Iqtishadiyah

Ancaman Default Utang Negara

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan para pengamat ekonomi dan keuangan mengkhawatirkan kenaikan utang pemerintah RI yang mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun selama pandemi Covid-19. BPK langsung mengungkapkan kekhawatiran pemerintah RI tidak akan mampu membayar utang dan bunga utang di masa depan1. Keberadaan Perppu 1 Tahun 2020, yang disempurnakan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020, yang menetapkan batas defisit anggaran melampaui 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan pandemi adalah faktor terbesar begitu membengkaknya utang Pemerintah. Pemerintah berargumen hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan defisit yang besar selama pandemi. Pembiayaan anggaran mencapai Rp 1.190,9 triliun. Sumber utamanya berasal dari pembiayaan utang yang mencapai Rp 1.226,8 triliun2.

Tercatat data hingga Mei 2021, total utang Pemerintah mencapai Rp 6.418,5 triliun, menanjak 22% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 5.258,7 triliun3. Audit yang dilakukan BPK setiap tahunnya juga mencakup review atas kesinambungan fiskal yang secara sederhana menggambarkan dampak dari kebijakan fiskal pada kondisi fiskal saat ini dan masa depan. Kekhawatiran semakin menjadi melihat tren penambahan utang yang cenderung ugal-ugalan dan jauh dengan pertumbuhan PDB yang seperti hampir tidak bisa bergerak maju. BPK juga melihat terdapat ketidakkonsistenan antara pertumbuhan utang, pembayaran bunga utang, penerimaan perpajakan, dan pertumbuhan PDB harga berlaku.

Kerentanan akan gagal bayar Pemerintah sudah terjadi pada waktu sebelumnya, BPK melihat data-data utang pada tahun lalu yang sudah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR). Debt service ratio (DSR) Pemerintah terhadap penerimaan mencapai 46,77, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang mencapai 19,06%, melampaui saran IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%.

 

Ancaman Gagal Bayar (Default)

Para pengamat memprediksi rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menghasilkan utang lebih dari Rp 10 ribu triliun atau Rp 10 kuadriliun di akhir kepemimpinannya. Menanggapi proyeksi tersebut, sejumlah ekonom sepakat bahwa utang Indonesia masuk kategori gawat. Maka dari itu, ancaman gagal bayar tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Skema terburuk dampak tumpukan utang adalah negara bangkrut apabila Pemerintah gagal membayar utang tersebut4. Sebuah negara dikatakan bangkrut apabila gagal membayar utangnya. Imbasnya, negara benar-benar di bawa kedalam jurang yang dalam karena kolaps membawa tumpukan utang.

Tercatat ada sejumlah negara yang kolaps akibat tumpukan utang. Tahun 2015 Yunani dinyatakan bangkrut. Penyebabnya karena gagal membayar utangnya yang totalnya mencapai 360 miliar euro (Rp 5.000 triliun). Rasio utang Pemerintah Yunani terhadap PDB mencapai 155,3% pada Mei 2015. Hal ini karena efek pengumpulan utang sejak bergabung dengan Uni Eropa pada awal 2000-an5.

Argentina sudah dua kali mengalami gagal bayar utang (default) pada 2001 dan 2014. Jumlah utang yang masih harus dibayar Argentina kepada para kreditur sebesar lebih dari US$ 1,3 miliar6.

Ada juga Venezuela yang pada 2017 masuk dalam krisis ekonomi. Saat itu Pemerintah Venezuela berencana meminta penundaan pembayaran utang kepada krediturnya, lewat refinancing atau restrukturisasi utang-utangnya7.

Ada juga Ekuador yang mulai anjlok sejak harga minyak jatuh di tahun 2014 silam. Dengan anjloknya harga minyak, penerimaan negara menjadi berkurang dan menyebabkan defisit fiskal yang parah. Guna menutupi defisit fiskal tersebut, pemerintah Ekuador mulai berutang di sana-sini. Utang domestik jangka pendek, penarikan cadangan bank sentral hingga penempatan utang luar negeri dengan biaya yang sangat tinggi dilakukan. Sejak 2014-2017 utang Ekuador naik signifikan hingga melebihi batas aman 40% dari total PDB8.

