Analisis

Perubahan Hakiki Kearah Islam

Ahmad Athiyath dalam kitabnya, Ath-Thariq (Dirasah Fikriyah fi Kayfiyati al-‘Amal li Taghyiri Waqi’I al-Ummati wa Inhadhiha) menjelaskan, “Sesungguhnya manusia tidak akan berpikir tentang perubahan kecuali jika ia mengindera di sekililingnya terjadi realitas kerusakan, keburukan atau kondisi yang seharusnya tidak terjadi.”

Karena itu perubahan itu selalu terjadi.  Keadaanya bisa kita lihat di dalam negeri ini maupun di luar negeri. Sejak NKRI  tahun 1945 dipimpin Soekarno, tahun 1965 terjadi perubahan kepemimpinan oleh Soeharto. Dari Orde Lama ke Orde Baru. Setelah Orde Baru, berubah lagi menjadi Orde Reformasi hingga saat  ini.

Demikian pula di luar negeri, seperti Timur Tengah. Sekitar tahun 2011 terjadi perubahan yang dikenal dengan “Arab Spring”. Rezim otoriter yang cukup lama berkuasa secara hampir bersamaan diruntuhkan oleh rakyatnya. Mulai dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Lybia, Yaman, Bahrain, Suriah dan Negara Timur Tengah lainnya.

Namun ternyata, rangkaian perubahan tersebut tidak menjadikan kondisi masyarakat lebih baik. Perubahan gagal. Apalagi jika melihat kondisi umat Islam yang mayoritas menjadi penduduk negeri-negeri tersebut. Keadaan ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan sosial kemasyarakatan justru kian memburuk.  Di negeri ini, “ibu pertiwi” kian bersusah hati.

 

Mengapa Perubahan Gagal?   

Tetapnya kezaliman, masih menyeruaknya ketidakadilan, masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, merupakan potret nyata dari kegagalan suatu perubahan. Contoh yang paling kasatmata adalah di negeri ini. Alih-alih kondisi  kehidupan masyarakat membaik, nyatanya semakin memburuk.

Faktor dari kegagalan tersebut adalah karena perubahan yang terjadi tidak pada persoalan pokok, bukan pada akar permasalahan. Padahal penyebab dasar kezaliman, ketidakadilan hukum, kesenjangan sektor ekonomi, hakikatnya karena sistem Islam tidak diterapkan. Sayangnya, perubahan yang ada tidak menyentuh persoalan akar itu. Perubahan yang terjadi tidak berdasarkan dan tidak sesuai dengan Islam.

Perubahan yang terjadi juga hanya pada tataran rezim (pucuk pimpinan dan kroni-kroninya), bukan pada sistemnya. Padahal akar persoalannya adalah sistem yang dijalankan oleh rezim.  Ibarat sebuah kendaraan yang rongsok, perubahan yang terjadi hanya pada sopir dan kondektur, sementara “mobil” (yang dimaksud dalam hal ini adalah sistem) tetap tidak berubah.  Masih menggunakan sistem Kapitalisme Liberal yang jelas-jelas tidak selaras dengan sistem Islam.

Sistem hukum (untuk memperoleh keadilan),  sistem ekonomi (untuk mengatus sumberdaya manusia dan alam), pranata politik (untuk menjalankan roda pemerintahan) dan sanksi hukum  (untuk menjamin stabilitas sosial kemasyarakatan) hakikatnya adalah perangkat sistem kehidupan yang menjadi  penentu corak kehidupan. Meski terjadi perubahan rezim,  puncak pemimpin politik tumbang, semua sistem tersebut tidak otomatis berubah jika memang tidak diubah.

Roda ekonomi masih dihela dengan sistem Ekonomi Kapitalis Liberal. Sumberdaya alam tetap dikuasai oleh Asing dan Aseng sebagai manifestasi Ekonomi Kapitalisme Oligharkhi. Sistem kehidupan politik tetap menjadikan Demokrasi sebagai nafas. Akibatnya, suara terbanyak dan politik uang dalam mekanisme pemilihan pemimpin kian merajalela. Kenyataanya kondisi sistem itu sampai detik ini tidak berubah. Wajar pada akhirnya perubahan yang diinginkan itu gagal.

Di bidang hukum justru keadilan kian semrawut. Peradilan alih-alih memberikan keadilan pada masyarakat, kondisinya justru menjadikan hukum sangat mudah diperjualbelikan. Hukum dalam sistem Demokrasi Kapitalisme tidak bedanya ibarat pisau. Tajam ke bawah tumpul ke atas.

 

Perubahan ala Rasulullah saw.

Semua fakta kegagalan perubahan tersebut harus menjadi bahan introspeksi yang sangat serius jika kita ingin melakukan perubahan ini secara serius. Bagi seorang Muslim, pada sosok Baginda Rasulullah saw. kita bercermin untuk melakukan perubahan ini.

