Membantah Tuduhan Keji Terhadap Khilafah dan Para Pejuangnya
Khilafah adalah sistem politik agung warisan Rasulullah saw. Khilafah dipraktikkan oleh para sahabat mulia dan para khalifah setelahnya. Khilafah, tak dipungkiri, telah berhasil mewujudkan peradaban agung selama lebih dari 13 abad.
Sebaliknya, pasca Khilafah runtuh tanggal 3 Maret 1924, berbagai persoalan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain muncul menyeruak di seluruh negeri kaum Muslim. Seorang Muslim tentu meyakini bahwa berbagai problem tersebut terjadi karena syariah Islam tidak diterapkan secara kâffah sebagaimana secara historis dan empiris pernah diterapkan oleh institusi Khilafah.
Berbagai upaya untuk mewujudkan kembali peradaban agung dalam Khilafah, disuarakan dan diperjuangkan para tokoh dan berbagai kelompok dakwah. Mereka yakin bahwa Khilafah adalah solusi dari berbagai persoalan. Setelah melalui proses dakwah dan penyadaran umat yang panjang, kini ide khilafah sebagai ajaran Islam semakin dikenal dan populer. Di berbagai forum dan media, tema Khilafah selalu menjadi bahan perbincangan.
Namun ironis, ketika Khilafah yang mulia dan agung mulai banyak diperbincangkan bahkan dirindukan, berbagai pihak mulai mempermasalahkan. Berbagai cara dilakukan untuk menghentikan dakwah tentang Khilafah. Namun, upaya tersebut akan berujung pada kesia-siaan. Justru semakin ditolak, umat semakin penasaran. Semakin dihalang-halangi, umat semakin merindukan.
Tidak jelas, apa alasan mereka menolak warisan Rasulullah saw tersebut. Yang pasti, pihak yang menolak Khilafah adalah orang-orang yang tidak menginginkan hukum Allah diterapkan. Para penghadang Khilafah pastilah pihak yang memiliki kedengkian dan kebencian terhadap ajaran Islam. Pihak penentang Khilafah pastilah orang-orang yang tidak menginginkan agar Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat diwujudkan.
Mereka menyebarkan narasi sesat agar masyarakat menolak Khilafah. Mereka membuat stigma negatif agar masyarakat membenci para pejuang Khilafah. Mereka merancang berbagai makar agar dakwah khilafah berhenti di tengah jalan. Di antara sekian banyak narasi, stigma dan makar jahat para pendengki Khilafah, paling tidak ada tiga isu utama yang sering mereka lontarkan, yakni:
Pertama, mengaitkan pihak yang menginginkan Khilafah dengan aksi terorisme. Terorisme adalah tindakan yang secara universal dikecam dan dibenci semua pihak, apapun agamanya. Para penentang Khilafah hendak mengaitkan perjuangan penegakan Khilafah dengan terorisme. Karena itu ketika aksi terorisme terjadi, sering media mengangkat opini bahwa pelaku tindak terorisme menginginkan Khilafah. Ditambah lagi dengan menampilkan “barang bukti” berupa buku atau kitab yang membahas seputar jihad dan khilafah. Jelas, ini framing. Tujuannya, agar publik memiliki persepsi bahwa orang yang menginginkan atau memperjuangkan Khilafah adalah teroris.
Mengaitkan perjuangan penegakan Khilafah dengan aksi terorisme adalah fitnah yang sangat keji dan pasti menuai kegagalan. Mengapa demikian? Karena sangat tidak logis jika tujuan yang sangat mulia, yakni menerapkan hukum Allah SWT, dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan syariah Islam. Bukan hanya bertentangan, aksi terorisme juga akan menghambat bahkan menghalangi perjuangan penegakan Khilafah. Aksi teror tidak akan mengubah apapun kecuali kerusakan dan jatuhnya korban. Aksi teror hanya akan membuat rusak image Islam. Jadi, bagaimana mungkin pejuang Khilafah melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan tujuan yang mulia, bahkan yang menghalangi perjuangannya? Publik yang memiliki akal sehat pasti akan menolak fitnah keji tersebut.
