KH Yasin Muthahhar: Wajib Meneladani Kepemimpinan Rasulullah saw.
Pengantar Redaksi:
Peringatan Maulid Nabi saw. setiap tahun diperingati. Di dalamnya kita diingatkan kembali tentang pentingnya meneladani Rasulullah saw. Sayang, ajakan untuk meneladani Rasul saw. sering bersifat parsial. Kadang hanya fokus pada aspek akhlak pribadi beliau saja. Padahal jelas, Rasulullah saw. wajib diteladani dalam semua aspeknya. Tak terkecuali dalam aspek kepemimpinan atau pemerintahan.
Inilah yang antara lain dijelaskan oleh KH Yasin Muthahhar dalam wawancara dengan Redaksi kali ini. Berikut hasil wawancaranya.
Kiai, apa sebetulnya urgensi memperingati Maulid Rasul saw.?
Memperingati Maulid Nabi saw. sangatlah urgen dalam kehidupan kita sebagai umat Islam. Terutama di saat umat ini terpuruk sebagai akibat mereka jauh dari petunjuk syariah yang dibawa oleh Nabi saw. dan keteladanan beliau.
Kita harus belajar kepada Sultan Salahuddin al-Ayyubi saat menyelenggarakan Peringatan Maulid Nabi saw.
Saat itu umat Islam yang secara eksternal mendapatkan serangan dan permusuhan dari musuh-musuhnya. Secara internal mereka amat rapuh karena jauh dari cahaya risalah kenabian, Karena itulah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi mencetuskan ide Peringatan Hari Kelahiran Nabi saw.
Peringatan ini beliau jadikan sebagai wasilah untuk mengobarkan kembali kecintaan pada agama, meneriakkan kebenaran Ilahi yang tampak senyap, menyulut api spritualitas yang sempat meredup sekaligus merajut kembali secara rapi tali ukhuwah yang kusut dan bercerai berai. Caranya dengan mengingat kembali keteladanan yang dicontohkan Rasululullah saw. dalam berbagai aspek kehidupan.
Hasilnya sungguh luar biasa. Semangat jihad kembali berkobar. Api spritualitas kembali menyala terang. Ukhuwah kembali terjalin. Umat Islam yang diambang kehancuran berbalik arah ditaburi kemenangan.
Melalui momen Peringatan Maulid yang berhasil menggelorakan kembali semangat pantang hina umat Islam, pasukan Shalahudin al-Ayyubi berhasil memukul mundur tentara gabungan pasukan salib dari Eropa. Mereka sukses merebut kembali Palestina dan Masjidil Aqsha dari genggaman para penjajah.
Jadi apa makna terpenting dari Maulid Nabi saw.?
Menurut Al-Faqir, makna terpenting dari Peringatan Maulid Nabi saw. adalah meneladani beliau. Meneladani beliau adalah bukti kita mencintai Allah SWT. Mencintai Allah SWT adalah bagian dari keimanan. Karena itu tanpa tekad untuk meneladani beliau dalam seluruh gerak langkahnya, peringatan-peringatan itu akan menjadi hampa. Kurang makna. Di dalam al-Quran Allah berfirman: Kul in kuntum tuhibbûnalLâh fattabi’ûnî. Artinya: Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku.
Terkait dengan ayat ini Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya: Ayat yang mulia ini menghukumi setiap orang yang mengklaim cinta kepada Allah, tetapi tidak berada di atas syariah Muhammad, sebagai orang yang berdusta dalam pengakuannya, hingga dia mengikuti syariah Nabi Muhammad dan agamanya dalam seluruh perkataan dan perbuatannya.
Lalu benarkah Muhammad saw., selain nabi dan rasul, juga merupakan kepala negara?
Benar sekali.
Apa dalil hukumnya?
Pertama: Di dalam al-Quran terdapat perintah kepada Nabi saw. untuk menghukumi manusia dengan hukum Allah (Lihat: QS al-Maidah [5]: 49), perintah untuk berlaku adil (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 58) dan perintah untuk menaati beliau (QS an-Nisa’ [4]: 59 & 63). Semua itu menunjukkan bahwa Muhammad saw. bukan hanya nabi atau rasul yang tugasnya hanya menyerukan syariah kepada umat manusia. Pada saat yang sama beliau adalah pelaksana dan penerap syariah itu sendiri. Beliau adalah kepala pemerintahan yang harus ditaati segala keputusan-keputusannya.