Beliau melakukan perubahan yang nyata di Kota Makkah, dengan perubahan yang paling mendasar. Landasannya akidah Islam. Islam benar-benar dijadikan dasar oleh Baginda Rasul dalam visi dan misi perubahan yang beliau lakukan. Selama kurang lebih 13 tahun  Rasulullah saw. menancapkan pondasi pemikiran dasar perubahan tersebut.

Rasul saw. menghujamkan akidah Islam sebagai dasar perubahan. Pemikiran yang paling dasar ini menggambarkan visi-misi hidup seorang Muslim. Dari mana ia berasal; akan ke mana dia setelah terjadi kematian; lalu apa yang harus dilakukan. Ini adalah pemikiran dasar (akidah Islam).

Islam adalah pranata masyarakat yang dibangun atas dasar akidah yang jelas. Akidah “La ilaha illalLah Muhammad Rasulullah.”. Kalimat ini menjadi asas yang bersifat pemikiran terhadap Islam sebagai ideologi kehidupan (fikratun kulliyatun yanbatsiqu anha nizham), yakni bahwa di balik alam semesta dan kehidupan ini ada Allah yang menciptakan yang ada dari ketiadaan. Artinya pula, di sana tidak ada Tuhan selain Allah.

Perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah perubahan yang bersifat inqilabi (revolusioner). Artinya, bukan perubahan yang bersifat parsial dan tadarruj (bertahap).

Hal demikian karena kerusakan yang terjadi di Makkah saat itu realitasnya adalah kerusakan yang sistemik. Kebobrokan terjadi di berbagai sisi kehidupan yang saling kait-mengkait.  Islam memandang kondisi tersebut dengan zaman jahiliah (kebodohan).  Kerusakan masyarakat mulai dari akidah, kehidupan bermuaalah, bidang hukum, adat-istiadat dan sisi kehidupan bermasyarakat lainnya.

Dalam konteks kekinian, kerusakan yang terjadi ini bersifat sistemik dan ideologis. Karena itu perubahan yang dilakukan pun sejatinya adalah perubahan yang bersifat sistemik dan ideologis pula.

 

Inti Hijrah: Perubahan

Peristiwa Hijrah Rasulullah dan Sahabat sungguh menggambarkan hakikat momentum perubahan mendasar dan holistik tersebut. Hijrah Rasul saw. dari Makkah ke Madinah bukan sekadar perpindahan dari satu kota ke kota lain. Sebelum hijrah, ada peritiwa-peristiwa politik. Sebelum Rasul saw. hijrah ke Madinah ada Peristiwa Baiat Aqabah I  dan II.

Beberapa waktu sebelum Rasul berhijrah, beliau mengutus Sahabat  Mush’ab bin Umair untuk berdakwah di Madinah.  Mush’ab berhasil mengubah kondisi Madinah, mejungkirbalikkan pemikiran kafir dan  perasaan-perasaan yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat.  Di Madinah, mayoritas masyarakatnya masuk Islam. Mereka telah terpengaruh Islam, baik pemikiran maupun perasaannya.

Ketika datang musim haji, Mush’ab kembali ke Makkah dan menceritakan kepada Rasul tentang kaum Muslim, kekuatan mereka, berita-berita tentang Islam serta perkembangan penyebarannya. Dia juga menggambarkan masyarakat Madinah kepada Rasul, yaitu tidak ada hal lain yang terwacanakan di tengah-tengah masyarakat kecuali Islam.

Berdasarkan hal ini, keberadaan kekuatan Islam yang ada di Madinah dan kesiapan Madinah untuk menerima Rasul saw. serta pendirian Negara Islam di sana merupakan perkara yang mendorong Rasul saw untuk hijrah. Ini adalah penyebab langsung hijrah Rasul saw. (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyyah).

Dengan demikian peristiwa hijrah merupakan pembatas dalam Islam yang memisahkan tahapan-tahapan dakwah dengan upaya mewujudkan masyarakat dan negara yang memerintah dengan Islam, menerapkannya, dan mendakwahkannya dengan hujjah, bukti, dan dengan kekuatan yang melindungi dakwah ini dari kekuatan jahat dan kekufuran.

 

Perubahan ala Islam

Jika kita kaitkan dengan kondisi kekinian, konstelasi politik global yang dikooptasi oleh ideologi Kapitalisme (dan beberapa pelosok negeri dengan Sosialisme yang dimodifikasi dengan Kapitalisme), maka arah perubahan itu haruslah ke arah Islam. Apalagi dua ideologi yang sedang mendominasi dunia ini, Kapitalisme dan Sosialisme, telah nyata kegagalannya dalam memimpin dan mensejahterakan masyarakat dunia. Harapan dan arah perubahan yang benar dan baik itu tidak ada kecuali hanya pada Islam, ideologi kehidupan yang bersumber dari sang Pencipta manusia dan alam semesta.

Tentu manhaj, metodologi, atau cara perubahan yang dilakukan pun harus  sesuai dengan cara Islam, yakni sebagaimana cara yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.  Perubahan masyarakat yang dicontohkan Rasul bertumpu pada “perubahan pemikiran” dan tanpa kekerasan (fikriyyah la ‘unfiyah).