Pada 2008 ada kasus yang cukup buruk. Negara ini mengalami krisis dan menderita hiperinflasi. Saat itu Zimbabwe juga menanggung utang mencapai US$ 4,5 miliar. Zimbabwe menciptakan rekor inflasi tertinggi di dunia. Mereka dihadapkan dengan kenyataan angka inflasi hingga 11,250 juta persen pada Juni 2008. Zimbabwe melakukan langkah pemangkasan nilai uang untuk mengatasi perekonomian mereka yang semakin terpuruk itu. Tidak tanggung-tanggung, 10 miliar dolar Zimbabwe dipotong nilainya menjadi hanya 1 dolar Zimbabwe9.

 

Apa yang Mungkin Terjadi?

Dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme, default negara akan berkorelasi pada kehilangan kepercayaan dari investor. Akibatnya, pasar saham yang jadi salah satu komponen penting ekonomi kapitalisme mengalami kekacauan10. Kemudian semua lembaga keuangan akan mengalami kegagalan untuk melakukan antisipasi apapun terhadap kondisi default yang bergerak seperti efek domino. Setelah ini, dampaknya akan langsung terasa di masyarakat11. Program pendanaan kewajiban Pemerintah ke masyarakat seperti kesehatan, pendidikan dan dukungan fasilitas publik lainnya akan terhenti sehingga tidak ada lagi jaminan untuk masyarakat alias benar-benar hilang. Efek dominonya adalah masyarakat akan merasa resah sehingga terjadi kekacauan. Kekacauan ini karena masing-masing orang akan mencoba untuk menyelamatkan diri serta uang mereka12. Perbankan kemudian kolaps. Mata uang nasional negara tersebut berubah seketika menjadi tumpukan kertas biasa alias keruntuhan mata uang nasional.13 Yang paling berbahaya dan akan mengakibatkan penderitaan yang cukup perih ialah para pelaku bisnis dari yang paling raksasa sampai kelas plankton. Mereka tidak dapat menjalankan usahanya karena semua modal dan jerih payah mereka yang dihasilkan dalam bentuk mata uang nasional menguap seketika. Ketika usaha tidak berjalan sama sekali maka tidak ada penghasilan, tidak ada gaji untuk para karyawan. Pengangguran dimana-mana14.

Para pelaku bisnis/pabrik-pabrik tidak beroperasi. Kebutuhan barang di dalam negeri harus sepenuhnya impor dari luar negeri15. Karena full mengandalkan impor untuk bertahan hidup dan ekspor terhenti, mata uang terus membusuk. Terjadi tindak kriminal ekstrem seperti kerusuhan, penjarahan dan tindak kekerasan dimana-mana karena masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semua ini terus diperparah dengan tumpukan bunga utang yang terus berjalan dan berlipat ganda!

 

Langkah Semu Menghindari Default

Jalan yang selalu ditempuh negara-negara dalam menghindari default adalah dengan restrukturisasi. Argentina restrukturisasi utang sejak tahun 2002 dan berhasil. Begitu juga dengan kasus Nigeria Irak, Chili dan Pakistan. Terakhir utang Myanmar dari Jepang itu proses politik dan barter. Untuk Indonesia, IMF adalah yang sering membantu restrukturisasi utang nasional juga dengan beserta talangan. IMF dari waktu ke waktu kemudian membuat penyesuaian-penyesuaian agar jumlah utang terus dapat ‘diamankan’. Konsekuensi ‘diamankan IMF adalah adanya kehilangan aset negara yang sangat strategis. Pasalnya, dalam memberikan ‘pertolongan’ IMF akan memberlakukan banyak persyaratan. Persyaratan inilah yang merusak kedaulatan negara. Indonesia punya sejarah kelam saat berurusan dengan IMF. Bukannya keluar dari krisis moneter tahun 1998, Indonesia malah terjerumus ke dalam krisis ekonomi hingga memantik kerusuhan di bidang politik dan keamanan16. Presiden Soeharto meneken perjanjian dengan IMF. Hingga terjadinya momen ikonik yang begitu kelam, bos IMF saat itu Michael Camdessus menyaksikan momen penandatanganan tanggal 15 Januari 1998 itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada. Sementara Presiden Soeharto membungkuk untuk menandatangani Letter of Intent (LoI)17. Dari sini Pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar US$ 80 miliar. Inilah awal mula kasus korupsi megatriliunan yang belum tuntas di Indonesia. Kita sadari langkah-langkah menghindari default itu hanya berpindah dari satu lubang berbahaya ke lubang berbahaya lainnya. Selamat dari gagal bayar utang, namun masuk kepada bahaya kedaulatan karena dibawah kendali IMF.