Selain itu Khilafah merupakan warisan Rasulullah saw. Karena itu para pejuang Khilafah pasti menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan perjuangannya. Perjuangan Rasulullah saw. di Makkah hingga tegaknya Daulah Islam di Madinah seluruhnya adalah aktivitas dakwah fikriyyah, menyampaikan ajaran Islam, tanpa sedikitpun bercampur dengan kekerasan fisik dan aksi teror. Karena itu jika ada pihak yang mengaku pejuang Khilafah lalu melakukan aksi teror, tentu selain karena faktor kejahilan terhadap syariah Islam, hampir pasti dia melakukan kedustaan atas nama perjuangan. Jika ada pihak yang mengaitkan aksi terorisme dengan perjuangan penegakkan Khilafah, diduga kuat mereka adalah para pembenci Islam dan memiliki niat buruk untuk menghancurkan Islam.
Kedua, menghubungkan ajaran Khilafah yang dianggap sebagai ajaran radikal yang menginspirasi terorisme. Selain berupaya mengaitkan perjuangan penegakan Khilafah dengan aksi terorisme, para pendengki Khilafah membuat tesis lain, yakni bahwa ajaran khilafah adalah ajaran radikal. Para penganut pahamnya berpotensi besar melakukan aksi terorisme. Mereka membuat asumsi yang menyesatkan bahwa paham radikal akan menginspirasi aksi terorisme. Artinya, menurut mereka, para penganut ide khilafah, one step ahead menjadi pelaku tindak teror. Tesis ini jelas sangat berbahaya dan lebih merupakan fitnah keji yang lahir dari kecacatan berpikir.
Kita tahu, istilah “radikal” sesungguhnya istilah yang netral. Dalam KBBI, kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak. Adapun radikal, jika ditambah akhiran isme, yakni “radikalisme”, berarti paham yang sifatnya mendasar, atau paham politik yang menuntut perubahan yang fundamental. Dalam pengertian ini, “radikal” atau “radikalisme” adalah istilah yang netral, bisa baik atau buruk, tergantung konteksnya atau nilai yang melekat padanya. Sikap dan paham ini pun bisa tumbuh dalam entitas apapun; tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku dan sekat lainya.
Anehnya, belakangan ini pemaknaan radikal dan radikalisme menjadi stereotif dan sangat subyektif. Label radikal sering disematkan kepada individu atau kelompok yang memperjuangkan formalisasi syariah Islam dalam negara, sering menyerukan jihad fi sabiilillah, menganggap Amerika sebagai musuh kaum Muslimin, memiliki tujuan menegakkan Khilafah Islam, dan lain sebagainya. Ini jelas kesesatan berpikir.
Sesat pikir berikutnya adalah menyebut khilafah sebagai ajaran radikal yang menginspirasi terorisme. Menyebut khilafah sebagai ajaran radikal dengan konotasi negatif saja merupakan kesesatan berpikir, apalagi dengan ditambah embel-embel “menginspirasi terorisme”.
Kita tahu, khilafah merupakan ajaran Islam yang mulia dan agung. Inti dari Khilafah adalah penerapan syariah, persatuan kaum Muslim (ukhuwah) dan penyebarluasan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (dakwah). Tuduhan bahwa ajaran Khilafah menginspirasi terorisme jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam dan ahistoris.
Sebagai contoh, di dalam konsep negara khilafah, warga negara yang non-Muslim disebut sebagai kafir dzimmi. Mereka berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi. Negara Khilafah harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan dan harta bendanya.
Bahkan Rasulullah menegaskan, ”Siapa saja yang membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun.” (HR Ahmad).
