Kekuatan Kolonial di Balik Perjanjian Pembagian Kekuasaan
Pada hari Ahad, 5 Agustus 2018, faksi-faksi oposisi di Sudan Selatan telah bergabung dengan perjanjian pembagian kekuasaan dan tingkat pemerintahan, pada saat-saat terakhir. Perjanjian ini ditandatangani oleh Salva Kiir dari pihak Pemerintah Sudan Selatan, Riek Machar dari pihak oposisi Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM), sementara Deng Alor mewakili kelompok tahanan politik, Gabriel Johnson mewakili Aliansi (SAWA), Joseph Okello mewakili sejumlah partai dan kekuatan politik lainnya, Francis Deng mewakili tokoh-tokoh nasional, Muhammad Marjan mewakili tokoh-tokoh agama, dan beberapa perwakilan dari organisasi masyarakat sipil di Sudan Selatan.
Menurut aktivis Hizbut Tahrir Muhammad Jami’, perjanjian ini dibuat setelah tekanan kuat yang diberikan kepada para negosiator. Perjanjian itu berulang ditunda setelah pengumuman tanggal penandatanganan beberapa kali. Hal itu terungkap dalam pernyataan para negosiator di media lokal Sudan.
Surat kabar Sudan Tribune, pada Selasa (7/8/2018), melaporkan bahwa Front Keselamatan Nasional, yang merupakan bagian dari aliansi oposisi di Sudan Selatan, menuduh mediasi Sudan mengintimidasi pihak oposisi agar menanda-tangani perjanjian. Dalam pernyataan yang dipublikasikan pada hari Senin, ada keterangan tambahan terkait penandatanganan pemimpin gerakan, Thomas Cirillo Swaka, “Pimpinan Front Keselamatan Nasional mengakui bahwa beberapa anggotanya telah diancam dan mendapat tekanan untuk menandatangani perjanjian terkait isu-isu yang luar biasa tentang pemerintahan.”
“Perlu dicatat bahwa para negosiator melakukan di Akademi Keamanan Tinggi di pinggiran Soba wilayah timur Khartoum. Ini menegaskan bahwa ada tangan-tangan tersembunyi yang ikut campur dalam menekan para negosiator, bahkan hingga dalam mengamandemen pasal-pasal perjanjian,” ungkap Muhammad Jami’ seperti dilansir alraiah.net, Rabu (22/08/2018).
Menteri Penerangan Sudan Selatan Michael Makue Loweth mengatakan pada Senin (09/08/2018) bahwa mediasi Sudan telah mengamandemen apa yang telah disepakati dan membuat proposal baru yang belum pernah dibahas sebelumnya. Pada hari Kamis (19/07), dia mengulangi kritik tajamnya terhadap Menteri Luar Negeri Sudan Aldirdiri, dengan mengatakan “Sebagai orang yang tidak memiliki kepercayaan diri”. Dia menambahkan, “Kemarin lusa, ia membawa proposal lain, dan mengumumkan semua pihak telah sepakat. Padahal sudah jelas bahwa semua pihak belum sepakat. Jadi, dia adalah orang yang menyesatkan komunitas internasional, kawasan, bahkan kepala negara dan pemerintah IGAD (Otoritas Pembangunan Antarpemerintah).”
“Semua tahu bahwa bukan Aldirdiri dan bukan pula Bashir yang memegang kendali urusan ini, sebab perjanjian tersebut didukung dan disponsori oleh kekuatan kolonial (Amerika dan Inggris) yang menyambut baik perjanjian ini melalui Duta Besar Amerika di Khartoum Steven Koutsis, serta Duta Besar Inggris di Khartoum Irfan Siddique,” tegas Muhammad Jami’.
Dengan perjanjian yang dipaksakan kolonial ini, menurut Muhammad Jami’, Sudan Selatan tidak akan pernah stabil, bahkan tidak pula dengan negara Sudan Utara, kecuali solusi itu dibuat sesuai dengan landasan ideologi, bukan perintah dan intruksi kaum kafir Barat kolonial.
“Sungguh akidah (ideologi) Islam ini dan hukum-hukum yang lahir darinya akan terlaksana dalam negara Khilafah, yang mengumpulkan umat manusia dari berbagai latar belakangnya, dan menyatukan di antara mereka agar menjadi saudara di bawah naungan Islam, yang kemudian mereka akan diurusi dan dilayani dengan sebaik-baiknya,” pungkasnya. [Joko Prasetyo, dari berbagai sumber]