Tiga Tipe Maksiat ‘Pengundang’ Musibah
Cianjur dilanda gempa (21/11/2022). Pada pekan depannya, alhamdulillah saya berkesempa-tan untuk mengunjungi beberapa posko pengungsian. Mulai dari daerah Cugenang, Pamokolan hingga daerang Nyengked. Tampak banyak rumah roboh. Sebagian ada yang atapnya hancur sekalipun dinding rumah tetap berdiri. Ada juga yang dindingnya retak-retak. Tidak sedikit atap rumah rata dengan tanah. “Ada korban meninggal sebanyak kurang lebih 600 orang,” ujar Ustadz Eri seorang tokoh di sana.
Tenda-tenda pengungsian pun bertebaran di mana-mana. Rona sedih tampak jelas di wajah-wajah para korban. Kehadiran para relawan yang datang membantu sangat dirasakan manfaatnya oleh warga. Bantuan makanan, minuman, tenda tempat tidur, pakaian, bantuan dana untuk perbaikan WC, mushala, dan rumah berdatangan. “Hatur nuhun pisan, bapak-bapak sudah datang. Semoga kebaikan bapak-bapak dibalas ku Allah SWT,” ujar Ibu Syarifah sambil menutup kedua matanya yang banjir air mata.
“Namun, musibah ini ada hikmahnya. Diantawisna, bapak-bapak bisa datang ke sini. Kalau tidak ada gempa mah bagaimana mungkin ibu bisa ketemu dengan para tokoh dakwah,” ujar ustadzah pengurus majlis taklim tersebut dengan tegar.
Ada hal yang menarik sekaligus mengagumkan. Pada saat saya berkunjung ke salah satu posko relawan Islam Selamatkan Negeri (ISN), banyak relawan di sana. Uniknya, para relawan yang ada di situ kebanyakan warga asli Cianjur. “Ini para relawan yang membantu korban. Mereka sebenarnya korban juga. Namun, mereka lebih memilih untuk menjadi relawan,” ujar ketua relawan posko itu.
Bahkan ada relawan yang istri dan anak-anaknya dibawa. “Tuh, tenda tempat menginap keluarga itu,” sambil menunjuk ke arah suatu tenda yang tidak jauh dari posko. Ma syaa Allah…TabarakalLaah…
“Antum semua lebih mengutamakan orang lain daripada diri sendiri. Sifat itsar (mendahulukan orang lain) sangat jelas antum miliki. Salah satu karakter pemimpin yang jarang dimiliki oleh kebanyakan pemimpin saat ini,” ujar saya kepada beberapa relawan yang sekaligus korban.
“Musibah ini ujian, Ustadz. Kita harus terima ketentuan dari Allah SWT. Terus berupaya untuk memperbaiki keadaan. Namun, jangan larut dalam sedih,” ujar Kang Indra, salah satu relawan yang juga korban. “Karenanya, kita punya semboyan di sini: Nyengked selalu senyum. Ini bagian dari mental recovery,” tambahnya sambil senyum.
Musibah perlu direnungkan sebagai sebuah ujian sekaligus teguran dari Allah SWT. “Ada 3 tipe dosa atau maksiat,” ujar Prof. Fahmi Amhar.
“Tipe pertama adalah maksiat langsung kepada Allah SWT seperti tidak shalat, berzina, meninggalkan shaum Ramadhan, dan sebagainya,” tambah Mas Fahmi (begitu sapaan akrab saya).
“Namun, ada tipe kedua yang sering dilupakan. Tipe kedua ini berupa pembuatan aturan yang bertentangan dengan aturan Allah SWT. Misalnya, memberikan ijin untuk menambang batubara kepada sekelompok orang. Padahal dalam Islam energi itu, termasuk batubara merupakan milik umum. Ini maksiat. Dosa. Contoh lain, ada peraturan yang membolehkan orang membuat bangunan di tempat yang sudah diketahui di situ diketahui pusat gempa. Ini maksiat,” tambahnya.
Segera beliau menjelaskan lagi, “Maksiat tipe ketiga adalah maksiat berupa membiarkan kemungkaran, khususnya terkait pada maksiat/dosa tipe kedua tadi. Orang yang berdiam diri dari kemaksiatan, tidak berupaya untuk mencegahnya, itu juga maksiat dan tentu berdosa.”
“Nah, kalau disebutkan bahwa musibah itu karena maksiat, ya tidak lepas dari ketiga tipe dosa tersebut. Bukan hanya tipe pertama,” simpulnya.
“Ooh, baru saja RKUHP disahkan. Apakah di dalamnya ada bentuk kemaksiatan atau dosa tipe kedua?” tanya Pak Duding kepada saya.
“Kita harus telaah lebih jauh. Lebih detail,” ujar saya. “Menurut KUHP tersebut, siapa pun yang dianggap menghina pemerintah atau pejabat bisa dihukum dengan alasan menghina presiden, DPR, pejabat negara dan sebagainya. Orang-orang yang kritis terhadap pemerintah dapat dijerat dengan dalih ‘menghina’. Padahal, kritik itu diperintahkan oleh Allah SWT. Bahkan Rasulullah saw. menyebut orang yang melakukan muhaasabah atau kritik terhadap kebijakan buruk penguasa sebagai sayyidusy syuhada yang kedudukannya setara dengan Sayyiduna Hamzah ra,” saya menambahkan.
Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berbicara di hadapan penguasa zhalim, ia melarang (berbuat munkar) dan memerintah (berbuat makruf), namun penguasa itu membunuh dirinya.” (HR ath-Thabarani).
Nabi saw. juga bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud).
“Jelas, membungkam suara kritis yang hendak menghentikan kezaliman penguasa merupakan suatu kemaksiatan,” simpul saya.
Di dalam KUHP tersebut juga ada larangan ‘paham yang bertentangan dengan Pancasila’. Tanpa ada penjelasan terhadap makna frase tersebut. “Fakta-fakta sejak zaman Orde Lama hingga belakangan ini selalu yang dianggap membahayakan Pancasila adalah kalangan Islam. Orang-orang yang hendak menerapkan Islam secara kaaffah dituding sebagai mengembangkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Jadi, ini untuk membungkam suara perjuangan umat Islam. Begitu, toh?”
Pak Duding berkomentar dengan semangat. Saya sampaikan kepada beliau, “Ini pasal karet. Betul, selama ini frase tersebut digunakan untuk membungkam dakwah Islam. Menghentikan perjuangan Islam. Jika benar frase itu untuk menghambat dakwah Islam atau mengkriminalisasi para pengemban dakwah, maka jelas itu adalah suatu dosa, suatu maksiat.”
“Bukankah dakwah itu wajib? Bukankah kehidupan kaum Muslim itu harus terikat dengan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan, harus kaffah? Kalau kewajiban ini dicegah, dihambat dan pelakunya dikriminalkan dengan berbagai dalih, bukankah ini suatu kemaksiatan?” saya coba menyimpulkan.
“Nah, dosa dan kemaksiatan kaya begini juga dapat menimbulkan musibah,” respon Pak Duding.
Saya segera sampaikan, “Bahkan musibahnya bisa lebih besar dari gempa bumi Cianjur. Hal itu akan mengundang musibah politik dan sosial berupa kehadiran penguasa otoriter. Ini musibah, mengutip Mas Fahmi, akibat maksiat atau dosa tipe kedua dan ketiga.”
Jadi, stop kemaksiatan dan dosa dalam segala tipenya.
WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]