Hiwar

Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar: Khilafah Memanusiawikan Manusia

Pengantar:

Secara fikih tidak diragukan lagi menerapkan syariah Islam secara kaffah di alam sistem Khilafah merupakan kewajiban. Dalam tataran praktis, tak kurang dari 1000 tahun kewajiban tersebut dilaksanakan oleh Khilafah. Berdasarkan catatan sejarah, siapa pun dapat membandingkan Khilafah dengan imperium atau peradaban lain dan menilainya. Salah satu penilaian objektif dan impresif disampaikan oleh Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar (Peneliti Utama Bidang Informasi Spasial, Alumnus Vienna University of Technology), saat diwawancarai Redaksi. Berikut petikannya.

 

Dalam peradaban dunia, di mana sebenarnya posisi Khilafah?

Dalam sejarah dunia, tak banyak negara menjadi negara kuat berwilayah luas (minimal atas 10 etnis yang berbeda), pada kurun lama (minimal 10 generasi atau 300 tahunan) serta meninggalkan jejak peradaban yang signifikan, yang terasa hingga kini.

Hingga abad-15 M, hanya tiga negara seperti itu, yaitu: Imperium Romawi, dari Abad-7 SM – 15 M di seluruh Eropa dan Mediterania; lalu imperium Persia dari Abad 10 SM – 8 M dan membentang di wilayah Irak hingga India dan Asia Tengah; kemudian Khilafah (Abad 8-17 M) yang membentang dari tepi Atlantik hingga Nusantara.

Ada beberapa negara besar, misalnya Mesir dan Cina kuno. Mesir kuno bertahan hampir 4000 tahun. Jejak peradabannya luar biasa (piramid dsb), namun luas kekuasaannya hanya di sekitar Nil saja. Demikian juga Cina kuno. Wilayahnya amat luas, namun tidak mencakup etnis seheterogen Romawi, Persia dan Islam. Cina juga berkali-kali dijajah Mongol. Bangsa Mongol ini, meski kekuasaannya pernah dari Polandia sampai Cina, tak meninggalkan peradaban yang berarti, juga tak lebih dari tiga generasi.

 

Sejak abad 15 M atau keruntuhan Romawi, muncul berbagai imperium baru, ya?

Ya, Austria (Habsburg) pernah menguasai sebagian besar Eropa melalui politik perang dan pernikahan. Jejaknya terlihat dari aliran seni arsitektur dan musik. Kemudian Portugis dan Spanyol pernah menguasai banyak wilayah di Amerika Latin, Afrika, India hingga beberapa pulau Nusantara. Sekarang ini bahasa Spanyol masih menjadi salah satu bahasa resmi PBB.

Kemudian mereka digantikan oleh Inggris dan Prancis yang juga jajahannya di mana-mana. Setelah PD II, posisi mereka digantikan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet.

Kini setelah Perang Dingin berakhir, tinggal AS yang aktif sebagai imperium tunggal. Cengkeramannya di seluruh dunia, setidaknya tak langsung melalui badan-badan dunia (PBB, WTO, IMF dan lainnya). Meski AS baru 244 tahun, jejak peradabannya sudah melampaui Romawi. Baru satu dekade terakhir ini AS merasa tertantang oleh kekuatan baru: Tiongkok (RRC).

 

Bagaimana sebuah imperium bisa terbentuk?

Suatu “imperium” terbentuk tidaklah tiba-tiba. Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of Great Powers berteori bahwa faktor ekonomi menjadikan sebuah negara semakin penting. Yang dimaksud adalah sinergi posisi geopolitis, sumberdaya alam, penguasaan teknologi dan kekuatan struktur politiknya. Semua ini bermuara pada ketahanan militernya.

Pertanyaannya, mengapa ada pasang surut? Ada suatu negara masih punya semuanya, namun tak lagi penting di kancah dunia. Contoh, Rusia sebagai pewaris Uni Soviet. Namun, kini Rusia bukan lagi imperium. Bahkan politik ekonominya sudah dikendalikan AS lewat WTO.

 

Jadi apa sesungguhnya yang membentuk imperium?

Alvin Toffler dalam The Future Shock menjelaskan bahwa pengaruh dan kepemimpinan, baik dalam skala kecil maupun skala imperium, timbul oleh tiga hal: Pertama, kekuatan fisik/militer (muscle). Bangsa di bawah pengaruhnya, dikuasai karena terpaksa, takut, atau karena minta perlindungan. Inilah asal imperium Romawi, Persia dan negara kapitalis Abad Pertengahan.

