
Akibat Cinta Dunia
Cinta dunia adalah penyakit yang menghantui setiap umat yang lupa diri ketika diberi limpahan kenikmatan dunia. Bukan bersyukur dengan mengerahkan segenap potensi kehidupannya untuk menghidupkan dunia dengan spirit Dîn-Nya, menjaga kehidupannya dengan syariah-Nya. Dia malah merusak kehidupan dunianya dengan mengabaikan ajaran-Nya.
Wabah Wahn Melanda
Tsauban ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
”Hampir saja umat-umat (kaum kuffâr) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadap hidangan di atas piringnya.” Kemudian seseorang bertanya, “Apakah karena kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah saw. berkata, “Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi, kalian bagaikan buih dalam gelombang lautan. Sungguh Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan Dia sungguh menimpakan dalam kalbu kalian ’wahn’.” Kemudian seseorang bertanya, “Apa itu wahn?” Rasulullah saw. berkata, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud dan Abu Nu’aim).
Rasulullah saw. memperingatkan fitnah akhir zaman, yakni terpuruknya umat hingga diporak-porandakan kaum kuffâr; diibaratkan (tasybîh) hidangan yang sedikit demi sedikit habis dimakan, dilumat hingga tak tersisa di hadapan mereka yang besar nafsu makannya. Hal itu terjadi tatkala umat terjangkit penyakit wahn, yang didefinisikan Rasulullah saw. sebagai fenomena cinta dunia takut mati, tidak mau berkorban memperjuangkan Din-Nya, sebagai bekal untuk kebaikan akhiratnya. Banyaknya jumlah mereka diibaratkan seperti buih di lautan, terombang-ambing dan tidak berpengaruh. Karena itu banyaknya mereka tidak menggetarkan musuh-musuh mereka. Mereka bahkan dikuasai, dikendalikan dan disesatkan dan terpedaya.
Istilah qalbu (kalbu) dalam bahasa Arab, diuraikan oleh para ulama, semisal al-Jauhari dalam Ash-Shihah, dengan konotasi akal-pikiran (lihat: QS al-A’raf [7]: 179; QS al-Hajj [22]: 46) yang terejawantahkan dalam pemikiran yang mengedepankan kemaslahatan duniawi, mengabaikan akhirat, melahirkan amal perbuatan yang materialistic oriented, berbahaya. Ini terjadi di antaranya—sebagaimana peringatan hadis lainnya—karena meniti sunan (jalan-jalan) kaum kuffâr: jalan pikiran dan budaya mereka.
Apa akibat cinta dunia dan takut mati ini? Hendaknya berkaca dari kisah Fir’aun dan Bani Isra’il yang binasa:
Sesungguhnya pada yang demikian terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya) (QS an-Nazi’at [79]: 26).
Kisah Fir’aun yang binasa menjadi pelajaran bagi Bani Isra’il dan umat sepanjang masa:
Ingatlah ketika Kami membelah lautan untuk kalian. Lalu Kami menyelamatkan kalian dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya, sementara kalian sendiri menyaksikan (hal demikian) (QS al-Baqarah [2]: 50).
Berkaca dari Kisah Bani Isra’il yang Terhina
Allah SWT telah melimpahkan ragam kenikmatan kepada kaum Bani Israil. Mereka dipimpin dan dibimbing oleh para nabi dari masa ke masa. Mereka diberi kenikmatan dunia di antaranya manna dan salwa. Mereka selamat dari kejaran diktator bengis, Fir’aun dan bala tentaranya. Mereka bahkan diberi kesempatan menetap di bumi yang mulia, Bumi al-Quds Palestina:
(Musa berkata), ”Hai kaumku, masuklah kalian ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagi kalian, dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh) sehingga kalian menjadi kaum yang merugi.” (QS al-Maidah [5]: 21).
Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Qashash al-Anbiyâ’ menjelaskan bahwa Allah mengingatkan Bani Israil agar bersyukur atas ragam nikmat agama dan dunia (lihat: QS al-Maidah [5]: 20). Allah menyelamatkan mereka dari Fir’aun. Lalu Allah menganugerahi mereka Bumi al-Quds Palestina. Namun, sayang beribu-ribu sayang, mereka menolak meraih kembali limpahan kebaikan-Nya hanya karena takut kepada kaum durjana (jabbârîn) di Bumi Al-Quds Palestina. Padahal mereka menyaksikan kebinasaan Fir’aun di depan mata, yang Allah jadikan sebagai role model bagi para pemimpin yang menyeru kepada neraka (QS. Al-Qashash [28]: 41). Allah menggambarkan keadaan mereka, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Mereka berkata, ”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasuki negeri itu sebelum mereka ke luar darinya. Jika mereka ke luar darinya, pasti kami akan memasukinya.” Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang telah Allah nikmat atas keduanya: ”Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal jika kalian benar-benar orang yang beriman.” Mereka berkata, ”Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja.” (TQS al-Maidah [5]: 22-24).
Menurut Ibn Katsir, kaum durjana yang dimaksud adalah kaum Hitsaniyyin, Fazariyyin dan Kan’aniyyin, dan lainnya. Mereka bahkan tidak lebih perkasa dibandingkan dengan Fir’aun dan bala tentaranya. Ini senada dengan sanggahan al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) atas berbagai keterangan batil isra’iliyyat, yang menyebutkan bahwa kaum Jabbarin ini berukuran raksasa (sangat besar). Raja kaum ini memasukkan 12 orang perwakilan Bani Israil ke dalam saku celana dan bajunya hingga salah seorang dari mereka, ‘Aun bin ‘Unuq, memiliki tinggi mencapai 3333 hasta (sekitar 1,5 km), itu semua bertentangan dengan dalil ‘aqli dan naqli.
Apa yang terjadi? Mereka menolak tegas, bahkan setelah menerima informasi penting dari dua hamba Allah yang mengetahui seluk beluk kelemahan kaum durjana ini. Relevan jika pembangkangan ini diadukan Nabi Musa as. hingga Allah menghukum mereka terlunta-lunta, tanpa tujuan, tanpa arah di Shahra’ (gurun) 40 tahun lamanya (Lihat: QS al-Maidah [5]: 25-26).
Itu semua cukup menjadi pelajaran bagi kaum yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya agar jangan cinta dunia yang justru mengakibatkan kerugian berlipat ganda, tak bisa meraih kebaikan dunia dan akhirat dari sisi-Nya.
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I (Peneliti Balaghah al-Quran & Hadits Nabawiyyah)]





