
Wajah Buruk Demokrasi
Pilpres dan Pileg sudah usai. Namun, hiruk-pikuknya belum selesai. Berbagai permasalahan muncul. Tak hanya di kedua kubu pasangan calon presiden/wakil presiden, tetapi juga di antara para calon anggota legislatif.
Persoalan paling mengemuka adalah masalah kecurangan. Dua pekan setelah pelaksanaan Pemilu 17 April 2019, belum bisa ditentukan siapa calon presiden/wakil presiden yang terpilih. Demikian pula siapa calon anggota legislatif/senator yang duduk di kursi parlemen/senat. Semua masih menunggu perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun, selama dua pekan pasca Pemilu, kesangsian justru muncul terhadap kinerja lembaga tersebut. Ada yang aneh dalam penghitungan suara. Ketidakjujuran tampak nyata. Itu bisa dilihat secara kasatmata oleh rakyat ketika mereka memantau proses perhitungan di Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU.
Kesalahan entri data hasil perhitungan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tertera di formulir C1 berlangsung secara massif. Bukan satu dua data, tetapi banyak sekali. Tim relawan IT Prabowo-Sandi bahkan sempat menyodorkan bukti kecurangan—yang mereka sebut sebagai kejahatan—kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Tim relawan itu menemukan ada 73.715 dugaan kecurangan dari sampling 477.021 TPS. Koordinator tim relawan Mustofa Nahrawardaya menyebut total kecurangan mencapai 15,4 persen. Kecurangan terjadi di setiap provinsi. Yang terbesar terjadi di lima provinsi. Di Jawa Tengah tertinggi, mencapai 7.666 kasus. Lalu Jawa Timur mencapai 5.826 kasus, Sumatera Utara 4.327 kasus, Sumatera Selatan 3.296 kasus dan Sulawesi Selatan 3.219 kasus.
Dugaan kecurangan itu antara lain jumlah kehadiran warga yang mencoblos dengan total suara tidak sama hingga jumlah total suara untuk 01 ataupun 02 tidak cocok. “Anomali lain, suara total tidak cocok 01, 02 dan tidak sah; jadi suara 01, 02, ditambah tidak sah ternyata nggak cocok dijumlahkan. Ini menarik sekali jumlahnya ada 8.279. Lalu suara 01 melebihi kehadiran ada di 2.394. Suara 02 melebihi kehadiran 1.124 jumlah kehadirannya lebih,” ungkap Mustofa.
KPU membantah tudingan adanya kecurangan melalui Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) dalam sidang dugaan pelanggaran administrasi Pemilu terkait Situng KPU di Bawaslu RI, Rabu (8/5).
Perwakilan Biro Hukum KPU, Setya Indra Arifin, mengatakan bahwa sistem tersebut dibuat semata untuk keterbukaan informasi Pemilu dan tidak ada maksud melakukan kecurangan. Ia membantah bila lembaganya melalui Situng KPU telah menguntungkan salah satu kandidat, dalam hal ini pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Maruf Amin.
Dalam sanggahannya, KPU mengakui pernah ada kesalahan input data ke Situng. Namun, sebanyak 35 dari 49 kesalahan yang ditunjukkan BPN sudah diperbaiki datanya. Pihaknya mengungkapkan, hingga 6 Mei 2019 ada 244 temuan terkait kekeliruan angka pada situng yang telah dan sedang dilakukan proses perbaikan. Dari 244 kesalahan itu, 68 di antaranya merupakan hasil laporan masyarakat, sementara 176 kesalahan diketahui berdasarkan monitoring yang KPU lakukan.
Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, sidang Bawaslu masih terus berlangsung dan belum sampai pada keputusan. Pihak BPN meminta agar penghitungan melalui Situng dihentikan dan hanya menggunakan penghitungan manual.
Suara Siapa?
Fenomena Pemilu kali ini menunjukkan adanya pergeseran kedaulatan rakyat yang menjadi prinsip dalam sistem demokrasi. Rakyat seharusnya menentukan sepenuhnya siapa yang akan menjadi pemimpinnya, juga wakil rakyatnya, secara langsung. Faktanya sudah berubah. Juru hitunglah yang akan menentukan siapa yang akan memimpin negeri ini.
