Solusi Islam Mengatasi Krisis APBN
Pandemi Virus Corona telah membuat roda ekonomi dunia berputar lebih lambat, bahkan tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. Meskipun demikian, beberapa negara telah berhasil menekan laju penyebaran pandemi tersebut sehingga ekonomi mereka mulai pulih.
Di Indonesia, jumlah korban pandemi terus menanjak. Ekonominya juga mengalami resesi. Jumlah penduduk miskin dan pengangguran meningkat. Kondisi ekonomi dan bisnis rakyat semakin buruk. Pangkalnya, Pemerintah tidak serius menangani pandemi ini. Pemerintah bahkan lebih mengedepankan penyelesaian masalah ekonomi ketimbang pandemi. Masalah kesehatan dianaktirikan.
Pada tahun 2020, Pemerintah menganggarkan Program Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695 triliun. Dari jumlah itu, anggaran untuk kesehatan hanya Rp 89 triliun. Itu pun serapannya sangat rendah, yakni baru 14 persen hingga akhir Agustus 2020.
Banyak indikator yang menunjukkan rendahnya keseriusan Pemerintah menangani pandemi ini. Sebagai contoh, per 10 September, jumlah testing yang dilakukan Pemerintah per sejuta pendudukhanya hanya sebanyak 9,175 orang. Ini menempatkan Indonesia pada urutan 163 negara terbanyak yang melakukan testing. Di bawah Bangladesh dan Etiopia. Akibat merosotnya pendapatan akibat pandemi, ditambah dengan peningkatan anggaran untuk pemulihan ekonomi, Pemerintah menempuh jalan pintas membiayai APBN: meningkatkan defisit APBN menjadi 6,3 persen dari PDB.
Untuk membiayai defisit tersebut, Pemerintah mencari utang di pasar modal dan pinjaman luar negeri. Pemerintah pun meminta Bank Indonesia bersedia membeli langsung obligasi Pemerintah di pasar perdana, yang sebelumnya hanya dapat dilakukan di pasar sekunder.
Dampak dari kebijakan tersebut, utang Pemerintah naik tajam dari Rp 4.785 menjadi Rp 5.262 pada 2020. Pada tahun 2021, Pemerintah kembali memperlebar defisit hingga Rp 1.174 trliun, hampir sama dengan tahun ini yang mencapai Rp 1.172 triliun. Defisit yang dibiayai utang itu berdampak pada naiknya biaya pembayaran bunga utang. Tahun ini sebesar Rp 339 triliun dan tahun depan naik menjadi Rp 373 triliun. Rasio utang terhadap PDB kemudian naik dari 30 persen menjadi 38 persen.
Karena kebanyakan utang Pemerintah tersebut berjangka menengah dan panjang, beban bunganya terdistribusi dalam jangka menengah-panjang pula. Potensi peningkatan nilai beban utang semakin besar karena rawan terekspos risiko ekonomi seperti risiko nilai tukar, risiko perubahan suku bunga. Jika nilai tukar memburuk dan suku bunga naik, beban utang Pemerintah akan semakin tinggi.
APBN Islami
Islam adalah agama sempurna yang menjelaskan segala hal. Termasuk dalam aspek APBN. Seluruh pos-pos pendapatan dan pengeluaran di dalam APBN telah ditetapkan oleh Islam. Dengan demikian, sumber pendapatan dan pengeluaran yang bertentangan dengan ketentuan tersebut haram hukumnya.
Prinsip utamanya, pendapatan dan pengeluaran dalam APBN harus sesuai dengan syariah Islam dan memberikan kemaslahatan yang optimal bagi agama dan rakyat. Khalifah diberi wewenang untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran tersebut dengan berpegang pada aturan yang ditetapkan oleh Islam.
Sumber pendapatan APBN dalam Islam antara lain adalah harta anfal, ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, dan jizyah. Sumber lainnya adalah harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur dan harta sedekah/zakat.
Masing-masing sumber pendapatan tersebut juga telah ditetapkan pos-pos pengeluarannya. Harta zakat, contohnya, hanya diperuntukkan untuk delapan golongan. Tidak boleh digunakan untuk pos-pos lain. Zakat tidak boleh untuk pembayaran gaji pegawai atau pembangunan infrastruktur.
Dengan menerapkan APBN sesuai syariah, Indonesia berpeluang memiliki postur APBN yang sehat dan besar. Apalagi populasi Indonesia sangat besar. Kekayaan alamnya melimpah. Posisinya strategis untuk menjadi negara maju. Sebagai contoh, jika dikelola sesuai syariah, kekayaan alam Indonesia, yang masuk kategori harta milik umum, seperti migas, mineral dan batubara akan dikelola oleh negara. Kondisi itu berbeda dengan saat ini. Pendapatan sektor itu lebih banyak mengalir ke pihak swasta/asing. Setiap tahun, ratusan triliun dana mengalir ke luar negeri, seperti yang tercatat pada pos pendapatan primer pada Neraca Pembayaran Indonesia.
