan kejahatan siber. Selain itu stres yang terus meningkat akibat tekanan ekonomi dan sosial berpotensi meningkatkan masalah kesehatan mental di kalangan masyarakat. Ini akan menambah beban bagi sektor kesehatan, terutama jika fasilitas dan sumberdaya kesehatan mental yang ada tidak mencukupi untuk menangani lonjakan kasus.
WalLaahu a’lam. [Dr. Julian Sigit; Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI)]
Catatan kaki:
1 Juliana, J., Marlina, R., Saadillah, R., & Mariam, S. (2018). Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi Perspekif Politik Ekonomi Islam. Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, 2(2), 259-268.
2 Permana, E., Subhan, N., Juliana, J., & Abduh, M. (2024). The Role of Fundamental Strategies in Overcoming the Inflation. KEDJATI Journal of Islamic Civilization, 1(1), 20-34.
3 Marlina, R., Juliana, J. J., Adila, N. A., & Robbani, M. B. (2019). Islamic Political Economy: Critical Review of Economic Policy in Indonesia. Review of Islamic Economics and Finance, 2(1), 47-55.
4 Alamsyah, I. F., & Juliana, J. (2021). Transition to A True Currency: Impact of COVID-19 on The World Currency System. Islamic Research, 4(2), 42-47.
5 Putra, D. A., Juliana, J., Firmansyah, F., & Marlina, R. (2023). The Effect Of Interest Rate, Inflation Rate And Rupiah Exchange Rate On Investment Results In Sharia Life Insurance Companies In Indonesia. Tsarwatica (Islamic Economic, Accounting, and Management Journal), 5(1), 41-57.
6 Utomo, Y. T., Hanafi, S. M., Juliana, J., & Anggrismono, A. (2023). Financial System Stabilization in Islamic Economics Perspective. Islamic Research, 6(1), 63-68.