Berdasarkan fakta di lapangan sebenarnya sudah dapat diketahui siapa yang dikehendaki rakyat. Dari dua pasangan calon penguasa yang bertarung, masyarakat lebih banyak memilih pasangan Prabowo-Sandi. Setiap kampanye pasangan ini selalu dihadiri rakyat dalam jumlah yang masif. Sebaliknya, pasangan petahana Joko Widodo-Ma’ruf Amin kurang diminati rakyat. Acara kampanye mereka sepi. Bahkan di beberapa tempat acara deklarasi dukungan terhadap pasangan ini harus dibatalkan karena tidak ada yang hadir kecuali panitia.
Menurut wartawan senior Asyari Usman, tidak sinkronnya fakta di lapangan dengan hasil penghitungan sementara yang ada—memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf—sangat mengherankan. “Di negara-negara lain di Eropa, misalnya, keramaian kampanye selalu diterjemahkan pada kemungkinan yang 99,9 persen menang. Kalau hari ini ramai, di mana-mana ramai, itu orang akan menafsirkan that is it inilah presiden kita, inilah perdana menteri kita. Namun, di sini lain, bisa tidak sejalan. Sesuatu yang tidak alami ini hanya terjadi di Indonesia. Saya heran, Anda heran dan publik secara umum pun heran,” kata mantan wartawan BBC London ini.
Tak ada yang menjamin semua proses penghitungan berlangsung secara jujur dan adil. KPU sepertinya harus mengikuti hasil perhitungan lembaga quick count (QC) yang telah mengumumkan hasilnya beberapa saat setelah pesta demokrasi itu berlangsung. Dalam pengamatan masyarakat, Situng KPU selalu berada pada angka hasil QC. Kalau pun berubah, misalnya Prabowo-Sandi menang, itu hanya berlangsung beberapa saat dan kembali ke hasil semula. Ada apa?
Desakan untuk mengadakan uji forensik lembaga QC yang sejak awal memenangkan petahana pun tak berani dilayani. Para pegiat QC laksana hilang ditelan waktu. Tak bersuara. Logikanya, jika perhitungan itu benar adanya, tantangan itu akan dilayani untuk membuktikan kebenarannnya. Demikian pula kubu petahana seharusnya senang dengan uji forensik itu jika benar-benar merasa menang dengan suara riil. Malah yang terjadi justru menyatakan bahwa tidak ada kecurangan dan pihaknya tak mungkin berbuat curang.
Nanti, suara rakyat tak lagi ditentukan oleh diri mereka sendiri sebagaimana prinsip-prinsip demokrasi. Siapa yang terpilih sepenuhnya adalah hasil perhitungan. KPU-lah yang menentukan. Di tangan mereka, semua bisa terjadi. Yang menang bisa kalah. Sebaliknya, yang kalah bisa menang. Sistem perhitungan sepenuhnya di bawah kendali mereka. Secanggih apapun sistem informasi yang dibangun sangat ditentukan oleh kemauan si perancangnya. Sistem informasi hanyalah alat.
Kedaulatan Abal-abal
Keputusan KPU yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan pasti akan menimbulkan gejolak. Sebagai pemilik kedaulatan sejati dalam sistem demokrasi, rakyat berhak menuntut pemenuhan kedaulatannya itu. Wajar bila mereka marah karena kedaulatannya itu dirampas oleh pihak lain.
Bagi rakyat dalam sistem ini, kedaulatan adalah segalanya karena akan menentukan arah kehidupan ke depannya. Perampasan atas kedaulatan melahirkan kedaulatan abal-abal alias palsu. Pemungutan suara yang dilakukan dengan dana yang sangat besar mencapai Rp 24,5 triliun menjadi tak ada gunanya.