Kedua: Sunnah Fi’liyyah beliau saat berada di Madinah. Ketika di Madinah beliau bukan lagi sekadar menjadi nabi dan rasul. Beliau juga kepala negara. Buktinya beliau menetapkan undang-undang (Piagam Madinah) di negeri Madinah yang baru beliau bangun. Beliau melakukan ikatan perjanjian dengan komunitas yang bertentangan dengan negara Madinah saat itu. Beliau mengirim utusan dan surat-surat kepada negeri tetangga. Beliau pun membentuk angkatan bersenjata, mengangkat para kepala daerah, mengangkat para qâdhi dan aparatur negara. Semua orang yang membaca sirah beliau yang agung pasti akan berkesimpulan bahwa beliau adalah kepala negara, bukan sekadar nabi dan rasul.
Ketiga: Adanya Ijmak Sahabat setelah beliau wafat untuk segera meneruskan kepemimpinan beliau sebagai kepala negara, bukan sebagai nabi dan rasul. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama mu’tabar semisal Ibnu Hajar al-Haitami dalam ash-Shawâ’iq al-Muhriqah: I’lam aydh[an] anna ash-Shahâbata ridhwânulLâh Ta’âla ‘alayhim ajma’în ajma’û ‘ala anna nashba al-imâm ba’da inqirâdh zaman an-nubuwwah wâjib[un] bal ja’alûhu ahamm al-wâjibât. Artinya: Ketahuilah bahwa para sahabat ra. semuanya telah bersepakat bahwa mengangkat seprang imam setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib. Bahkan mereka telah menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban terpenting dalam agama.
Jika demikian, dengan apa Rasulullah saw. menjalankan roda pemerintahannya?
Ketika kita meyakini bahwa Rasulullah saw. adalah seorang kepala negara, maka kita juga harus meyakini bahwa beliau telah memberikan contoh bagaimana menjalankan negara yang beliau kelola. Pasalnya, tidak mungkin sebuah pemerintahan berjalan kecuali dengan sistem yang dijalankan. Rasulullah saw. menjalankan pemerintahannya tentu dengan sistem yang khas dan unik yang bersumber dari wahyu. Inilah yang membedakan karakter pemerintahan yang dibangun oleh beliau dengan pemerinta-han lainnya.
Wajibkah kita meneladani Rasul saw. dalam konteks kepemimpinan beliau sebagai kepala negara?
Tentu saja. Meneladani Rasulullah saw. dalam seluruh perbuatannya hukumnya wajib, termasuk dalam menjalankan pemerintahan, kecuali dalam hal yang memang dikhususkan untuk beliau. Allah SWT berfirman dalam QS al-Ahzab ayat 21: Laqad kâna lakum fî RasulilLâhi uswat[un] hasanah. Artinya: Sungguh pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian. Kata uswat[un] hasanah dalam ayat ini berupa ism nakirah. Bersifat umum. Artinya, kita harus menjadikan Rasulullah sebagai uswat[un] hasanah dalam segala hal.
Jika demikian, apakah Rasulullah mewariskan sebuah sistem pemerintahan kepada umatnya? Ataukah umatnya diberi kebebasan untuk memilih atau menciptakan model pemerintahan sesuai keinginannya sendiri?
Ya. Rasulullah saw. telah meninggalkan tiga pusaka untuk kita semua sebagai umatnya. Pertama: Al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber segala hukum. Kedua: Para ulama sebagai penerus perjuangannya dalam menyampaikan risalah. Ketiga: Para khalifah sebagai penerus kempemimpanan beliau.
Terkait dengan peninggalan beliau yang ketiga ini, beliau bersabda: Kânat Banû Isrâ’îl tasûsuhum al-anbiyâ’. Kullamâ halaka nabiyy[un] halaka nabiyu[un] wa innahu lâ nabiyya ba’dî wa sayakûnu khulafâ’ fa yaktsurûn.
Hadis ini menyatakan bahwa kepemimpi-nan setelah Rasulullah saw. akan dipegang oleh para khalifah. Hadis ini juga mengandung makna bahwa sistem pemerintahan setelah beliau adalah sistem Khilafah. Bukan sistem yang lain.
Sistem Khilafah itu dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah beliau secara turun-menurun. Alhasil, umat Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak pernah menerapkan sistem pemerintahan yang lain selain sistem Khilafah, kecuali setelah sistem khilafah ini diruntuhkan dari permukaan bumi pada tahun 1924 M hingga sekarang ini.
Jika Rasulullah saw. telah memberikan contoh kepada kita tentang praktik kepemimpinan, tentang praktik menjalankan pemerintahan dengan segala seluk-beluknya, pantaskah kita sebagai umatnya yang mengaku mengiman beliau mengambil sistem lain yang tidak beliau contohkan? Tentu sangat tidak pantas. Kalau ada sisitem yang baik, mengapa mengambil sistem yang buruk? Kalau ada sistem yang berasakan wahyu, mengapa mengambil sistem yang bersumber dari hawa nafsu? Kalau ada sistem yang telah dijalankan oleh Rasulullah saw. yang maksum, mengapa mengambil sistem lain yang berasal dari manusia yang tidak maksum?