Setidaknya ada tiga tahapan (marhalah)  yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam mentransformasi masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam.

Pertama: Tahap pembinaan (marhalah tatsqif), yakni tahap pengokohan dan penancapan pemikiran yang diemban (marhalah ta’sisiyyah). Pemikiran baru yang diemban ini harus benar-benar diyakini dan tertancap secara mendalam dalam benak mereka yang ingin melakukan perubahan. Bahkan rahasia keberhasilan perubahan yang berlandaskan sebuah pemikiran ada pada tahapan ini. Rasul saw. menancapkan akidah Islam ke benak para Sahabat tidak kurang dari 13 tahun selama di Makkah. Pemikiran yang jernih, selaras dengan akal, menenteramkan jiwa dan kalbu akhirnya terhujam dengan kokoh di benak para Sahabat. Ini adalah modal paling dasar untuk kemudian melakukan tahap yang kedua.

Kedua: Tahap interaksi dengan masyarakat (marhalah tafa’ul ma’al ummah). Tahapan kedua ini adalah menyampaikan pemikiran atau ide perubahan kepada masyarakat dengan terang-terangan. Dilakukan dengan shira’ al fikri (perang pemikiran) dan kifah as-siyasiy (perjuangan politik). Setiap pemikiran dan ide yang rusak, ragam kebijakan politik yang menyengsarakan rakyat, harus dikritik dan dijelaskan kelemahan, kekeliruan dan akibat buruk terhadap kehidupan ber-masyarakat. Pada era Rasulullah, al-Quran mengecam dengan tegas dan gamblang ragam keyakinan dan kebiasaan buruk kaum jahiliah. Seperti Firman Allah SWT yang mengecam perilaku Abu Lahab.

Dalam kondisi sekarang, perang pemikiran dan perjuangan politik itu bisa kita contohkan saat kita menjelaskan kebobrokan ide Kapitalisme dan Sosialisme serta ragam turunan pemikiran lain yang menjadi nafas atas berbagai kebijakan politik. Sebagai contoh UU Minerba yang sangat berpihak kepasa Asing dan Aseng, UU Ketenagalistrikan yang menjadikan aset ini dikuasai oleh asing dan kian membebani kehidupan rakyat, UU Omni Bus Law, dan ragam pemikiran dan kebijakan yang dilakukan oleh rezim. Yang tidak kalah pentingnya kemudian dijelaskan pandangan Islam atas persolan tersebut dan solusinya.

Ketiga: Tahap transformasi kepemimpinan (marhalah istilamul hukmi).

Hijrah Rasulullah saw. adalah bentuk keberhasilan langkah yang ketiga ini. Saat itu masyarakat dan tokoh-tokoh Madinah (ahlul quwwah wal mana’ah) sudah siap memberikan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw. Peresmian transformasi kepemimpinan itu adalah ditandai dengan Baiat Aqabah kedua.

Peristiwa baiat ini diawali dengan datangnya rombongan haji  dari Madinah ke Makkah dengan jumlah yang cukup banyak. Mereka terdiri dari 75 orang kaum Muslim, yaitu 73 laki-laki dan dua orang wanita.

Rasul saw. menemui mereka secara rahasia dan membicarakan baiat yang kedua ini. Pembicaraannya tidak sebatas masalah dakwah dan kesabaran dalam menghadapi semua kesengsaraan saja, tetapi juga mencakup kekuatan yang akan mampu mempertahankan kaum Muslim. Bahkan lebih jauh dari itu, yaitu mewujudkan cikal-bakal yang akan menjadi pondasi dan pilar pertama dalam mendirikan Negara Islam. Sebuah negara yang akan menerapkan Islam di dalam masyarakat, mengembannya sebagai risalah universal ke seluruh umat manusia dengan membawa serta kekuatan yang akan menjaganya dan menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi di jalan penyebaran dan penerapannya (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyyah).

 

Perubahan Mendasar

Sangat jelas bahwa perubahan yang dibawa oleh Islam saat terjadi perubahan masyarakat jahiliah ke masyarakat Islam di Madinah adalah perubahan yang sangat mendasar dan secara inqilabiyah. Perubahan secara revolusioner. Karena realitas masyarakat ada memerlukan perubahan yang mendasar, menyeluruh dan  revolusioner. Perubahan yang hakiki, perubahan dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat Islam. Bukan sekadar perubahan kepemimpinan atau rezim. Namun, perubahan yang berasal dari akar dan sistemik.

Arus perubahan inilah yang sejatinya harus terjadi pada dunia dan kaum Muslim saat ini. Perubahan dari kondisi sistem Kapitalisme Liberal atau Sosialisme Komunis menuju masyarakat Islam. Perubahan yang akan benar-benar memberikan kebaikan pada masyarakat dan kehidupan alam semesta. Insya Allah. [Luthfi Hidayat]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + five =

Back to top button