Fokus

Perubahan dan Kemenangan

Bulan ini umat Islam memasuki tahun baru Hijrah, tahun 1443 H. Bagi bangsa Indonesia, sebagai negeri Muslim terbesar di dunia, bulan Muharram ini hendaknya juga bisa dijadikan momentum untuk melakukan perubahan secara fundamental dalam berbagai bidang. Apalagi pada bulan ini, Indonesia juga genap berusia 76 tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk sebuah bangsa menyongsong kebangkitan menjadi bangsa yang maju, baik dari aspek fisik maupu non-fisik.

 

Masih Memprihatinkan

 

1)        Carut-marut penanganan pandemi Covid-19.

Sejak awal pandemi, Pemerintah menunjukkan kegamangan dan ketidakkonsis-tenan dalam penanganan pandemi Covid-19. Para ahli sejatinya sejak awal merekomendasikan agar dilakukan karantina wilayah (lockdown) – sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan – untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19. Namun, yang diambil justru pendekatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)1.

Masyarakat dipaksa untuk membatasi mobilitas dan menghindari kerumunan. Namun, hajatan Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2020 tetap dilaksanakan. Termasuk memberikan ruang yang sangat bebas bagi masuknya tenaga kerja asing (TKA), khususnya Tiongkok, masuk ke Indonesia. Inilah yang membuat tingkat paparan kasus Covid-19 tak kunjung melandai.

Pertambahan kasus Covid-19 semakin massif. Diperburuk lagi dengan adanya beberapa varian virus Covid-19, khususnya varian Delta. Ini membuat Pemerintah menerapkan Kebijakan PPKM Mikro Darurat2 mulai tanggal 3-20 Juli 2021 untuk Jawa Bali, dan kemudian diperluas untuk 15 daerah lainnya di Luar Jawa Bali mulai 12 Juli 2021. Hal tersebut dilakukan di tengah pertambahan kasus harian yang tertinggi pada tanggal 15 Juli sebanyak 56.757 kasus dan angka kematian sebanyak 1.205 orang pada 16 Juli 2021.

Berubah-ubahnya kebijakan tersebut menunjukkan Pemerintah tidak memahami konsep dasar penanganan pandemi, yaitu memprioritaskan keselamatan manusia dibandingkan dengan kepentingan lainnya (ekonomi). Jika saja sejak awal diterapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown), kemungkinan besar saat ini pandemi Covid-19 sudah bisa diatasi dan masyarakat dapat melakukan aktivitasnya secara normal.

 

2)        Utang semakin menggunung.

Sampai Mei 2021, total utang Pemerintah mencapai Rp 6.418,5 triliun, melonjak 22% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 5.258,7 triliun. Pertumbuhan utang Pemerintah selalu berada di atas pertumbuhan PDB. Dalam kurun waktu setahun terakhir saja, kenaikan utang Pemerintah mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun.

Ketidaksinkronan tersebut memicu kekhawatiran kemampuan Pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang, termasuk menimbulkan risiko gagal bayar pada masa depan.3

Hal itu diperkuat oleh pernyataan Ekonom Senior INDEF, Prof. Didik J. Rachbini yang mengatakan Presiden Joko Widodo berpotensi mewariskan utang hingga Rp 10 kuadriliun pada akhir masa kepemimpinannya. Data menunjukkan bahwa utang yang ditanggung Pemerintah sudah mencapai Rp 8.670 triliun, yang terdiri dari utang untuk pembiayaan APBN serta utang BUMN yang harus ditanggung Pemerintah jika terjadi gagal bayar (default).

 

3)        Penguatan dominasi oligarki.

Periode kedua pemerintahan Jokowi ditandai dengan semakin menguatnya pengaruh oligarki dalam pengelolaan negara. Dalam kamus Merriam-Webster, oligarki diartikan sebagai kelompok kecil orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri mereka sendiri.

Hal tersebut bisa dibuktikan dengan semakin banyaknya produk kebijakan dan perundang-undangan yang menguntungkan oligarki. Sebagai contoh adalah UU No 3/2021 tentang Minerba, UU No 11/2021 tentang Cipta Kerja, UU No 19/2019 tentang KPK dan sejumlah produk regulasi turunannya. Berbagai kebijakan dan perundang-undangan tersebut jelas memberikan jalan lempang bagi para oligarki untuk menguasai berbagai sektor vital bagi masyarakat, memarjinalkan posisi masyarakat dalam pembangunan, dan tentu saja mengokohkan simbiosis mutualisme antara para oligarki dengan kelompok elite penguasa, termasuk para politisi.

Menguatnya oligarki ini juga bisa dilihat dari semakin tingginya kesenjangan di masyarakat. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin tetap terpuruk dalam kemiskinannya. Data menunjukkan bahwa total kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia sebesar Rp 1.696 triliun atau lebih besar dari Penerimaan Perpajakan dalam APBN 2018 yang sebesar Rp 1.618 triliun.

Korban terbesar dari praktik politik oligarki ini tentu adalah rakyat banyak. Karena dengan semua ini syahwat para elite politik makin tak bisa terkendali. Terbukti, nyaris semua kekayaan alam milik masyarakat dikuasai. Layanan publik juga dikapitalisasi. Bahkan uang negara pun dikorupsi.