Kedua, kekuatan ekonomi (money). Bangsa di bawah pengaruhnya dikuasai karena diberi kompensasi (utang, investasi, akses sumber daya alam, akses pasar). Inilah Abad-20 dengan Uni Soviet dan AS.

Ketiga, kekuatan pemikiran, termasuk gaya hidup dan teknologi (mind). Bangsa di bawah pengaruhnya, dikuasai karena pemikiran yang diembannya. Pemikiran yang merasuki itulah yang membuat mereka mau dipimpin.

Menurut Toffler, model kepemimpinan ketiga ini yang tertinggi mutunya. Meski beberapa imperium saat ini punya ketiganya, sejarah memberi tahu bahwa semua berawal dari pemikiran. Setelah ada pemikiran, kekuatan ekonomi dapat dibangun dan dipertahankan lebih lama. Dengan kekuatan ekonomi ini maka kekuatan militer dapat dibiayai lebih lama.

Tanpa kekuatan pemikiran, kekuatan ekonomi mudah dibuat loyo, dan tanpa kekuatan ekonomi, kekuatan fisik hanya bisa dipertahankan sebentar.

 

Lalu bagaimana transisi peralihan imperium terjadi?

Peralihan imperium Romawi dan Persia ke Khilafah terjadi dalam proses dakwah. Islam diterima rakyat sebagai ajaran yang memerdekakan manusia dari perbudakan sesama ke penghambaan kepada Allah saja.

Ketika dakwah Islam dihalangi secara fisik, rakyat Persia sendiri yang turut membantu pasukan jihad. Akhirnya, tak sampai satu generasi setelah Nabi saw. wafat, Persia sudah seutuhnya di bawah naungan Islam.

Adapun transisi Romawi ke Khilafah berjalan hampir 800 tahun. Kuncinya memang dakwah. Pemikiran yang merasuki para mujahid Islam dan rakyat yang akan dibebaskan.

Transisi Khilafah ke imperium kafir pada abad 17 M, juga berangsur pelan, dimulai dari masuknya pemikiran asing ke tubuh kaum Muslimin. Khilafah baru benar-benar dibubarkan tahun 1924. Namun, sebelumnya dia sudah seperti digerogoti kanker yang kronis selama lebih dari dua abad.

 

Bagaimana karakteristik dan hasil karya Khilafah?

Jejak Khilafah sangat berbeda baik dengan imperium sebelumnya (Romawi/Persia) maupun sesudahnya (Spanyol, Inggris, Perancis, Soviet, AS).

Khilafah tak pernah merendahkan etnis manusia di bawahnya. Khilafah tidak menimbulkan kebencian kepada negara pembawanya, hingga sekarang. Kalaupun pada suatu masa muncul kebencian Arab atas Turki, maka itu tak lain adalah hasil provokasi calon penjajah atau imperium baru.

Khilafah tak pernah menjarah sumberdaya alam negeri yang dia kuasai. Justru sebaliknya. Kadang mereka menyuplai negeri mana pun yang kekurangan atau mengalami musibah.

Khilafah tak pernah menimbulkan bencana lingkungan atau sosial yang serius. AS sekarang ini menimbulkan situasi lingkungan global yang amat parah. AS paling besar mengonsumsi bahan bakar fosil dan otomatis memproduksi CO2. Ironisnya, AS sampai kini menolak meratifikasi Protokol Kyoto yang membatasi gas rumah kaca. Kesenjangan juga meluas antara negara-negara kaya (di “utara”) dan negara-negara miskin di “selatan”.

Peradaban Islam juga menunjukkan bahwa mereka peduli pada hal-hal yang tak sekadar bernilai material, intelektual dan emosional; namun juga spiritual, sehingga semua kalangan merasa dimanusiawikan, karena merasa dekat dengan Sang Pencipta.

 

Tadi Anda mengatakan imperium Khilafah berlangsung sejak abad 8-17 M. Bukankah dalam kurun tersebut terdapat tiga imperium berturut-turut?

Sejarah mencatat tiga “imperium” Khilafah: Bani Umayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Sesungguhnya hanya sejarahwan yang membagi masa panjang Khilafah dalam tiga kurun ini.

 

Apa catatan penting Anda dari masing-masing kurun tersebut?

