Hadis Pilihan

Hilangnya Hak Kepemilikan Tanah

قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَنْ أَحْيَا أَرْض اً مَيْتَة فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ

Umar bin al-Khaththab ra. Berkata, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya dan orang yang memagari tidak memiliki hak setelah tiga tahun.” (HR Abu Yusuf).

 

Ucapan Umar bin al-Khaththab ra. Di atas diriwayatkan oleh Abu Yusuf di dalam kitabnya, Al-Kharâj. Abu Yusuf berkata: “Telah menceritakan kepada kami al-Hasan bin Umarah dari az-Zuhri, dari Said bin al-Musayyib, yang berkata: Umar berkata: (dengan matan riwayat di atas).

Ibnu Hajar al-‘Ashqalani mengomentari riwayat ini di dalam Ad-Dirâyah fi Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah (II/243, Dar al-Ma’rifah, Beirut): sanadnya wâhin /tidak valid.  Az-Zayla’i di dalam kitabnya Nashb ar-Râyah (IV/290, Dar al-Hadits, Kairo. 1357) mengomentari bahwa dalam sanadnya terdapat al-Hasan bin ‘Umarah dan ia dha’if, dan Said dari Umar fîhi kalâm (di situ ada persoalan).

Hanya saja ada beberapa riwayat yang sama dari Umar yang menguatkan riwayat tersebut. Humaid bin Zanjawaih an-Nasa’i dalam kitabnya, Al-Amwâl meriwayatkan dari jalan Amru bin Syuaib bahwa Nabi saw. pernah memberikan tanah kepada orang-orang dari Juhainah. Lalu mereka membiarkan dan menelantarkan tanah tersebut. Kemudian datang kaum yang lain dan menghidupkan itu.  Orang-orang Juhainah mengadukan hal itu kepada Umar bin al-Khaththab. Umar berkata: “Andai itu dari pemberianku atau dari Abu Bakar maka aku tidak akan ragu, tetapi itu adalah pemberian Rasulullah saw.” Umar lalu berkata:

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ، فَعَطَّلَهَا ثَلَاثَ سِنِينَ، لَا يُعَمِّرُهَا، فَعَمَّرَهَا غَيْرُهُ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Siapa saja yang memiliki tanah lalu ia telantarkan tiga tahun, tidak ia kelola, lalu orang lain mengelola tanah itu, maka orang lain itu lebih berhak atas tanah tersebut.

 

Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Ad-Dirâyah fi Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah (II/243) berkomentar: riwayat ini mursal, para perawinya tsiqah.

Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Sunan al-Kubrâ hadis no. 11.601 dari Amru bin Syu’aib berkata:

أَنَّ عُمَرً جَعَلَ التَّحَجُّرَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ فَإِنْ تَرَكَهَا حَتَّى يَمْضِيْ ثَلاَثًا سِنِيْنَ فَأَحْيَاهَا غَيْرهُ فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا

Umar menjadikan pemagaran tanah itu selama tiga tahun. Jika orang itu membiarkan tanah tersebut hingga berlalu selama tiga tahun, lalu orang lain menghidupkannya, maka orang lain itu lebih berhak atas tanah itu.

 

Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan di dalam Sunan al-Kubrâ hadits no. 11.605 dari Abdullah bin Abu Bakar bahwa Umar bin al-Khathab berkata kepada Bilal bin Harits al-Muzni: “… Lihatlah, apa yang kamu mampu garap atas tanah itu maka pertahankan, dan yang sanggup kamu garap, serahkan kepada kami. Akan kami bagi di antara kaum Muslim.” Bilal berkata, “Aku tidak mau melakukan, demi Allah, sesuatu yang diberikan Rasulullah kepadaku.” Umar berkata, “Demi Allah, sungguh kamu harus melakukannya.” Lalu Umar mengambil apa yang tidak mampu dimakmurkan oleh Bilal dan Umar membagikan tanah itu di antara kaum Muslim.

Riwayat-riwayat di atas saling menguatkan sehingga bisa dijadikan hujjah. Selain itu para fukaha juga menjadikan riwayat-riwayat di atas sebagai hujjah.

Hanya saja yang menjadi dalil bukan ucapan atau perbuatan Umar. Hukum yang terkandung dalam ucapan dan perbuatan Umar itu telah menjadi Ijmak Sahabat. Sebab, ucapan dan perbuatan Umar itu didengar dan diketahui oleh para Sahabat dan tidak mereka ingkari sehingga menjadi Ijmak Sahabat. Ali Haydar Khawajah Amin Afandi dalam bukunya, Durar al-Hukâm fî Syarhi Majallati al-Ahkâm, setelah menyebutkan ucapan Umar di atas, ia menyatakan, “Sungguh umat telah berijmak atas yang demikian.” Ijmak Sahabat inilah yang menjadi dalil.

Hukum yang menjadi Ijmak Sahahabat itu bisa dipahami dari ucapan dan perbuatan Umar ra. Agar bisa dipahami, ucapan Umar ra. itu dari sisi dalâlah-nya harus dikaji sebagaimana hadis. Hal itu karena Umar ra. menyebut hukum dengan pernyataan. Umar adalah seorang ahli bahasa.  Supaya bisa dipahami hukum yang digali dari ucapan Umar ra. itu maka ucapannya itu harus dikaji sesuai dengan dalâlah lafal menurut bahasa sebagaimana hadis.  Jika tidak maka bagaimana bisa dipahami hukum yang diambil dari ucapan Umar ra. itu?

Jika dikaji lebih dalam, ucapan Umar itu terjadi pada bab peringkasan dengan menghilangkan bagian kalimat.  Uslûb itu dikenal di dalam fikih bahasa.  Seakan Umar lengkapnya berkata:

مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لَهُ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ، وَمَنْ اِحْتَجَرَ أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi dia setelah tiga tahun. Siapa saja yang memagari tanah mati maka tanah itu miliknya dan tidak ada hak bagi dia setelah tiga tahun.

 

Umar menyebutkan bagian awal hukum pertama, “man ah…”, dan menyembunyikan bagian akhir hukum yang pertama, “wa laysa lahu haqqun ba’da tsalâtsa sinîna (ia tidak memiliki hak setelah tiga tahun)”. Lalu Umar menyembunyikan bagian awal hukum kedua, “wa man ihtajara ardhan…(siapa saja yang memagari tanah)…”, dan menyebutkan bagian akhir, “wa laysa li muhtajirin haqqun (dan tidak ada hak bagi orang yang memagari…”.

Dari situ bisa dipahami bahwa menghidupkan dan memagari tanah mati sama-sama menjadi sebab kepemilikan atas tanah tersebut.  Demikian juga keduanya sama dalam hal pencabutan kepemilikan setelah ditelantarkan tiga tahun. Kesimpulan ini juga diperkuat dengan riwayat terkait kasus orang-orang Juhainah dan kasus Bilal bin Harits al-Muzni di atas.

Hukum hilangnya kepemilikan atas tanah setelah ditelantarkan tiga tahun itu tidak hanya atas tanah yang dimiliki melalui aktivitas menghidupkan atau memagari tanah mati saja, tetapi juga berlaku atas tanah yang dimiliki dengan cara legal apapun. Tanah yang ditelantarkan tiga tahun berturut-turut itu tidak lantas berubah menjadi tanah mati. Setelah ditelantarkan tiga tahun berturut-turut, kepemilikan atasnya hilang atau lepas dari pemiliknya. Khalifah/Imam dapat mengambil dan membagikan tanah itu kepada rakyat menurut ijtihad dan pendapatnya.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × 5 =

Check Also
Close
Back to top button