 

4)        Pelemahan upaya pemberantasan korupsi.

Adanya revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019 merupakan bukti nyata adanya proses pelemahan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Melalui UU tersebut, sejumlah kewenangan KPK yang ada saat ini dihilangkan atau direduksi.

Melalui revisi UU KPK, telah ditetapkan bahwa untuk menyadap dan menggeledah terduga korupsi, KPK harus mendapat izin Dewan Pengawas. Dewan Pengawas diangkat oleh DPR, yang menjadi salah satu objek penyelidikan korupsi. Pegawai KPK pun sekarang resmi menjadi ASN. Para pegawai yang selama ini dikenal mempunyai kinerja yang tinggi, juga disingkirkan melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan (TWK).

Revisi UU KPK tersebut juga diiringi dengan usulan pembahasan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan yang memperingan hukuman koruptor dan memungkinkannya untuk bebas lebih cepat. Serangkaian upaya sistematis untuk melindungi koruptor di atas tentu, tentu membentuk persepsi publik bahwa memang ini adalah grand design dari DPR dan Pemerintah untuk melemahkan proses pemberantasan korupsi, yang nyata telah menjadi ancama banyak pihak, termasuk para oligarki.

 

5)        Penegakan hukum yang tebang pilih.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana hakim memvonis 4 tahun penjara bagi HRS untuk kasus RS UMMI, melengkapi vonis 10 bulan untuk kasus pelanggaran protokol kesehatan Petamburan dan Megamendung yang telah dijatuhkan sebelumnya.

Sebaliknya, untuk kasus pelanggaran protokol kesehatan yang serupa yang dilakukan oleh para pejabat atau politisi, seperti pada pendaftaran calon Pilkada Solo yang dilakukan Gibran putra Presiden Jokowi, terjadi pada kampanye Pilkada Bobby Nasution menantu Presiden di Medan, yang dilakukan Ahok dan Rafi Ahmad, Bambang Soesatyo, Habib Luthfi Bin Yahya di Pekalongan, dan beberapa kegiatan kunjungan Presiden Jokowi di Bogor, NTT dan daerah lainnya, tidak pernah dituntut ke pengadilan. Apalagi sampai dijatuhi hukuman sebagaimana HRS.

Itu semua menjadi bukti bahwa telah terjadi kriminalisasi dan diskriminasi hukum.

Contoh diskriminasi hukum lainnya adalah vonis yang dijatuhkan hakim banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas vonis Pinangki dari semula 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Padahal, dalam perkaranya, Pinangki jelas terbukti melakukan tiga perbuatan pidana sekaligus, yaitu penyuapan, pencucian uang dan pemufakatan jahat dengan terdakwa dan beberapa pihak lainnya. Seharusnya sebagai penegak hukum, vonis yang dijatuhkan lebih berat.

Beberapa contoh di atas membuktikan adanya diskriminasi atau tebang pilih dalam penegakan hukum.

 

Kemerdekaan Semu

Memang 76 tahun yang lalu, Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Namun pada kenyataannya, negara ini baru merdeka dari penjajahan secara fisik. Pada aspek lainnya, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, kita belum bisa dikatakan merdeka.

Dalam aspek ideologi, kita masih menerapkan ideologi yang dibawa oleh penjajah ke negeri ini, yaitu ideologi kapitalisme liberal.

Dalam aspek politik, diadopsi sistem demokrasi, yang meniscayakan hak untuk membuat hukum/undang-undang di tangan manusia, baik melalui DPR maupun Presiden. Mereka bisa membuat aturan yang aturan itu justru menyusahkan dan menimbulkan kedzaliman bagi rakyatnya. Sistem demokrasi juga hanya menghasilkan elit politik yang bermoral rusak, berperilaku korup, meraih jabatan hanya untuk memperkaya diri, serta berjuang untuk kepentingan kelompoknya dan para oligarki.

Demikian juga dalam aspek ekonomi. Praktik liberalisasi ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam berjalan dengan masif. Para pemilik modal atau kapitalis dapat dengan leluasa menjarah semua sumberdaya alam negeri ini dengan dalih investasi. UU Cipta Kerja yang sangat pro investor ibarat karpet merah bagi para kapitalis untuk mengeruk dan menguasai sumberdaya alam milik rakyat.

Hutan, perkebunan skala besar, pembangkit listrik, tambang mineral dan batubara serta tambang migas yang menguasai hajat hidup orang banyak dan seharusnya dikelola oleh negara atas nama rakyat, senyatanya sekarang telah menjadi milik asing atau investor. Rakyat tidak punya kesempatan untuk menikmati keuntungan dari berlimpahnya sumberdaya alam yang dimiliki.

Liberalisasi juga terjadi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan dan kesehatan nasional. Dengan adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), negara tak lagi sepenuhnya bertanggungjawab atas tersedianya layanan kesehatan. Melalui BPJS Kesehatan – yang sejatinya tak berbeda dengan asuransi kesehatan – rakyat sendiri yang harus bertanggung jawab untuk mengadakan layanan kesehatan bagi dirinya.