Makanya, muncul wacana untuk mengadakan gerakan rakyat atau people power. Wacana ini muncul atas reaksi ketidakberesan dalam penghitungan suara rakyat. Berbeda dengan Pemilu pada tahun-tahun sebelumnya, saat ini masyarakat bisa mendapatkan informasi dengan sangat cepat dan terbuka melalui media sosial. Semua kejadian di berbagai tempat meluncur sangat deras melalui smartphone mereka. Kecurangan pun mereka abadikan dengan video dan kemudian dibagikan/di-share saat itu juga. Dalam bahasa awam, rakyat sekarang lebih sulit dibohongi karena semua begitu transparan. Kondisi ini sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu saat masyarakat belum peduli dengan nasibnya.
Saking khawatir dengan kedaulatannya yang terampas, rakyat pun berteriak meminta tolong pihak/lembaga asing mengamati proses yang terjadi. Mereka ingin ada observer (pemantau) asing. Harapannya, pihak asing bisa bersifat netral dalam menilai pelaksanaan pemilu kali ini. Namun, niat itu tak terwujud karena alasan kendala teknis dan waktu yang mepet. Kalau pun ada, itu hanya observer individu, bukan lembaga besar seperti sebelumnya.
Pecah-Belah
Dalam situasi seperti ini, suara-suara lantang menyuarakan pengembalian kedaulatan kepada rakyat nyaring terdengar. Tokoh-tokoh panutan mulai meragukan kinerja KPU. Lebih dari itu, mereka mulai mengajak masyarakat mempersiapkan diri untuk melakukan gerakan rakyat bila suara rakyat dirampas.
Wacana mengulang Gerakan 212—yang dulu diarahkan untuk menuntut keadilan atas penghinaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok—hidup lagi. Gerakan itu dipandang cukup efektif. Tanpa kekerasan, tetapi memiliki daya tekan yang besar. Terbukti, Ahok akhirnya harus diadili dan kemudian dijebloskan ke penjara karena terbukti dengan sah telah melakukan penghinaan terhadap ajaran Islam.
Dalam situasi seperti ini, muncul upaya memecah-belah kekuatan yang dianggap berhadapan langsung dengan rezim berkuasa. Tokoh-tokoh kawakan yang dulu dikenal sangat anti Islam tampil lagi ke permukaan. Salah satunya AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Ia mengingatkan sejumlah WNI keturunan Arab tidak menjadi provokator. Ia menganggap apa yang diserukan oleh keturunan Arab itu sebuah provokasi untuk berbuat makar. Dengan posisi yang mulia di tengah masyarakat, Hendro mengimbau agar para warga keturunan Arab supaya mengayomi masyarakat. “Jangan malah memprovokasi revolusi, memprovokasi untuk turun melakukan gerakan politik jalanan. Itu inkonstitusional,” katanya di Jakarta Selasa (7/5/2019).
Oleh banyak kalangan ucapan Hendropriyono ini dinilai berpotensi memecah-belah. Calon presiden Prabowo melihat pernyataan tersebut bersifat rasis dan berpotensi mengadu-domba dan memecah-belah anak bangsa. Pernyataan Hendro itu juga bernada ancaman. “Ini lebih memprihatinkan karena juga ada nada ancaman. Kemudian juga, ini dilakukan oleh seseorang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan saat ini,” kata Prabowo.
Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD melontarkan tudingan bahwa provinsi yang memilih Prabowo-Sandi adalah provinsi garis keras. Itu dia sampaikan dalam wawancara dengan sebuah televisi swasta. Potongan video berdurasi 1 menit 20 detik itu viral di medsos.
Tudingan Mahfud ini menimbulkan polemik. Ia dianggap justru memecah-belah. Bila provinsi yang mendukung Prabowo dianggap (Islam) garis keras, apakah provinsi yang mendukung Jokowi adalah non-Muslim garis keras. Akhirnya, Mahfud MD pun meminta maaf atas pernyataannya.
Jauh sebelum pelaksanaan Pemilu, upaya memecah-belah ini pun dilontarkan oleh kubu petahana dengan menyebut bahwa kubu lawannya terindikasi mendukung Khilafah dan berkumpulnya kalangan radikal. Namun, upaya pecah-belah itu tak berhasil.
