Bicaralah Kebenaran!
Omongan berubah menjadi sesuatu yang ditakuti. “Buktinya, Pemerintah berencana akan membentuk semacam lembaga untuk mengawasi omongan para tokoh,” ujar Pak Mufti.
“Lalu, apa tolok ukurnya? Tokoh mana dan ucapan macam apa yang dianggap menyimpang? Pasti tergantung lembaga dan pihak yang membentuk lembaga tersebut,” tambah Pak Zul.
Barangkali sikap itu ada benarnya. Toh dulu saat ada orang yang dilaporkan oleh pihak penguasa langsung diproses. Namun, orang yang dilaporkan oleh lawan politiknya seperti kasus Abu Janda, Ade Armando, Sukmawati, dan sebagainya lenyap ditelan angin. Tak berbekas. Wajar belaka bila fakta itu melahirkan kecurigaan bahkan ketidakpercayaan.
Ada kabar bahwa Ustadz Abdu Shomad diberhentikan sebagai dosen karena omongan. “Kita tahu saat itu beliau wawancara di sebuah TV swasta dan tampak mendukung calon pilihan ijtima´ ulama,” tambah Pak Mufti.
“Ustadz Bachtiar Nasir kini dijadikan tersangka. Kasus yang dituduhkan kepada beliau pencucian uang. Mengapa kok baru kali ini dituduhkan, padahal itu kasus lama? Ya, karena omongan beliau yang mengkritisi rezim,” Kang Ran ikut nimbrung.
“Aneh juga, dokter yang menuntut agar KPU melakukan otopsi terhadap lebih dari 500 korban meninggal panitia pemungutan suara. Eh, malah dokter itu dilaporkan ke polisi,” tambahnya heran.
Kata-kata ternyata sangat menakutkan. Saya katakan, “Memang benar apa yang dikatakan orang: kata adalah senjata.”
Sejarah menunjukkan bahwa Bung Karno disegani oleh pihak luar negeri karena kata-kata yang dia ucapkan. Dulu, Aung San Su Kyi ditakuti karena omongannya. Habib Rizieq Syihab ditakuti karena tajamnya ucapan yang beliau sampaikan. Bahkan bila merujuk ke belakang, Rasulullah Muhammad saw. ditakuti oleh kaum kafir Quraisy kala itu juga karena kata-kata. Tengok pula, Raja Namrud. Dia takut kepada Nabiyullah Ibrahim karena ucapan dan kata-kata yang beliau sampaikan.
Semua ini menjadi secuil fakta betapa dahsyatnya lisan. Tidaklah mengherankan, ucapan orang yang menyerukan dakwah untuk menyampaikan kebenaran disebut oleh al-Quran sebagai sebaik-baik ucapan. Bahkan menasihati penguasa dengan lisan dapat tergolong jihad yang paling utama. Rasulullahsaw. Pun bersabda, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan orang yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia menyuruh dan melarang penguasa itu, lalu penguasa tersebut membunuh dirinya.” (HR Al-Hakim, Mustadrak ‘ala shahihain, hadis sahih no. 4884).
Ada orang yang menganggap remeh kata-kata atau omongan. Kata-kata omong doang alias omdo menjadi penuh ejekan. “Kalau tukang batu banyak ngomong dan sedikit kerja, tentu tidak tepat. Namun, kalau guru tidak banyak ngomong, ya murid tidak akan mengerti,” ujar Ustadz Labib.
Padahal tidak ada perubahan kecuali diawali dengan omongan. Melalui omongan, orang akan saling berbagi informasi, berbagi fakta, berbagi solusi, berbagi semangat, bahkan berbagi langkah perjuangan. Tidak ada satu pun perubahan besat tanpa diawali oleh omongan. Sekadar contoh, ketika orang bicara tentang kecurangan dan ketidakadilan, banyak orang yang akan tahu dan paham terkait hal tersebut. Hal ini akan melahirkan kesadaran kolektif bahwa bahaya sedang mengancam. Tak mengherankan bila dari omongan akan lahir suatu gerak perjuangan yang akan menghentikan ketidakadilan tersebut. Fenomena emak-emak militan adalah suatu contoh yang sangat telanjang terkait hal ini. Tepat sekali yang diperintahkan oleh Nabi saw., bukan diam, tetapi bicara. “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berkatalah baik atau diam,” sabda Rasul.
Jadi, yang diperintahkan itu bicara. tetapi harus baik. Bila tidak bisa, baru diam.
Dulu Ibrahim menyampaikan sikapnya terhadap patung yang disembah oleh kaumnya. Sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan dan kemadaratan mereka sembah. Namrud pun marah. Ibrahim as. dihukum bah-kan dibakar. Musa dan Harun as. menyampaikan dengan lisannya kepada Fir’aun yang melanggar aturan-aturan Penciptanya (thagha). Keduanya mengajak Fir’aun menghentikan kejahatannya, menawarkan untuk membersihkan diri, memberikan petunjuk hingga dia takut pada Tuhannya. Namun, alih-alih menerima, justru murka yang diberikan kepada keduanya. Hanya karena lisan mereka. Apa yang terjadi? Sikap kriminalisasi terhadap orang-orang yang menyampaikan kebenaran dan menentang kezaliman dengan lisannya justru melahirkan bangkitnya perlawanan dan tumbangnya kezaliman.
Sebaliknya, diam terhadap kebenaran pun akan mendatangkan malapetaka. “Coba lihat, kecurangan begitu telanjang. Eh… semuanya diam. Para mahasiswa diam. Intelektual membisu. Para pejabat tak bersuara. KPU, Bawaslu, pihak keamanan, semuanya tak berkata-kata. Setan dibiarkan gentayangan. Habis dah…,’ ungkap Mas Bambang sangat geram.
“Darah ini begitu mendidih,” tambahnya.
Mungkin pernyataan itu ada benarnya. “Orang yang diam dalam menyatakan kebenaran dia laksana setan yang bisu,” begitu kata Imam adh-Dhahak.
Bila ini benar terjadi, muaranya adalah kenestapaan yang berawal dari ketidakjujuran dan ketidakadilan yang melahirkan ketidakpercayaan. Distrust. Bila ini terjadi, kehancuran tinggal menunggu waktu. Siapa yang diuntungkan? “Pasti pihak asing dan para anteknya,” tegas Deden.
“Jangan-jangan ini memang didesain untuk memuluskan kepentingan asing dan aseng,” timpal Mas Bambang.
Saya teringat pada ucapan Muhammad al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel. Beliau pernah mengatakan, “Bila hakim dapat dibeli maka keadilan akan sirna. Bila keadilan sirna maka negara akan binasa.”
Awalnya ketidakadilan. Ujungnya kebinasaan. Ngeri. Karena itu, bicaralah kebenaran! [Muhammad Rahmat Kurnia]