
Kabinet & Koalisi Gendut, Salahkah?
Wacana pembentukan koalisi besar pemerintahan Prabowo-Gibran minim oposisi dikhawatirkan bakal mengulang pemerintahan Jokowi yang otoriter dan tanpa kendali. Ini juga menunjukkan sikap ketakutan. Jika mayoritas partai bergabung dengan Pemerintahan Prabowo-Gibran, artinya mereka ramai-ramai akan menikmati kekuasaan. Pemerintahan yang mengakomodasi seluruh parpol tanpa “oposisi” dinilai merupakan tanda berakhirnya era keterbukaan dan kebebasan kritik.
Pemerintahan yang ditopang oleh mayoritas anggota DPR akan membuat segala rencana kebijakan Pemerintah berjalan mulus. Tidak ada mekanisme checks and balances. Ini karena hampir semua parpol di Parlemen menjadi bagian dari Pemerintah.
Jika memang demikian, sangat penting kelompok masyarakat rakyat arus bawah akan mengambil peran oposisi. Tentu guna mengoreksi kebijakan pemerintahan. Publik tentu tidak ingin adagium guru besar sejarah modern Universitas Cambridge, Inggris, Lord Acton, yang disampaikan pada abad ke-19, menjadi nyata, yakni, ‘power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely’; atau kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
Kekuasaan yang besar membutuhkan kontrol yang besar pula sehingga perlu adanya pengoreksi atau ruang kritik dan nasehat. Selain itu rezim pemerintahan baru pun dipastikan akan bernasib sama. Apalagi rezim pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo bakal mewarisi beban sangat berat dan segudang persoalan yang ditinggalkan rezim Jokowi. Khususnya di bidang ekonomi. Di antaranya angka kemiskinan yang tinggi, angka pengangguran dan PHK yang makin meningkat, pajak yang makin besar, daya beli masyarakat yang makin menurun, jumlah kelas menengah yang makin berkurang, beban pembayaran utang negara yang makin berat, penguasaan sumberdaya alam milik rakyat oleh segelintir orang (asing dan aseng) yang makin tak terkendali, beban ekonomi masyarakat yang makin besar, dsb.
Di sisi lain, kekuasaan oligarki makin mencengkeram. Ini terlihat jelas dalam struktur politik dan ekonomi di mana sejumlah kecil konglomerat mengendalikan sektor-sektor strategis, seperti sumberdaya alam (pertambangan, perkebunan), infrastruktur dan perbankan.
Para oligarki ini juga sering memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan politik. Ini memungkinkan mereka mempengaruhi kebijakan publik demi keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Satu-satunya harapan terbesar ruang oposisi kini berada di tangan ulama dan kelompok dakwah. [Ummu Hasyim ; (Ibu Rumah Tangga)]