Adakah jaminan dari nas bahwa sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Rasulullah saw. akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia?
Semua yang dibawa oleh Rasulullah saw pasti akan membawa kemaslahatan, kebaikan, menyejaterakan dan membahagiakan. Ini bukan pernyataan manusia. Ini adalah jaminan wahyu ilahi. Banyak nas yang menyatakan tentang hal ini. Intinya, di mana saja syariah Allah dijalankan, termasuk syariah tentang pemerintahan, pasti di sana akan terwujud kemaslahatan. Haytsumâ yakûnu asy-syar’u takûnu al-maslahah.
Allah SWT, misalnya, berfirman: Wa anna law istaqâmû ‘ala ath-tharîqah la’asqaynâkum mâ’[an] gadq[an] . Artinya: Sungguh jika mereka istiqamah (lurus) di atas tharîqah (syariah/jalan hidup yang Allah tetapkan) pasti Kami akan memberi mereka minum dengan air yang menyegarkan.
Ungkapan “pasti kami akan memberi mereka minum dengan air yang menyegarkan” bermakna: la’awsa’ahum fî ar-rizqi. Artinya: Allah pasti akan meluaskan rezeki kepada mereka.
Allah SWT juga berfirman: Fal yahdza allâdzîna yukhâlifûn ‘an amrihi an tushîbahum fitnah aw ‘adzâb[un] alîm. Artinya: Orang-orang yang menyalahi perintahnya hendaklah takut akan ditimpa fitnah atau siksa yang pedih (QS an-Nur [24]: 63).
Ayat ini berisi peringatan bagi orang yang menyalahi perintah Rasulullah saw., bahwa mereka akan mengalami kesulitan dalam hidupnya, di dunia atau di akhirat. Mafhûm mukhâlafah-nya: Jika kita mengikuti dan meneladani Rasulullah saw. pasti akan mendapat kebaikan dunia-akhirat.
Pantas jika Sayyidina Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata: Nahnu qawm[un] a’azzanâlLâhu bi al-Islâm. Fa in ibtaghaynâ al-‘izzata bi ghayrihi adzdzalanâlLâh. Artinya: Kita adalah satu kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, pasti Allah akan menghinakan kita.
Sungguh ini ungkapan yang sangat luar biasa. Ungkapan ini lahir dari keyakinan bahwa syariah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. akan membawa kemuliaan. Sebaliknya, menyimpang dari syariahnya akan menngakibatkan kehinaan.
Sejarah peradaban Islam menjadi bukti nyata akan hal ini. Selama Khilafah Islamiyah menaungi dunia dengan keagungan Islam maka dunia merasakan keadilan, kesejahteraan, kemajuan dan keluhuran.
Apakah mungkin kepemimpinan warisan Rasulullah saw. tersebut bisa kembali terwujud dalam kehidupan kaum Muslim saat ini ?
Sangat mungkin. Bahkan pasti akan terwujud. Sebabnya, ini adalah janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah saw.
Firman Allah tentang istikhlâf dalam QS an-Nur ayat 55 rasanya sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Begitu juga dengan sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Imam Ahmad, tentang fase-fase kepemimpinan umat Islam sudah kita hapal. Di akhir hadis itu Rasulullah menjelaskan tentang fase akhir kepemimpinan umat Islam adalah Khilafah ‘ala minhâj an-Nubuwwah.
Saat ini kita menyaksikan bahwa opini tentang Khilafah digaungkan di mana-mana. Suara-suara lantang yang meneriakan tegaknya Khilafah susul- menyusul. Sulit rasanya kebangkitan Khilafah itu untuk dibendung. Kekuatan apapun tidak akan bisa membendungnya. Upaya membendungnya sama saja dengan menghalangi rencana Allah untuk umat ini.
Lalu apa yang perlu kita lakukan saat ini?
Salah satu makna penting dari peringatan Maulid Nabi saw. adalah meneladani beliau dalam seluruh aspeknya. Salah satunya dengan meneruskan kembali kepemimpinan yang telah diwariskan oleh Rasulullah saw. Apalagi Rasulullah saw. telah Allah jadikan sebagai model pemimpin yang ideal. Kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan ideal. Pemerinta-han yang telah dipraktekan dalam kehidupan Rasulullah saw. adalah pemerintahan terbaik.
Saat ini umat tengah mengalami krisis kepemimpinan. Karena itu sudah tiba saatnya kita berjuang untuk mewujudkan kepemimpinan Rasulullah saw dalam kehidupan kaum Muslim saat ini. Hanya dengan itulah umat yang sedang mengalami kirisis dan terpuruk akan bisa kembali bangkit dan bersatu-padu menjadi kekuatan besar untuk memimpin dunia. []