 

Solusi Islam

Hal pertama dan paling pokok dalam sistem ekonomi Islam untuk menghindari negara default adalah memastikan tidak terlibat dengan sistem riba dalam bentuk apapun.18 Dengan itu tertutup 100% kemungkinan tumpukan bunga utang seperti yang saat ini.

Kedua, tidak terlibat dengan pasar uang dan turunan-turunannya yang amat rentan rusak dan memberikan efek domino kerusakan pada perekonomian nasional19.

Ketiga, memasang prinsip negara berdaulat yang mandiri dalam pengelolaan kepemilikan20, dengan pembagian kepemilikan yang jelas dan implementasi yang tegas, menutup setiap celah ketidakterserapannya sumber pemasukan negara. Contohnya tidak mengizinkan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang merupakan aset publik oleh pihak swasta sehingga semua hasil dapat masuk pada kas negara untuk keperluan masyarakat.

Keempat,  memastikan fungsi negara adalah selalu berada dalam jalur melakukan pelayanan kepada masyarakat21, membuat pengawasan para pejabat publik strategis agar tidak ada yang bermain kebijakan yang bukan untuk fungsi pelayanan publik, sehingga terhindarkan dari deal-deal korupsi model pengusaha-penguasa yang banyak menghasilkan kerugian negara sehingga harus memiliki anggaran defisit.

Kelima, secara tegas sejak awal berlepas dari lembaga-lembaga internasional yang membawa agenda penjajahan seperti IMF, World Bank dan sejenisnya22. Negara menolak semua rekomendasi dan tidak tunduk kepada lembaga-lembaga tersebut yang dicapai melalui kemandirian kekuatan diplomasi dan kekuatan militer negara yang siap mengawal.

Keenam, memegang prinsip efisiensi anggaran dengan audit yang ketat. Menjaga semua kebutuhan primer agar terus terpenuhi dan tidak banyak mengeluarkan anggaran untuk kebutuhan yang bersifat sekunder23. Contoh paling jelas dengan perbandingan kondisi Indonesia adalah jika dalam sistem Islam, negara saat dilanda pandemi maka kebutuhan primer adalah anggaran untuk mengentaskan pandemi dan menghentikan semua proyek yang tidak terkait seperti pengadaan infrastruktur jalan tol apalagi pembangunan ibu kota baru, apalagi tidak akan ada fasilitas dan tunjangan mewah untuk pejabat publik saat kondisi keuangan menuju defisit, fokus anggaran semua keluar untuk kebutuhan primer.

 

Penutup

Ancaman gagal bayar utang (default) adalah hanya sebagian contoh dari buruknya penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Negara-negara yang dijajah secara ekonomi tidak akan pernah bisa keluar dari bahayanya. Mereka hanya memiliki dua pilihan, yaitu memiliki utang dan tunduk pada negara pemberi pinjaman atau tunduk (menyerahkan kedaulatan) kepada lembaga-lembaga penjajahan innternasional. Bagi mereka yang serius menghendaki kebaikan bagi negerinya, tidak ada pilihan lain dan jalan keluar lagi selain melihat dan mengkaji sistem Islam sebagai jalan keluar dan turut bersama untuk mengembalikannya. Membangun negara dengan fondasi sistem Islam yang kokoh dan memasang bangunan kokoh yang membuat keuangan negara begitu tangguh dan tidak terlibat dalam jeratan utang berbahaya yang dapat membuat bangkrut dan menyengsarakan masyarakat.