Bani Umayah muncul setelah Muawiyah menerima pengalihan baiat dari Hasan bin Ali pada 661 M. Namun, Muawiyah melakukan “bid’ah”. Ia meniru model suksesi Romawi, yakni mencalonkan putranya, Yazid, sebagai penggantinya, dan memaksa umat berbaiat kepada putranya, semasa Muawiyah masih ada.

Namun demikian, bid’ah suksesi ini tak lantas membuat Khilafah melemah dan hancur. Justru ilmu-ilmu agama maupun sains mulai tumbuh dan berkembang pesat. Wilayah Islam meluas hingga Andalusia di sebelah barat, sampai tepi Indus di timur.

Sebenarnya, bid’ah suksesi ini tidaklah mulus. Ada beberapa khalifah yang bukan anggota keluarga dekat khalifah sebelumnya. Karena itu sejarahwan menyebut Bani “Umayah”, dari nama kakek buyut Muawiyah.

Nama lengkapnhya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdus Syam bin Abdul Manaf. Abdus Syam adalah saudara Hasyim. Sementara itu, Rasulullah adalah bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Jadi, konklusi nama dinasti ini ada belakangan. Andaikata seluruh khalifah periode ini hanya keturunan Muawiyah – tentu namanya “Bani Muawiyah”, dan itu tidak terjadi.

Periode ini tamat oleh Revolusi Abbasiyah pada 750 M. Saat itu kezaliman Marwan II (744-750 M) sudah tak tertahankan lagi. Namun sebenarnya, tak semua khalifah era ini seperti itu. Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) adalah khalifah yang sangat sukses dan dicintai rakyat, sering dijuluki Khulafaur Rasyidin ke-5.

Hampir semua sejarahwan hanya tertarik untuk menulis sisi politik. Salah satu yang dianggap bernilai sejarah dari era ini adalah permusuhan yang mendalam kepada kelompok Syiah. Kelak ini menimbulkan dendam di kalangan Syiah. Hal ini menutup seluruh prestasi Bani Umayah, bahkan hingga Khulafaur Rasyidin.

 

Kalau di era Abbasiyah bagaimana?

Pada era Abbasiyah, situasi politik jauh lebih baik. Ada rekonsiliasi untuk berbagai kalangan yang selama masa Umayah berseberangan. Tak heran bahwa fikih dan sains berkembang lebih hebat lagi. Memang saat itu ada era pemaksaan pendapat yang diadopsi Negara. Seperti era Al-Ma’mun, Negara mewajibkan warga percaya bahwa al-Quran itu mahluk. Yang tak setuju lalu dipenjarakan.

Wilayahnya juga tumbuh lebih pesat lagi di awal, walau kemudian cukup berat membawa bangsa-bangsa itu pada level pemikiran yang sama. Walhasil, berbagai anasir filsafat Yunani, Persia dan India kuno pelan-pelan mulai merasuk ke dalam masyarakat Islam.

Pasca Abad-11 M, filsafat ini sudah berpengaruh dalam bentuk berbagai ijtihad yang tidak bermutu yang melemahkan umat. Sementara itu kekurangmampuan penguasa pusat dalam mengurus rakyat di wilayah yang luas ini, menyulut beberapa gerakan separatisme.

Di Mesir muncul Daulah Fathimiyah,  sempalan sesat dari Syiah. Beberapa gubernur lalu menutup pintu ijtihad untuk mencegah eskalasi. Namun, ini tak banyak menolong. Lemahnya imperium lalu memancing datangnya pasukan salib (1096-1187 M), dan yang lebih fatal adalah pengkhianatan wazir khalifah sehingga tentara Mongol sampai ke Baghdad dan membantai 2,6 juta penduduknya pada 1258 M.

Tiga tahun setelah itu, pada 1260 M, Khilafah Abbasiyah diteruskan di Mesir, di bawah perlindungan Mamluk. Namun, tinggal simbolis saja, sebab yang sesungguhnya berkuasa adalah sultan-sultan Mamluk itu.

Secara tatanegara, sultan Mamluk hanyalah gubernur dalam khilafah. Mereka mendapat legitimasi karena mengusir tentara Mongol pada 1261 M di Ain Jalut. Namun, pada akhir Abad 15 M, popularitasnya sudah di bawah gubernur lain, yaitu Sultan Turki, yang pada 1453 M membuka Konstantinopel. Akhirnya, kepemimpinan berpindah ke Bani Utsmaniyah di Turki pada 1517 M.

