The King
The King of Lip service. Tiba-tiba istilah itu muncul di akhir Juni hingga Juli 2021. Lip service merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk seseorang yang kata dan perbuatannya berbeda. Bicaranya indah, tetapi tak sesuai dengan kenyataan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) yang menyebut Presiden Joko Widodo sebagai “The King of Lip Service”.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Leon Alvinda Putra, menyampaikan: “Julukan ‘The King of Lip Service’ lantaran banyak permasalahan yang menjadi sorotan publik, yang juga dikawal oleh BEM UI dan beberapa elemen gerakan lainnya, yang tidak secara serius disikapi oleh presiden.”
Dia menambahkan, “Pernyataan yang disampaikan Presiden Jokowi terkait beberapa isu krusial seperti revisi UU ITE, isu penguatan terhadap KPK hanya angin segar belaka dan bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi di realita.”
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STH Indonesia Jentera, Renie Aryandani, “Menurut saya sendiri, julukan The King of Lip Service justru terlalu sopan jika dibandingkan dengan tanggung jawab pak Jokowi selama ini.”
“Janji manisnya justru terealisasi menjadi melemahkan pemberantasan korupsi, pengabaian terhadap pelanggaran HAM, atau bahkan justru menjadi aktor pelanggar HAM itu sendiri semata untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja,” tambahnya.
Faisal Basri membela pernyataan BEM UI. “Kalian pantas muak,” tegasnya. Hanya saja, Rizal Ramli menyampaikan kekhawatirannya. “Saya khawatir Gerakan mahasiswa ini hanya sampai di pembuatan meme,” ungkapnya.
Bila dilihat dari isinya, lip service itu mengandung perkataan dusta dan hanya manis kata. Janji hanya sebatas di kata-kata karenanya amanah pun diabaikan. Dalam ajaran Islam, ciri ini merupakan indikator kemunafikan. “Tanda-tanda orang munafik ada 3, jika berbicara ia berdusta, bila berjanji ia tidak menepati janjinya, dan apabila diberi amanah ia mengkhianatinya,” begitu sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Suatu sikap yang penting diwaspadai. Allah SWT berfirman dalam QS an-Nisa’ ayat 145 (yang artinya): “Sungguh orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.”
Tak lama berselang, pada 7 Juli 2021 gelar The King of Silent dilekatkan kepada Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Presiden Mahasiswa BEM KM Unnes Wahyu Suryono Pratama menyampaikan, “Nihil dan absennya Wakil Presiden Ma’ruf serta hanya menanggapi hal-hal yang bukan merupakan bagian dari domain tupoksi Wakil Presiden, maka BEM KM Unnes memberikan gelar kepada Wakil Presiden sebagai The King Of Silent.”
“Anehnya, dalam beberapa kali memberikan tanggapan di muka publik, ia justru hanya terkesan sebagai legitimator kebijakan Pemerintah dengan argumentasi dan klaim yang amat bias agama dan identitas, yakni agama Islam,” tulis BEM KM Unnes.
Kegeraman mahasiswa pun merembet kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Puan Maharani. The King of Ghosting disematkan kepada dia. Alasannya, menurut BEM Unnes, “Puan Maharani merupakan simbol DPR RI. Selaku Ketua DPR RI Puan memiliki peran yang cukup vital dalam pengesahan produk legislasi pada periode ini, khususnya pada masa pandemi, yang dinilai tidak berparadigma kerakyatan dan tidak berpihak pada kalangan rentan (UU KPK, UU Minerba, UU Omnibus Law Ciptaker dan seterusnya) serta tidak kunjung ada pengesahan RUU PKS yang sebetulnya cukup mendesak dan dibutuhkan pengesahannya.”
“Para mahasiswa ya wajar saja bilang begitu. Malah aneh kalau tidak demikian,” kata Mas Dody.
“Namun, setelah dilihat responnya biasa-biasa saja dari Pemerintah ada kemungkinan mahasiswa malah diam. Atau hanya sebatas meme,” tambahnya. “Tapi masih mending dari pada diam,” Kang Asep mengomentari.
Saya sampaikan, yang menarik adalah tiga gelar disematkan pada pucuk pimpinan negara The King of Lip Service, The King of Silent, dan The King of Ghosting. Hal itu menggambarkan sebuah kegalauan dalam diri pewaris masa depan bangsa ini. Kata kunci yang dapat diambil: berbeda kata dengan perbuatan, diam dan sebagai legitimator kebijakan, dan membuat aturan demi kepentingan tertentu.
Barangkali yang ada di benak masyarakat, kondisi saat ini masyarakat disuguhi oleh janji-janji yang sering tidak terbukti. Janji peduli rakyat, namun realitas lebih berpihak pada pengusaha. Lalu kondisi ini dibiarkan bahkan dilegitimasi. Aturan pun dibuat dengan ada ‘hidden agenda’ yang disusupkan. Ujungnya, yang muncul di permukaan kapal bangsa ini sedang mengarah ke utara, namun realitasnya justru ke selatan. Sadar atau tidak. Dari pikiran itu, tidak heran muncul ‘gelar’ tiga ‘The King’ itu. “Ini isyarat sedang terjadi lampu merah. Apalagi di tengah pandemik yang saat ini memuncak kembali,” tambah Mas Dody.
Siapa pun kita penguasa, perlu merenungkan sabda Rasulullah saw., “Sungguh kepemimpi-nan itu adalah suatu amanah dan pada Hari Kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan kecuali mereka yang mengambil kekuasaan itu dengan cara yang baik serta dapat memenuhi kewajibannya dengan baik sebagai seorang pemimpin.” (HR Muslim).
Kita juga patut menghayati sabda beliau, “Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.” (HR at-Tirmidzi, al-Nasai dan al-Hakim).
The King akan benar-benar membawa kebahagiaan apabila The King itu dalam ketaatan kepada Allah SWT. WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia].