Benarkah Khilafah Tidak Wajib Karena tidak ada dalam Al-Quran?
Soal:
Ada empat poin pertanyaan terkait dengan pernyataan Grand Syaikh al-Azhar dalam Konferensi Internasional di Kairo, 27 Januari 2020 kemarin. Dua di antaranya, yaitu: Pertama, tidak ada dalam nas al-Quran maupun as-Sunnah teks yang memaksa harus menggunakan sistem tertentu. Kedua, negara dalam Islam bisa merupakan nation state atau negara demokratis yang menggunakan konstitusi modern. Tidak harus Khilafah.
Benarkah demikian?
Jawab:
Pertama: Benarkah tidak ada dalam nas al-Quran maupun as-Sunnah teks yang memaksa harus menggunakan sistem tertentu?
Jawabannya, jelas ada. Allah SWT menitahkan kepada Nabi saw., yang juga merupakan titah kepada umatnya:
وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَٱعۡلَمۡ أَنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعۡضِ ذُنُوبِهِمۡۗ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلنَّاسِ لَفَٰسِقُونَ ٤٩
Hendaknya kamu [Muhammad] menerapkan hukum [pemerintahan] berdasarkan apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka yang akan memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepada kamu. Jika kalian berpaling [tidak mengikuti titah ini], ketahuilah [Muhammad] sesungguhnya Allah hanya ingin menimpakan musibah kepada mereka karena sebagian dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia itu fasik (QS al-Maidah [5]: 49).
Perintah Allah SWT di dalam ayat ini untuk memerintah berdasarkan apa yang Allah turunkan itu tidak mungkin bisa dilaksanakan, kecuali dengan adanya sistem pemerintahan. Ini merupakan konsekuensi dari Dalalah Iqtidha’.
Karena itu titah Allah SWT kepada Nabi saw. dan para sahabat ini dilaksanakan dengan sempurna, dengan mendirikan Negara Islam di Madinah al-Munawwarah, sejak tahun 1-10 H. Nabi saw. sendiri yang langsung menjadi kepala negara, dan para sahabat sebagai pembantunya. Era ini disebut sendiri oleh Nabi saw., dalam lisannya, sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad, sebagai era Kenabian.
Setelah sepuluh tahun memerintah, dengan hukum Allah SWT, di era Kenabian ini, Nabi saw. wafat. Sebelum wafat, Nabi saw. bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ
Dulu Bani Israil diurus (dipimpin) oleh para nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya setelahku tidak ada seorang nabi pun. Yang akan ada para khalifah. Jumlah mereka banyak (HR Muslim).
Di dalam hadis ini jelas, Nabi saw. melalui lisannya yang mulia itu menyatakan bahwa yang mengurus urusan umat ini, setelah beliau wafat, bukanlah seorang nabi. Pasalnya, tidak ada lagi nabi setelah beliau. Yang akan mengurus umat adalah para khalifah (pengganti Nabi saw. dalam urusan politik).
“Khalifah” adalah orangnya, sedangkan “Khilafah” adalah jabatan dan sistemnya. Karena itu Nabi saw. tidak hanya menyatakan orangnya, tetapi juga jabatan dan sistemnya.
Allah SWT berfirman:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ ٣٠
Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan khalifah di muka bumi.” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Imam al-Qurthubi menggunakan firman di atas untuk menjelaskan tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Sebabnya, sebagaimana penjelasan ahli takwil, ayat ini tidak hanya membahas Adam, tetapi seluruh umat manusia:
Ayat ini merupakan pangkal mengenai pengangkatan seorang imam dan khalifah, yang wajib didengarkan dan ditaati, agar dengannya suara kaum Muslim satu, dan dengannya hukum-hukum Khalifah itu bisa dilaksanakan. Tidak ada perselisihan mengenai kewajiban tersebut di kalangan umat, dan para imam [mazhab], kecuali apa yang diriwayatkan dari al-‘Asham, yang memang tuli tentang syariah. Begitu juga siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya dan mengikuti pandangan serta mazhabnya. 1
Dalam hadis tegas Nabi saw. juga menyatakan:
تَكُوْنُ النُّبُوَّة فِيْكُمْ مَا شَاء اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُم يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاء أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّة فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُم تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، ثُمَّ سَكَت
Ada era Kenabian di tengah kalian, dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhiri era ini jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada era Khilafah mengikuti metode Kenabian, dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhiri era ini jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada era kekuasaan yang menggigit, dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhiri era ini jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada era kekuasaan yang diktator, dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhiriera ini jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada era Khilafah mengikuti metode Kenabian, dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhiri era ini jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian, Nabi pun diam (HR Ahmad).
Dengan jelas, hadis ini menyatakan tentang Khilafah, sebagai jabatan dan sistem pemerintahan, setelah Rasulullah saw.
Karena itu Nabi saw. pun berwasiat:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ هْدِيِّيْنَ، وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Kalian wajib berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah snunah itu dengan gigi gerahammu (HR at-Tirmidzi).
Sistem pemerintahan Nubuwwah yang ditinggalkan oleh Nabi saw. itu, kemudian diwariskan kepada para Sahabat. Nabi menyebutnya dengan sebutan Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, karena yang memerintah bukan Nabi saw., tetapi pengganti beliau. Meski demikian, sistemnya adalah sistem yang sama. Karena itu dinyatakan sendiri oleh Nabi saw. dengan sebutan Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.
Inilah yang menjadi Ijmak Sahabat dan menjadi Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk itu. Karena itu Nabi saw. menitahkan agar kita gigit dengan gigi geraham. Tidak boleh dilepas dan ditinggalkan. Alhasil, hukum mengikutinya adalah wajib.
Dengan demikian, pernyataan Grand Syaikh yang menyatakan bahwa tidak ada satu nas pun dalam al-Quran maupun as-Sunnah yang menyatakan bentuk sistem tertentu jelas keliru, dan tidak mempunyai nilai sedikit pun dalam pandangan syariah.
Kedua: Benarkah negara dalam Islam adalah nation state atau negara demokratis yang menggunakan konstitusi modern?
Jawabannya jelas. Khilafah adalah negara global, bukan nation state. Bukan pula negara demokrasi. Kedaulatannya di tangan syariah. Bukan di tangan rakyat.
Apa buktinya bahwa Khilafah adalah negara global, bukan nation state? Jawabannya: Pertama, dalil syariah baik al-Quran, al-Hadis maupun Ijmak Sahabat.
Dalam al-Quran, dengan tegas Allah menyatakan, umat Islam adalah umat yang satu. Tidak disekat dengan sekat kesukuan, kebangsaan dan sekat-sekat terirorial. Allah SWT berfirman:
إِنَّ هَٰذِهِۦٓ أُمَّتُكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَأَنَا۠ رَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُونِ ٩٢
Sungguh umat kalian ini adalah umat yang yang satu. Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu sembahlah Aku (QS al-Anbiya’ [21]: 92).
Para mufassir memang menafsirkan makna “umat” di dalam ayat ini adalah agama. Maknanya, agama kalian adalah agama yang sama, yaitu tauhid. Namun demikian, baik lafal maupun maknanya bisa digunakan untuk menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang satu. Pasalnya, khithab-nya ditujukan kepada Nabi saw. dan para Sahabat, yang juga berarti seruan kepada kita. Ini dikuatkan dengan firman Allah tentang kewajiban menjaga persatuan dan ukhuwwah di antara sesama umat Islam.
Selain itu Watsiqah Madinah dengan jelas menyebut bahwa umat Islam adalah umat yang satu:
أَنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَة مِنْ دُوْنِ النَّاسِ
Sungguh mereka [Mukmin dan Muslim] itu adalah umat yang yang satu, yang berbeda dengan umat manusia yang lain.2
Untuk mewujudkan dan menjaga persatuan umat Islam ini, Nabi saw. memerintahkan:
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ
Jika telah dibaiat dua khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR Muslim).
Menjelaskan hadis ini, Imam an-Nawawi menyatakan:
Di dalam hadis ini ada perintah untuk memerangi siapa saja yang memisahkan diri dari Imam [Khalifah], atau ingin memecahbelah persatuan kaum Muslim, dan sejenisnya. Dia harus dilarang melakukan tindakan itu. Jika tidak berhenti, dia harus diperangi. Jika keburukannya tidak bisa dihilangkan, kecuali dengan membunuhnya, dia harus dibunuh. 3
Imam an-Nawawi kemudian menukil pendapat ijmak:
Para ulama sepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam satu waktu, baik Darul-Islam [wilayah negara Islam] luas atau tidak. Imam al-Haramain menyatakan, dalam kitabnya, Al-Irsyad, “Para pengikut mazhab kami [Syafii] menyatakan, tidak boleh mengangkat khalifah untuk dua orang.” Beliau berkata, “Menurut saya, memang tidak boleh mengangkat khalifah untuk dua orang di satu wilayah.” Ini merupakan ijmak.4
Berdasarkan nas, baik al-Quran, al-Hadis maupun Ijmak Sahabat, juga penjelasan para ulama di atas, jelas bahwa umat Islam di seluruh dunia wajib mempunyai satu negara. Dipimpin oleh seorang Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin. Sebaliknya, umat Islam haram mempunyai lebih dari satu Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin. Itu artinya, Khilafah dan negara umat Islam bukanlah nation state, tetapi negara global.
Kedua, fakta historis. Negara kaum Muslim adalah negara global. Ini telah dibuktikan oleh sejarah umat Islam sepanjang 14 abad, sejak Nabi saw. memerintah di Madinah hingga Khilafah Islam runtuh di Turki, tanggal 3 Maret 1924 M. Wilayahnya meliputi dua pertiga dunia, tiga benua dan luasnya lebih dari 22 juta km2, atau dua kali lipat wilayah Amerika saat ini. [Bersambung] [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Al-‘Allamah al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 2004 M/1425 H, Juz I/131-132.
2 Lihat, Muhammad Hamidu-Llah, Majmu’ah al-Watsaiq as-Siyasiyyah li al-‘Ahdi an-Nabawi wa al-Khilafah ar-Rasyidah, Dar an-Nafais, Beirut, Cet. VI, 1987 H/1407 H, hal. 59;
3 Lihat, al-Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, t.t, Juz XII/hal. 241-242;
4 Lihat, al-Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, t.t, Juz XII/hal. 232;