Peran Pemodal
Tak bisa dipungkiri, Pemilu bukanlah sekadar pemilihan pemimpin nasional. Banyak kepentingan yang ikut dalam kontestansi ini. Yang terutama adalah para pemilik modal dan para konglomerat. Bila dulu mereka hanya menjadi pemain pinggiran, kini mereka sudah masuk ke tengah medan laga politik demi memuluskan bisnis-bisnis mereka.
Sudah dimaklumi, demokrasi memerlukan biaya tinggi. Tak mungkin seseorang hanya merogoh kocek pribadi. Sebagaimana sudah terungkap ke publik, hampir semua penguasa dari daerah hingga ke pusat butuh dukungan finansial dari kalangan pemodal. Bahkan Jokowi dulu menjadi gubernur DKI pun atas dukungan keluarga Prabowo, yang dikenal kaya.
Ada simbiosis mutualisme antara politikus dan pemodal. Makanya, peran pemodal sangat signifikan. Berbagai proyek para konglomerat memerlukan legitimasi penguasa. Itulah mengapa pemodal ikut mengarahkan dan berkorban uang untuk menentukan siapa yang akan menjadi penguasa. Tentu bukan orang yang akan menghalangi bisnisnya, tetapi memuluskan jalan usahanya.
Bahkan cara para pemodal itu tak hanya dilakukan dengan memodali para politikus, mereka terjung langsung dengan membangun partai politik. Ini adalah langkah potong kompas dalam menentukan kebijakan negara karena mereka paham wakil rakyat menentukan arah kebijakan rezim.
Selain itu mereka menggunakan media massa guna mengarahkan opini rakyat. Sudah rahasia umum, semua media massa mainstream dimiliki oleh para konglomerat. Media massa inilah yang sekarang pun terlihat keberpihakannya kepada petahana. Mereka tak lagi memegang prinsip-prinsip jurnalistik yang hakiki, yang berada di tengah-tengah dan memikirkan rakyat serta penyambung lidah rakyat. Media menjadi penyambung lidah kekuasaan dan para pemilik modal. Mereka bahkan telah kehilangan daya kritisnya.
Dalam proses Pemilu, peran media massa ini begitu kentara dalam mengarahkan siapa yang akan menjadi pemenang dan siapa yang harus dikalahkan. Mereka yang tak sejalan dengan keinginan penguasa akan ditekan. Ini yang dialami oleh beberapa media yang cukup kritis. Tak boleh menyiarkan ini dan itu oleh rezim.
Akhirnya, media mau tak mau harus mengikuti arus informasi yang dirancang. Ketika lembaga quick count menentukan siapa yang memenangi Pemilu, media pun menyiarkannya tanpa mengkritisinya. Karena itu orang awam pun bisa menangkap adanya kolaborasi antara media massa dan lembaga survei.
Kalau sudah begitu, lagi-lagi suara rakyat yang katanya dijunjung tinggi dalam demokrasi, hanyalah basa-basi.
Penutup
Demokrasi sebagai sebuah sistem meniscayakan pengambilan suara rakyat. Namun, demokrasi tidaklah otomatis suara rakyat. Demokrasi hanya ditentukan oleh sebagian kecil orang yang memiliki akses dan mengendalikan para politisi.
Teori politik ala Machiavelli (1469-1527) teraplikasi secara faktual dalam sistem ini. Bagi Machiavelli, seperti terungkap dalam bukunya, Il Principe, dunia politik itu bebas nilai. Artinya, politik jangan dikaitkan dengan etika (moralitas). Yang terpenting dalam politik adalah bagaimana seorang raja/penguasa berusaha dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan agar menjadi selanggeng mungkin meskipun cara-cara tersebut inkonstitusional bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral.
Segala cara dilakukan demi kekuasaan. Itu sah-sah saja dalam demokrasi. Masih mau berharap pada demokrasi? [Humaidi]