Bahkan Imam al-Qarafi menyatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap ahludz-dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”
Selain itu, fakta sejarah juga membuktikan, Khilafah telah menunjukkan tingkat toleransi yang luar biasa. Hal ini diakui oleh Thomas Walker Arnold, seorang sejarahwan Kristen. Dia menulis, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.” (The Preaching of Islam: a History of Propagation of the Muslim Faith, 1896, hlm. 134). Jadi, atas dasar tersebut, bagaimana bisa ajaran khilafah disebut menginspirasi terorisme? Padahal perlakuan Khilafah terhadap warga negara non-Muslim saja begitu indahnya. Karena itu, tuduhan bahwa ajaran khilafah adalah radikal dan dapat menginspirasi tindakan terorisme sungguh tidak berdasar, jauh dari fakta dan ahistoris.
Ketiga, stigmatisasi bahwa ajaran khilafah adalah sistem politik barbar, kejam dan berdarah-darah. Stigma ini sengaja mereka hembuskan untuk menciptakan monsterisasi khilafah. Dengan itu publik menjadi takut dan kemudian menolak Khilafah. Untuk menguatkan monsterisasinya, mereka mengaitkan Khilafah dengan ISIS. ISIS mereka gambarkan sebagai khilafah dan khilafah adalah ISIS. Dengan sepak terjang ISIS yang kontroversial, bengis dan kejam, mereka berharap publik menyimpulkan bahwa itulah Khilafah. Lagi-lagi, upaya pengaitan khilafah sebagai sistem politik yang barbar, kejam dan seringkali menumpahkan darah dengan mengangkat ISIS sebagai representasi khilafah, pasti akan mengalami kegagalan. Selain sepak terjangnya jauh dari syariah Islam, ISIS sudah terlanjur dikenal sebagai boneka Barat. Bahkan publik semakin meyakini karena ISIS tidak pernah memiliki agenda apalagi langkah konkret menyerang Israel dan Amerika. Amerika dan Isarel pun tidak pernah mengusik dan memerangi secara sungguh-sungguh keberadaan ISIS. Karena itu wajar jika banyak pihak yang meyakini bahwa ISIS sengaja dibuat untuk menghalangi tegaknya Khilafah yang sesungguhnya.
Khilafah (baca: Islam) memang memiliki konsep penaklukan wilayah (futûhât) dan jihad. Namun, keduanya jauh berbeda dengan penjajahan ala Barat. Futûhât dan jihad di dalam Islam telah memberikan berbagai kebaikan kepada umat manusia. Penerapan aturan Islam yang adil kepada masyarakat yang ditaklukkan membuat mereka (yang ditaklukkan) tidak pernah merasa berbeda dengan yang menaklukkan mereka. Pasalnya, Khilafah Islam memberikan jaminan kebutuhan pokok, kesejahteraan dan keamanan yang sama bagi seluruh warganya; tanpa melihat apakah dia merupakan rakyat yang ditaklukkan atau tidak. Mereka sama-sama hidup sejahtera di bawah naungan Islam.
Pada umumnya, rakyat yang negerinya ditaklukkan oleh Islam pun tidak menganggap Islam sebagai penjajah. Sebaliknya, yang terjadi, mereka menyatu dengan pemeluk Islam lainnya dan bahkan menjadi pembela Islam. Tidak pernah didengar rakyat Mesir, Suriah, Libya, atau Bosnia menganggap Islam sebagai penjajah. Bahkan negeri-negeri itu dipenuhi dengan para pejuang Islam yang membela agamanya. Kalau Islam dianggap penjajah, barbar, menumpahkan darah, bagaimana mungkin mereka membela dan memperjuangkannnya?
T.W. Arnold menuturkan bagaimana ketika Konstantinopel yang merupakan pusat Kristen Ortodox ditaklukkan oleh Sultan Muhammad II: “Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan atas kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian Pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil,” (The Preaching of Islam).
Khatimah
Walhasil, berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada Khilafah dan para pejuangnya lebih merupakan fitnah keji yang tidak ada faktanya. Keunggulan konsep Islam serta keagungan peradaban Islam yang telah berlangsung berabad lamanya, adalah jawaban yang paling otentik bagi pihak yang memiliki kedengkian terhadap ajaran Islam. [Luthfi Afandi; Direktur Pusat Kajian Islam Kaffah]