WalLahu a’lam bish ash-shawwab. [Indra Fajar Alamsyah; International Islamic University Malaysia]

 

Catatan kaki:

1        https://money.kompas.com/read/2021/06/23/113716426/bpk-khawatirkan-bengkaknya-utang-pemerintah-di-era-jokowi?page=all

2        https://www.cnbcindonesia.com/news/20210713162147-4-260528/tangani-skenario-terburuk-covid-menkeu-diminta-lakukan-ini

3        https://www.liputan6.com/bisnis/read/4590744/utang-pemerintah-capai-rp-641815-triliun-pada-mei-2021-dari-mana-saja

4        Culpeper, R., & Kappagoda, N. (2016). The new face of developing country debt. Third World Quarterly, 37(6), 951–974.

5        Featherstone, K. (2014). External conditionality and the debt crisis: the “Troika” and public administration reform in Greece. Journal of European Public Policy, 22(3), 295–314.

6        Scott, S. M. (2019). Vultures, debt and desire: the vulture metaphor and Argentina’s sovereign debt crisis. Journal of Cultural Economy, 1–19.

7        Reinhart, C. M., & Santos, M. A. (2015). From Financial Repression to External Distress: The Case of Venezuela. Emerging Markets Finance and Trade, 52(2), 255–284.

8        Vidal, L. (2017). The political economy of Ecuador’s external debt default. International Review of Applied Economics, 1–23.

9        N. Mupunga & P. Le Roux (2016) Analysing the Theoretical and Empirical Foundations of Public Debt Dynamics in Zimbabwe, Studies in Economics and Econometrics, 40:1, 95-118

10      Guoxiang Song (2020) The drivers of the great bull stock market of 2015 in China: evidence and policy implications, Journal of Chinese Economic and Business Studies, 18:2, 161-181.

11      James F. Tracy (2012) COVERING “FINANCIAL TERRORISM”, Journalism Practice, 6:4, 513-529

12      Kathrin Berensmann (2017) The global debt governance system for developing countries: deficiencies and reform proposals, Third World Thematics: A TWQ Journal, 2:6, 863-881

13      Jonsson, S., & Söderberg, I.-L. (2016). Investigating explanatory theories on laypeople’s risk perception of personal economic collapse in a bank crisis – the Cyprus case. Journal of Risk Research, 21(6), 763–779.

14      Alberto Botta (2013) Fiscal policy, Eurobonds, and economic recovery: heterodox policy recipes against financial instability and sovereign debt crisis, Journal of Post Keynesian Economics, 35:3, 417-442.

15      Reinhard Wolf (2018) Debt, dignity, and defiance: why Greece went to the brink, Review of International Political Economy, 25:6, 829-853.

16      Ali Kutan & Brasukra Sudjana. (2003). Investor reaction to IMF actions in the indonesian financial crisis, The Journal of Policy Reform, 6:3, 181-190

17      Suryadinata, L. (1999). A YEAR OF UPHEAVAL AND UNCERTAINTY: The Fall of Soeharto and Rise of Habibie. Southeast Asian Affairs, 111-127.

18      Al-Maliki, A. (1963). As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla. (ttp.: tp.)

19      Al-Nabhani, T. (1990). Nidham al-Iqtisadi fi al-Islam. Beirut: Dar al Ummah.

20      Zallum, Abdul Qadim. (2004). Al-Amwal Fi Al-Daulah Al-Khilafah, Beirut: Daar Al-Ummah.

21      Al-Mawardi. (1980. Al-Ahkam AlShulthaniyah Wa Al-Wilayah Ad Diniyah. Beirut: Daar Al-Kutub AlAlamiyah

22      Meera, A.K.M. (2002). The Islamic Gold Dinar. Petaling Jaya: Pelanduk Publications.

23      Sayyid Abdurrahman Ibn Muhammad Ba’alawy. (tt). Bughyatul Mustarsyidin fi Talkhis Fatawa Ba’d Al-A’imah Min Al-Ulama Al-Muta’akhirin. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 5 =

Back to top button