Muhasabah

Di Balik Sertifikasi Da’i

Sejak diumumkan sebagai Menteri Agama pada Oktober 2019, Fachrul Razi telah mencanangkan adanya sertifikasi para da’i.  “Kita memang punya program itu, tapi belum tahu namanya apa. Ini baru perkiraan saja waktu disinggung pada rapat yang lalu, kira-kira namanya ‘ulama bersertifikat’. Kalau enggak salah seperti itu. Nanti kita rumuskan seperti apa,” jelas Menag kepada awak media di Kantor Kemenag (22/11/2019).

Ulama/kiai/da’i/mubalig atau penceramah bersertifikat?  Berbeda dengan tanah yang bersertifikat, istilah ulama/kiai/da’i/mubalig atau penceramah bersertifikat sangat problematik dan penuh politicking.  Muncul pertanyaan.  Siapa yang berwenang menetapkan si A boleh berdakwah dan si B tidak boleh?  Siapa yang berhak menentukan ajaran Islam yang boleh disampaikan hanyalah ini dan itu, sementara yang lain tidak boleh disampaikan?  Bukankah dakwah itu kewajiban? Melarang seseorang berdakwah berarti melarang dia melakukan kewajiban?  Bukankah semua ajaran Islam harus disampaikan? Menyembunyikan satu ayat atau ajaran Islam saja merupakan tindak kriminal?

Banyak pertanyaan lain.  Tak heran banyak orang menaruh keanehan atau kecurigaan: ada ‘udang di balik batu’.  “Aneh, Sertifikasi Halal akan dihapus, kok malah ada Sertifikasi Da’i?” kata Pak Helmi.

Pada September 2020 program itu mulai dijalankan. Ramailah masalah sertifikasi para ustadz/mubalig.  Tujuannya untuk mencegah radikalisme.  Dalam suatu kesempatan, pada 2/9/2020 dalam webinar bertajuk, “Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara”, di kanal YouTube Kemenpan RB, Facrul mengatakan, “Caranya masuk mereka gampang. Pertama, dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arabnya bagus, hafizh (hapal al-Quran), mereka mulai masuk.”

“Orang itu pun perlahan-lahan bisa mendapatkan simpati dari para pengurus dan para jemaah masjid,” lanjutnya.

“Salah satu indikatornya, orang tersebut dipercaya menjadi imam hingga diangkat menjadi salah satu pengurus masjid,” katanya.

Tampak ada tudingan bahwa salah satu sumber radikalisme adalah orang yang kelihatan baik perbuatannya alias “good looking”.  “Gawat nih. Orangtua akan khawatir kalau anaknya rajin mengaji, menghapal al-Quran, puasa Senin-Kamis, tahajud, selalu menjaga wudhu dan lain-lain.  Good looking, takut radikal.  Sementara, boleh jadi akan tenang sekalipun anaknya tidak bisa shalat, tidak bisa wudlu, tuna baca al-Quran, seks bebas, tiap pekan nonton konser hingga larut malam, dsb.  Dasar jaman edan!” ucap Mas Roki sambil menahan emosi.

Reaksi pun bermunculan.  Ini adalah program deradikalisasi.  Ustadz milenial, Felix Shiauw menanggapi, “Program deradikalisasi dari penguasa sebenarnya adalah deislamisasi,” unggahnya di Instagram.  “Ukuran radikal apa? Kasih tahu dong? Jangan jadi bola liar, ditentuin seenak-enaknya,” katanya.

Terkait dengan radikal good looking yang kini sedang heboh, Felix menyampaikan, “Menag jelas menawarkan solusi, agar pengurus masjid itu dari pemerintah, agar bisa kendalikan aktivitas masjid.”

Ia segera menambahkan, “Persis seperti di Cina”.  “Logis juga,” komentar Pak Tatang.

“Saya orang Islam. Bangga terhadap Islam,. Bangga dengan al-Quran dan yakin selamat dunia akhirat dengan Islam,” ujar Eddy Mulyadi (7/9/2020).

