Mencari Nafkah
Mencari nafkah adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Terutama bagi seorang suami/ayah. Tentu untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw.
Di dalam al-Quran Allah SWT, antara lain, berfirman (yang artinya): Kewajiban ayah itu memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf (TQS al-Baqarah [2]: 233).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Seorang laki-laki (ayah/suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menekankan tanggung jawab seorang suami/ayah dalam mengurus keluarganya, termasuk tentu saja dalam memberi nafkah.
Rasulullah saw. pun bersabda, “Sungguh apa saja yang kamu nafkahkan untuk keluargamu, itu adalah sedekah walaupun itu hanya sesuap makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Mencari nafkah dengan niat yang ikhlas dan cara yang halal dihitung sebagai ibadah. Dengan demikian segala usaha yang dilakukan untuk menafkahi keluarga akan berbuah pahala.
Di sisi lain, meninggalkan upaya mencari nafkah yang wajib dan utama adalah dosa. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa ada jenis dosa yang tidak dapat dihapus kecuali dengan bekerja mencari nafkah. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw., “Dari sekian dosa terdapat jenis dosa yang tidak dapat ditebus kecuali dengan kebimbangan untuk mencari penghidupan (keluarga).” (HR ath-Thabarani).
Karena itulah Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata, “Sungguh aku melihat seseorang dan aku menyukai dirinya. Kemudian aku bertanya, ‘Apakah dia punya pekerjaan?’ Jika mereka menjawab, ‘Tidak,’ maka jatuhlah martabatnya dalam pandanganku.” (Mawaa’izh ’Umar bin al-Khaththaab, hlm. 82).
Abdullah bin Mas’ud ra. juga berkata, sebagaimana dinukil oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Hilyah al-Awliyaa’, “Sungguh aku membenci seseorang yang aku lihat menganggur, tidak bekerja untuk dunianya maupun beramal untuk akhiratnya.”
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahuLaah, sebagaimana dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubalaa’, juga berkata, “Mencari harta yang halal dari dunia ini lebih aku cintai daripada aku menjadi lemah untuk beribadah.”
Imam Ibnu al-Mubarak rahimahuLaah, sebagaimana juga dinukil oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Hilyah al-Awliyaa’, juga berkata, “Sungguh orang-orang shalih dulu mencari harta yang halal di dunia dan menjadikan harta yang mereka peroleh sebagai sarana untuk menolong agamanya.”
Sa’id bin al-Musayyib rahimahuLaah, sebagaimana juga dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubalaa’, juga berkata, “Tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak suka mengumpulkan harta dari jalan yang halal, yang dengan itu ia bisa menjaga harga dirinya, melunasi utang-utangnya dan menyambung silaturahmi.”
Bahkan Imam Syafi’i rahimahulLaah, sebagaimana dinukil oleh Imam al-Baihaqi dalam Manaaqib asy-Syaafi’i, juga menyatakan, “Bukan termasuk akhlak yang mulia meninggalkan perdagangan atau upaya mencari nafkah.”
Karena statusnya yang wajib dan merupakan amal yang utama, generasi salafus-shalih tak pernah menyia-nyiakan upaya mencari nafkah yang halal ini. Sahabat Abdurrahman bin ’Auf, misalnya, adalah salah satu Sahabat Nabi saw. yang terkenal kaya-raya. Sebagaumana dinukil oleh Imam adz-Dzahani dalam Siyar A’lam an-Nubalaa’, saat hijrah dari Makkah ke Madinah, ia meninggalkan semua hartanya di Makkah. Setibanya di Madinah, ia dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’ yang menawarkan harta dan bantuan. Namun, tawaran itu ia tolak dengan halus. Ia hanya berkata, “Tunjukkan saja kepadaku di mana pasar.” Lalu dengan berbekal keahliannya berdagang, Abdurrahman bin Auf bekerja keras di pasar dan berhasil menjadi salah satu Sahabat Nabi yang kaya-raya tanpa bergantung pada bantuan orang lain.
Demikian pula Umar bin al-Khaththab ra. Ia dikenal sebagai pekerja keras sejak sebelum memeluk Islam. Ketika sudah menjadi Sahabat Rasulullah saw., ia tetap gigih bekerja. Umar ra. pernah berkata kepada para Sahabatnya, “Janganlah salah seorang dari kalian duduk-duduk tanpa bekerja dan berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah aku rezeki.’ Sungguh kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” (Mawaa’izh ’Umar bin al-Khaththaab, hlm. 82).
Hal yang sama dilakukan oleh para ulama salaf setelahnya. Imam Abu Hanifah rahimahuLaah, misalnya, seorang ulama mujtahid, adalah juga seorang pedagang yang sukses. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffaazh, Imam Ahmad biasa terlibat dalam perdagangan kain. Meskipun sibuk dengan ilmu, beliau tetap memastikan dirinya mandiri secara finansial.
Imam Malik bin Anas rahimahulLaah, salah satu imam mazhab yang dihormati karena keilmuannya, juga bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimmana dijelaskan oleh Ibnu Sa’ad dalam Tabaqaat al-Fuqahaa’, Imam Malik terlibat dalam pekerjaan pertanian dan memiliki kebun yang ia urus untuk mencukupi kebutuhannya. Imam Malik tetap menjaga kemandirian finansialnya meski terkenal sebagai seorang ulama besar.
Demikian pula Imam Syafi’i, salah satu pendiri mazhab fikih terbesar. Ia pun biasa bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Baihaqi dalam Manaaqib asy-Syaafi’i, beliau pernah bekerja sebagai pemanah ulung dan mengikuti beberapa ekspedisi militer untuk mendukung kehidupan keluarganya.
Hal yang sama dilakukan oleh Imam al-Bukhari rahimahulLaah, seorang ahli hadis terbesar yang menyusun Shahiih al-Bukhaari. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Manaaqib al-Bukhaari, Imam al-Bukhari juga dikenal sebagai seorang pedagang yang sukses. Selain sering bepergian untuk mengumpulkan hadis, pada saat yang sama, ia pun berdagang untuk mencukupi kebutuhannya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Sufyan ats-Tsauri, Ia adalah adalah seorang ulama dan ahli hadis yang sangat dikenal di Dunia Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidaayah wa an-Nihaayah, di tengah kesibukan dalam mengajar dan menyebarkan ilmu, Sufyan ats-Tsauri tetap bekerja keras untuk mencari nafkah. Ia adalah pedagang yang cakap. Ia sering berdagang kain. Dalam salah satu riwayat, ia pernah mengatakan, “Sungguh bekerja (mencari nafkah) adalah salah satu cara menjaga kehormatan diri.”
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. [Arief B. Iskandar]