Dalam aspek sosial budaya, penjajahan juga berlangsung sangat intens. Budaya-budaya impor dengan leluasa masuk ke negeri ini hampir tanpa filter. Budaya asing tersebut kemudian memunculkan sikap individualistis, materialistis, pola pikir sekuler, hedonis, permisif, dan cenderung apriori terhadap agama.

Dalam aspek hukum, sudah ratusan tahun negara ini menggunakan sistem hukum yang ditinggalkan oleh penjajah, baik dalam ranah pidana, perdata maupun tata usaha negara. Rencana Revisi KHUP (RKUHP) yang sedang ramai diperbincangkan di DPR pun disusun masih dengan kerangka yang tak jauh beda dengan KUHP warisan Belanda.

Fakta-fakta di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa ini tak lebih dari kemerdekaan yang semu.

 

Harus Berubah

Oleh karena itu, agar bangsa ini bisa bebas dari pengaruh penjajah, maka harus dilakukan perubahan. Agar kita bisa mengubah itu semua, tenyu harus ada ikhtiar maksimal oleh bangsa Indonesia sendiri. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT (Lihat: QS ar-Ra’d [13]: 11).

Terdapat tiga hal yang mutlak harus disadari agar ikhtiar tersebut dapat mencapai tujuannya. Pertama: Memahami bahwa kondisi sekarang adalah kondisi yang rusak atau tidak diharapkan. Kedua: Memahami kondisi ideal yang diharapkan atau yang dicita-citakan. Ketiga: Memahami bagaimana proses perubahan harus dilakukan, agar kekuasaan itu digunakan untuk melayani umat (ri’ayah su’unil ummah).

 

Belajar dari Kegagalan

Pengalaman masa lalu bangsa ini telah memberikan kita banyak sekali pelajaran. Berbagai upaya perubahan akhirnya berujung pada kegagalan. Proses perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru dan dari Orde Baru ke Orde Reformasi terbukti tidak bisa mewujudkan perubahan sebagaimana yang diharapkan. Harapan membuncah waktu negara ini mengalami reformasi yang ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto. Namun, setelah lebih dari 20 tahun pasca reformasi, bukannya kebaikan dan kesejahteraan yang berhasil diwujudkan. Yang terjadi justru sebaliknya. Politik kita semakin oportunistik. Ekonomi kita semakin liberal. Tatanan sosial kita semakin permisif. Kehidupan masyarakat semakin individualistis dan hedonis. Kesenjangan juga semakin tinggi. Ketidakadilan hukum tetap saja terjadi.

Pelajarannya, ternyata agar perubahan itu betul-betul bisa mewujudkan perubahan yang hakiki, tidak cukup hanya bermodalkan semangat atau kesadaran akan adanya fakta kedzaliman atau kerusakan semata. Juga diperlukan kesadaran mengenai ke mana perubahan itu harus diarahkan.

Inilah yang disebut sebagai kesadaran ideologis. Rakyat tidak hanya menyadari pentingnya mengganti orang dan sistem yang rusak, tetapi juga memahami bahwa sistem pengganti yang baik dan seharusnya diperjuangkan itu hanyalah sistem yang diturunkan oleh Zat Yang Mahabaik. Itulah sistem Islam.

Rasulullah saw. telah mencontohkan kita bagaimana melakukan sebuah proses perubahan yang hakiki. Sejak beliau diutus menjadi rasul, aktivitas utama beliau adalah dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Beliau mengajak masyarakat agar mau menerapkan aturan Allah SWT dan bahkan siap memperjuangkannya. Dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. tidak semata berorientasi pada perubahan individual, tetapi berorientasi perubahan sistemik. Mengubah sistem sistem politik, sistem hukum, sistem ekonomi, dan sistem sosial budaya yang jahiliyah menuju sistem Islam yang sempurna.

Ketika Rasulullah saw. mengubah masyarakat dari jahiliah menjadi Islam, maka yang beliau lakukan adalah menerapkan Islam secara kaffah dengan menegakkan Daulah Islam di Madinah. Daulah Islam inilah yang secara efektif dapat menerapkan syariah Islam secara kâffah sekaligus mampu menyingkirkan berbagai sistem dan kehidupan jahiliah.

Karena itu jika ingin agar perubahan tersebut berhasil, tidak ada cara lain selain melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Tidak cukup hanya dengan mengganti orang yang memegang amanah kekuasaan, tetapi juga mengganti sistem rusak yang selama ini menjadi landasan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Sistem pengganti ini tidak lain adalah sistem Islam.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Fajar Kurniawan ; Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD)]

 

Catatan kaki:)

1        Peraturan Pemerintah  No. 21 Tahun 2020 tanggal 10 April 2020

2        Instruksi Mendagri No. 15 Tahun 2021

3        https://katadata.co.id/agustiyanti/indepth/60d60f741ce06/menghitung-risiko-gagal-bayar-utang-pemerintah-yang-dikhawatirkan-bpk

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

16 + fourteen =

Back to top button