Ibrah

Hakikat Dunia

Hidup manusia tidaklah lama. Tak akan selamanya. Dunia ini pun sementara. Nikmat dunia, dibandingkan dengan nikmat surga di Akhirat, juga tak seberapa. Hakikat dunia dan kehidupan semacam ini sejatinya sudah disadari oleh setiap Muslim.

Namun demikian, kebanyakan Muslim acap lupa. Buktinya, tetap saja kebanyakan mereka menghabiskan sebagian besar waktu dan umurnya untuk terus mengejar dunia. Seraya melupakan bekal untuk Akhirat. Padahal Allah SWT telah mengingatkan (yang artinya): Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan perhatikanlah oleh kalian, bekal apa yang telah kalian persiapkan untuk Hari Esok (Hari Akhirat) (TQS al-Hasyr [59]: 18).

Allah SWT pun tegas menyatakan (yang artinya): Sungguh Akhirat (surga) itu jauh lebih baik bagi kamu daripada dunia (TQS [93]: 4).

Karena itu sungguh aneh jika banyak orang melupakan urusan akhiratnya karena terlalu disibukkan dengan urusan dunianya. Terkait itu Abu Ja’far bertutur bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sungguh benar-benar aneh orang yang mengaku membenarkan (meyakini) adanya ‘negeri keabadian’ (akhirat), tetapi dia sendiri lebih banyak berusaha (beramal) untuk ‘negeri penuh tipuan’ (dunia).” (Dinukil oleh Ibnu Abi ad-Dunya’ dalam Kitab Az-Zuhd, 1/16).

Mereka seolah lebih mencintai dunia daripada Akhirat (surga). Padahal al-Hasan ra. bertutur bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal dari segala kesalahan (dosa).” (Dinukil oleh Ibnu Abi ad-Dunya’ dalam Kitab Az-Zuhd, 1/10).

Faktanya, akibat terlalu cinta dunia, banyak orang tersesat jalan. Mengejar harta tak peduli halal-haram. Inilah yang diingatkan oleh Rasulullah saw.: “Akan datang suatu zaman kepada manusia, saat itu seorang hamba tidak peduli memperoleh harta, apakah dengan cara yang halal atau haram.” (Ibnu Abi ad-Dunya’, Ishlâh al-Mâl, 1/29).

Terkait itu, Malik bin Dinar ra. bertutur bahwa orang-orang pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib ra., “Gambarkanlah kepada kami hakikat dunia ini?” Ali ra. balik bertanya, “Gambaran yang panjang lebar atau yang singkat?” Mereka menjawab, “Yang singkat saja.” Ali ra. kemudian menjelaskan, “Dunia itu yang halalnya bakal dihisab dan yang haramnya bakal mengundang azab neraka.” (Dinukil oleh Ibnu Abi ad-Dunya’ dalam Kitab Az-Zuhd, 1/8).

Jelas, tak ada kebaikan sedikitpun pada diri seorang Muslim yang sepanjang hidupnya tersibukkan oleh urusan dunia seraya melupakan urusan akhirat. Apalagi dunia ini di mata Allah sesungguhnya tidak ada harganya sedikit pun di bandingkan dengan surga-Nya. Dalam hal ini, Sahal bin Said ra. bertutur bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, andai dunia ini di mata Allah sebanding harganya dengan harga sayap seekor nyamuk (lalat) saja, niscaya tidak  seorang kafir pun  akan diberi minum barang seteguk pun dari air di dunia ini.” (Dinukil oleh Ibnu Abi ad-Dunya’ dalam Kitab Az-Zuhd, 1/2).

Itulah hakikat dunia. Sudah begitu, nikmat dunia pun sesungguhnya semu, bahkan palsu. Tentang ini, Yunus bin Ubaid rahimahulLâh berkata: “Tidaklah dunia ini kecuali seperti seseorang yang tidur, lalu ia bermimpi dalam tidurnya hal-hal yang dia benci atau hal-hal yang dia sukai. Saat bermimpi demikian, tiba-tiba dia terjaga.” (Dinukil oleh Ibnu Abi ad-Dunya’ dalam Kitab Az-Zuhd, 1/22).