Bani Utsmaniyah dinamai dari pendirinya yaitu Utsman pada 1299 M. Legitimasi mondial didapatkan pasca perpindahan Kekhilafahan dari Abbasiyah di Mesir, meski mereka tidak memakai gelar Khalifah seperti sebelumnya. Namun, pada 3 Maret 1924, Inggris tetap menyebut pengusiran penguasa terakhir Utsmani sebagai “The Abolish of Caliphate”.

 

Utsmaniyah juga membawa Khilafah jadi adidaya dunia, ya?

Bani Utsmaniyah juga berjaya pada abad-abad awalnya. Mereka praktis menjadi adikuasa yang disegani lawan dan dihormati kawan. Kemunduran baru terjadi pada Abad-18 M, setelah dakwah dan jihad tak lagi ditekuni serius. Akibatnya, terjadi kemunduran di segala bidang.

Bandul sejarah berubah total ketika di Eropa terjadi revolusi pemikiran, Revolusi Prancis (1789). Disusul revolusi industri di Inggris dan seluruh Eropa, dan lalu Amerika Serikat. Akhirnya, Bani Utsmaniyah runtuh setelah terseret dalam PD-I, setelah rakyatnya yang multi-etnis sebelumnya dipecahbelah dengan isu nasionalisme.

 

Bagaimana pandangan warga dunia kepada rakyat Khilafah saat itu?

Secara umum kehidupan rakyat di seluruh wilayah ini relatif lebih baik daripada di luar Khilafah. Mereka yang keluar negeri selalu dihormati karena dianggap mewakili suatu negara yang hebat. Mungkin mirip dengan turis Jerman atau Amerika yang datang ke negeri Muslim saat ini; dianggap hebat, karena berasal dari negeri yang hebat.

Ketika para pedagang Muslim dari Khilafah datang ke Nusantara, berduyun-duyun raja-raja Hindu dan Budha menjadikan mereka penasihat. Akhirnya, di Nusantara bermunculan kesultanan Islam.

Selain jejak arsitektural dan dokumen yang masih dapat dilihat di museum, kehidupan rakyat Khilafah juga dapat dibaca dari laporan-laporan perjalanan musafir Barat, seperti catatan Marcopolo (abad-13 M) atau penjelajah Cina, Cheng Ho (abad-15 M). Wilayah Islam terkenal rapi, bersih. Level pendidikan dan pelayanan kesehatannya tinggi, padahal bebas biaya, termasuk terhadap orang asing.

Kehidupan seperti itu berjalan berabad-abad tanpa terganggu hiruk-pikuk politik. Secara logika, mustahil berdiri suatu negara yang kuat, tanpa di dalamnya ada masyarakat yang solid, karena diberi keadilan dan kesejahteraan.

Ini artinya, fenomena tragedi atas beberapa penguasa (fitnah, pembunuhan) hanya terjadi di kalangan elit. Namun, siapa pun penguasa Islam itu, mereka serius dalam mengurusi rakyatnya.

 

Itu terjadi di Negara Islam ya, bukan negara demokrasi seperti sekarang ini?

Mungkin tak ada satu pun negara di atas yang menamakan diri “Negara Islam”. Negara Islam ada dalam substansi,  yakni negara yang hukumnya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan keamanannya semata-mata di tangan kaum Muslim.

Negara ini bukan negara-bangsa dan juga bukan negara agama. “Negara Islam” adalah terminologi ideologis, seperti kita menyebut “negara demokrasi”. Jadi ia bukan nama negara. Penguasa Islam menyebut dirinya khalifah, amirul mu’minin, atau sultan;  karena penggunaan istilah-istilah ini mubah. Semuanya menggambarkan mereka bertugas menerapkan Islam serta berdakwah ke seluruh dunia.

Di dalam Khilafah hidup segala bangsa dan segala pemeluk agama dengan damai. Non-Muslim tidak dipaksa masuk Islam, namun mereka didakwahi dengan teladan, dan diperlakukan adil berdasarkan syariah.

Pada abad-21 ini, dunia sudah “sekarat”. Imperium yang menggantikan Khilafah terbukti tak mampu merahmati seluruh alam. Belum ada seabad, tanda-tanda kiamat semakin dekat; dalam arti kehancuran ekosistem, kehancuran generasi, dan kehancuran hubungan antarmanusia.

Karena itu, menjadi tugas sejarah bagi umat Islam untuk kembali mengantarkan yang telah dinubuwatkan Nabi saw., “…Setelah itu akan ada lagi Khilafah yang didirikan sesuai dengan metode kenabian.”

WalLahu a’lam. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 + fifteen =

Back to top button