“Pak Fachrul, apa salah kami, orang Islam, kepada Anda?  Mengapa sejak awal menjadi Menteri Agama menunjukkan kebencian terhadap Islam?  Banyak tindakan yang telah menyakitkan hati umat Islam,” tambah Sekjen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama) itu.  Beliau pun menuntut Menag bertobat dan minta maaf.

Tak kurang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak upaya sertifikasi para pengemban dakwah Islam itu.  Dalam pernyataan sikap MUI bernomor Kep-1626/DP MUI/IX/2020 disebutkan: “Rencana sertifikasi Da’i/Muballigh dan/atau program Da’i/Muballigh bersertifikat sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Agama telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman dan kekhawatiran akan adanya intervensi Pemerintah pada aspek keagamaan yang dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengontrol kehidupan keagamaan. Oleh karena itu MUI menolak rencana program tersebut.”  Tegas.

MUI pun menolak adanya pihak-pihak yang mengaitkan radikalisme dengan ulama, dai/muballig dan hafizh serta tampilan fisik.  Tentu, di dalamnya termasuk Menteri Agama.  Sebab, program sertifikasi itu justru muncul karena adanya pengaitan radikalisme dengan para pengemban Islam.  Tertulis dalam pernyataan tersebut: “Menghimbau kepada semua pihak agar tidak mudah mengaitkan masalah radikalisme dengan ulama, dai/mubalig dan hafizh serta tampilan fisik (performance) mereka, termasuk yang lantang menyuarakan amar makruf nahi mungkar bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Namun, sekalipun MUI menolak program itu, ternyata logo MUI terpampang pada backdrop acara bimtek penceramah bersertifikat.  MUI pun protes.  Buya Anwar Abbas menegaskan, “MUI tidak ada hubungannya dengan acara yang diselenggarakan Kemenag tersebut” (17/9/2020).

“Untuk itu, MUI sudah menegur pihak terkait dan telah berjanji akan memperbaikinya,” ujar Sekjen MUI tersebut.

Penolakan terhadap sertifikasi para pengemban dakwah Islam itu wajar.  Bagaimana tidak, secara hukum, dakwah itu kewajiban dari Allah SWT.  Bahkan, Nabi saw. bersabda, “Sampaikanlah apa yang dariku sekalipun satu ayat.” (HR al-Bukhari).

Yang harus disampaikan itu semuanya. Yang harus diimani itu semuanya.  Pada sisi lain, ada dua hal menarik.  Pertama, dilakukan sertifikasi dai/mubalig/ulama.  Artinya, ada pembatasan-pembatasan yang dilakukan.  Ada kontrol terhadap penceramah. Meminjam istilah MUI, ada intervensi pemerintah.  Intervensi terhadap orang dan materi yang disampaikan.  Orang disaring dan materi pun disaring.  Apa tolok ukurnya?  Tentu, kepentingan pihak yang mengeluarkan sertifikasi.  Hal ini pernah terjadi pada zaman Orde Baru.  “Teks khuthbah saja harus diperiksa dulu, kok,” ujar Pak Dede.

Kedua, arah dakwah bukan untuk membangun orang yang paham bahasa Arab, mencintai al-Quran, membaca dan menghapalnya, apatah lagi menjadi imam.  “Benar juga, kan kalau begitu jadi good looking.  Padahal, good looking disebut sumber radikalisme yang harus dienyahkan,” ujar Pak Wawan.

“Padahal, di dalam al-Quran kita itu harus membangun anak menjadi qurrata a’yun alias good looking,” tambahnya sambil membaca terjemahan surat al-Furqan ayat 74: Orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Bila demikian, Islam yang dikehendaki tampaknya Islam yang sudah ‘disertifikasi’ sesuai dengan kepentingan politik, Islam a la kapitalisme. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen − six =

Check Also
Close
Back to top button