Memang potensi penerimaan APBN di dalam Islam boleh jadi juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Harga komoditas yang turun di pasar global akibat perlambatan ekonomi, misalnya, akan berdampak pada penurunan pemasukan APBN dari sumber harta milik umum. Penerimaan zakat pertanian juga berpotensi berkurang ketika terjadi kekeringan sehingga penerimaan negara dari zakat akan ikut tertekan. Meskipun demikian, Islam memiliki solusi yang berbeda dengan sistem Kapitalisme dalam mengatasi hal tersebut.
Dalam kondisi ekonomi yang merosot, misalnya akibat pandemi, yang kemudian berdampak pada penerimaan APBN, Khalifah akan menempuh langkah-langkah untuk mengatasi kondisi tersebut sesuai dengan yang digariskan di dalam Islam. Pertama: Dalam APBN Khilafah terdapat anggaran khusus untuk mengatasi kondisi darurat akibat terjadinya kejadian luar biasa, seperti bencana alam dan pandemi. Jika tidak cukup, dana diambil dari pos-pos lain. Belanjanya diserahkan kepada ijtihad khalifah. Anggaran ini akan dioptimalkan untuk menekan penyebaran pandemi, mulai dari menerapkan kebijakan isolasi ketat dan menyediakan obat-obatan hingga sarana dan prasarana kesehatan yang menunjang kebijakan tersebut. Pada masa wabah ‘ima was, yang terjadi pada tahun 17 H, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Membenarkan kebijakan Amr bin Ash ra. Yang memerintahkan penduduk Syam untuk mengungsi ke bukit-bukit untuk mengisolasi diri. Setelah reda, Khalifah Umar terjun langsung untukme mulihkan kehidupan masyarakat di wilayah itu dengan memberikan berbagai bantuan, seperti makanan dan keamanan. Apalagi secara ilmiah, terbukti bahwa semakin ketat kebijakan isolasi, potensi penularan semakin sedikit dan tempo penanganan akan semakin pendek. Dengan demikian, anggaran yang dibutuhkan semakin sedikit dan kegiatan ekonomi akan lebih cepat pulih.
Kedua: Jika terjadi defisit anggaran, yakni penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran yang wajib untuk ditunaikan, maka kewajiban tersebut beralih kepada kaum Muslim baik dalam bentuk pajak ataupun pinjaman. Untuk itu Khalifah akan menerapkan pajak kepada mereka yang kaya. Al-Juwaini menyatakan bahwa jika terjadi suatu bencana dan di Baitul Mal masih terdapat harta, maka penanganannya cukup diambil dari harta tersebut. Namun, jika hartanya tidak ada, maka tanggung jawab tersebut beralih kepada seluruh kaum Muslim. Ketika pembiayaan dari harta mereka telah mencukupi, kewajiban mereka telah selesai. Jika masih terdapat sisa, maka harta itu dipakai untuk kejadian yang mungkin terjadi pada masa datang.
Menurut Abdul Qadim Zallum, jika terjadi kekurangan pendapatan dari sumber pendapatan yang ditetapkan dalam Islam untuk membiayai pengeluaran maka Khalifah dapat menerapkan pajak. Syaratnya, terdapat kebutuhan untuk menutupi berbagai kebutuhan dan kemaslahatan kaum Muslim. Kewajiban tersebut hanya dibebankan kepada mereka yang kaya, yakni mereka yang memiliki kelebihan ataskebutuhan pokok dan sekundernya. Belanja yang hendak dibiayai tersebut merupakan kewajiban Baitul Mal, yang wajib dipenuhi ada atau tidak ada kas di Baitul Mal. Kewajiban tersebut yaitu: pembiayaan jihad, pembiayaan industri militer dan penunjangnya; pemberian bantuan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin dan ibnu sabil; pembiayaan gaji orang yang diupah oleh negara, seperti tentara, pegawai, hakim dan guru; pembiayaan untuk kemaslahatan yang sangat dibutuhkan dan akan mengakibatkan bahaya bagi umat jika diabaikan; pembiayaan untuk bencana, seperti gempa bumi, longsong, dan banjir.