Karena memahami hakikat dunia yang fana dan penuh kepalsuan seperti itulah, di dalam Kitab Syu’ab al-Iman, Imam al-Baihaqi menuturkan riwayat dari Adh-Dhahak bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah melewati seekor burung yang sedang hinggap di suatu pohon. Beliau lalu berkata, “Berbahagialah engkau, wahai burung. Engkau terbang, lalu hinggap di pohon, kemudian makan buahnya dan selanjutnya engkau terbang lagi; sementara engkau tidak akan dihisab dan diazab oleh Allah SWT. Duhai, andai saja aku seperti dirimu…”

*****

Urusan dunia yang paling banyak menyibukkan seorang Muslim adalah mengejar harta. Terkait harta, Rasulullah saw. bersabda: “Harta itu sesuatu yang manis dan lezat. Siapa saja yang mengusahakan harta dengan cara yang benar (halal), dia akan diberkahi. Akan tetapi, banyak sekali orang  yang mengejar harta Allah dan Rasul-Nya sesuai kehendak hawa nafsunya, dia tidak mendapatkan apapun selain api neraka pada Hari Kiamat kelak.” (Ibnu Abi ad-Dunya’, Ishlâh al-Mâl, (1/4).

Tentang harta pula Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik harta yang baik adalah harta yang ada pada orang yang shalih.” (Ibnu Abi ad-Dunya’, Ishlâh al-Mâl, 1/45).

*****

Pertanyaannya: Bagaimana agar kita tidak tersibukkan oleh urusan dunia? Apalagi sampai diperbudak oleh dunia? Tidak lain dengan menjadikan al-Quran sebagai ‘imam’ dan pembimbing kita. Saat al-Quran menjadi ‘imam’ dan pembimbing kita, dunia akan menjadi sesuatu yang kecil di hadapan kita. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Abu Ishaq al-Qirwani: “Betapa remehnya dunia bagi siapa saja yang menjadikan al-Quran sebagai imamnya dan bayangan kematian selalu terbayang di hadapannya. Sungguh berbahagia siapa saja yang menjadikan al-Quran cahaya kalbunya dan pembuka akal-pikirannya.” (Al-Qirwani, Zahr al-Adâb wa Tsamr al-Albâb, hlm. 142).

Selain itu, memiliki teman-teman terbaik sangatlah penting bagi kita. Siapa teman terbaik? Ibnu ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Maukah aku beritahu kalian teman terbaik kalian? Yaitu siapa saja yang pandangannya senantiasa mengingatkan kalian kepada Allah, yang pembicaraannya senantiasa menambah ilmu kalian dan yang amalannya senantiasa mengingatkan kalian pada akhirat.” (Dinukil oleh Ibnu Abi ad-Dunya’ dalam Kitab Al-Awliyâ’, 1/36).

Ya, teman terbaik bukanlah yang membantu urusan keduniaan kita, atau membantu kita sukses meraih banyak harta. Teman sejati justru yang membantu kita makin bertakwa; makin membuat kita rindu Akhirat (surga) sekaligus membuat kita lepas dari diperbudak oleh dunia. Dengan kata lain, teman sejati kita adalah orang yang senantiasa membantu kita selalu ingat kepada Allah. Teman seperti inilah yang disebut wali Allah. Sebagaimana dituturkan oleh Said bin Jubair ra. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang disebut sebagai wali Allah itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang jika menyampaikan pandangan, pandangannya senantiasa mengingatkan kepada Allah.” (Dinukil oleh Ibnu Abi ad-Dunya’ dalam Kitab Al-Awliyâ’, 1/39).

Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + 18 =

Check Also
Close
Back to top button