Sebagai tambahan, para fuqaha memberikan syarat pemberlakuan pajak tersebut, yaitu: imamnya harus orang yang adil; kebijakan itu harus didasarkan pada pendapat ilmuwan, pakar dan yang mereka yang punya keahlian khusus; terdapat kebutuhan umum yang diakui syariah; harta tersebut dibelanjakan untuk kepentingan umum, bukan untuk manfaat khusus; tidak terdapat harta yang cukup di Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan tersebut; tidak ada harta yang menjadi hak Baitul Mal yang belum ditarik dan memungkinkan dipakai untuk memenuhikebutuhan tersebut; tidak ada sumbangan (tabarru’at) sukarela yang cukup dari rakyat; dan jika memungkinkan, pemerintah dapat segera mencari pinjaman dengan syarat ia memiliki kemampuan untuk segera membayarnya. Pemerintah dapat meminjam dengan cara, misalnya, mempercepat pembayaran zakat dan kharaj, yang nantinya kewajiban mereka yang jatuh tempo akan dikurangi sesuai dengan utang negara kepada mereka.
Imam Syaitibi mengatakan bahwa pinjaman dalam masa krisis hanya dilakukan jika ada pemasukan yang dapat diharapkan dari Baitul Mal. Namun, jika tidak ada yang bisa ditunggu, sementara sumber pemasukan rendah dan terdapat pengeluaran yang besar, maka harus diberlakukan hukum pembebanan (tawdhif) atas orang-orangkaya.
Selain itu, negara juga mendorong rakyatnya untuk memberikan bantuan untuk membantu negara menangani masalah keuangan negara. Al-Juwaini memberikan contoh ketika Nabi saw. Ketika berusaha menyusun pasukan perang maka beliau menyeru para Sahabatnya untuk memberikan bantuan dan memberikan kelebihan harta mereka. Para Sahabat pun mengulurkan bantuan mereka dengan penuh ketaatan dan kelapangan hati.
Ketiga: Negara tidak akan meminta bantuan pinjaman dari negara-negara asing dan lembaga keuangan internasional. Pasalnya, pinjaman itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu yang membuat mereka berkuasa atas kaum Muslim. Hal ini sangat nyata di negeri-negeri Islam. Utang menjadi jalan orang-orang kafir menguasai ekonomi mereka. Hal yang sama juga berlaku untuk pinjaman melalui penerbitan obligasi, yang gencar dilakukan pemerintah dewasa ini.
Keempat: Negara akan memberikan bantuan sesuai dengan koridor yang digariskan oleh Islam. Mereka yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, baik akibat pandemi ataupun bukan, akan dijamin pemenuhannya oleh Negara. Pengusaha yang kesulitan cashflow, seperti saat ini, akibat turunnya pendapatan disertai dengan besarnya pengeluaran—seperti pembayaran cicilan pokok dan bunga utang, pajak, pembayaran listrik, dan gaji karyawan—akan berbeda nasibnya ketika Islam diterapkan. Beberapa pengeluaran tersebut sejatinya tidak perlu ditanggung jika negara ini menerapkan sistem Islam. Pembayaran bunga pinjaman, contohnya, tidak akan dijumpai dalam sistem Islam sebab pinjaman berbunga adalah ilegal. Orang-orang yang tidak mampu membayar utang, bahkan dapat dimasukan ke dalam kategori orang yang berhak mendapatkan bantuan negara lewat zakat. Pajak juga tidak dikenakan atas mereka yang tidak mampu. Biaya listrik akan relatif lebih murah sebab ia bersumber dari harta milik umum yang harganya disesuaikan dengan kemaslahatanrakyat.
Inilah sekelumit perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalisme yang berlaku di negeri ini.
Selain gagal melindungi rakyatnya dari penyebaran pandemi virus Covid, akibat kebijakan yang buruk, Pemerintah juga telah menjerumuskan negara ini ke dalam kubangan utang, dan membuat ekonomi negara dan rakyatnya porak-poranda. Hal tersebut sejatinya tak perlu terjadi jika negeri ini diatur sesuai dengan syariah Islam dan dipimpin oleh pemimpin yang amanah dan bertakwa.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Muis]
Catatan Kaki:
1 Abu Fida al-Dimashqy, al-Bidayah wa al-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2015), hal. 77 /VIIii Imam al-Haramain al-Juwainy, Ghiyathu al-Umam fi al-Tiyathi al-Dhulam (Iskandariyyah: Dar al-Da’wah, tt), hal. 277.iii Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, cetakan ke-3 (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), hal. 135iv Rafiq Yunus al-Mashry, Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah (Damaskus: Dar al-Qalam, 2005), hal. 86.v Abu Ishaq al-Shaithiby, Al-I’tisham (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, tt), hal. 122/II.vi Al-Juwainy, Ghiyathu al-Umam, hal. 279.