Nafsiyah

Menjemput NashrulLâh dengan Menolong DînulLâh

Menolong DinulLâh adalah upaya menjemput nashrulLâh (pertolo-ngan Allah), pertolongan bagi tegaknya Islam dalam kehidupan dan pertolongan agar teguh di atas Islam. Amal agung ini bukan sembarang amal, melainkan amal yang wajib dilandasi keimanan, bahkan menjadi tuntutan keimanan, sebagaimana isyarat agung dalam firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ  ٧

Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong agama Allah, Dia pasti akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (QS Muhammad [47]: 7).

 

Allah SWT mengawali seruan (khithâb) dalam ayat agung ini dengan seruan keimanan, agar orang-orang yang beriman menolong Dinullâh, menegakkan syariah-Nya dalam kehidupan dan mendakwahkannya. Istimewanya, secara kiasan Allah menisbatkan pertolongan hamba-hamba-Nya kepada-Nya. Padahal Allah Mahakuasa atas segala perkara. Dia tak membutuhkan pertolongan makhluk-Nya. Ini untuk menunjukkan betapa agungnya amal menolong agama Allah (Lihat: QS. Al-’Ankabut [29]: 6).

Al-Imam Abu Ja’far al-Nahhas (w. 338 H) dalam I’râb al-Qur’ân (IV/119) menjelaskan bahwa ungkapan tersebut merupakan kiasan (majâz) yang disebutkan Allah. Maksudnya adalah menolong Rasul-Nya, agama-Nya, syariah-Nya dan kelompok pembela agamaNya (hizbulLâh). Ini sebagaimana ditegaskan pula Imam ar-Razi dalam Mafâtîh al-Ghayb (VIII/42).

Asy-Syaikh Ibn al-’Utsaimin (w. 1421 H) dalam Syarh Riyâdh al-Shâlihîn (III/616) menjelaskan: “Yang dimaksud menolong Allah adalah menolong agama-Nya. Sebabnya, sesungguhnya Alah dengan Diri-Nya tidak membutuhkan pertolongan apapun. Dia Maha Berkecukupan dari selain Diri-Nya. Namun,  yang dimaksud pertolongan di sini adalah menolong agama Allah, dengan menjaga agama dan mempertahankan serta tegas menentang pelanggaran, dan lain sebagainya dari berbagai sebab pertolongan atas syariah-Nya.”

Ibn al-‘Utsaimin pun menjelaskan bahwa Allah melipatgandakan ganjaran perbuatan menolong agama Allah: Pertama, ganjaran yanshurkum (Allah menolong kalian), yakni Allah akan menolong kalian atas mereka yang memusuhi. Kedua, ganjaran yutsabbit aqdâmakaum (Allah meneguhkan kedudukan kalian), yakni Allah meneguhkan di atas agama-Nya. Menariknya, ungkapan agung yutsabbit aqdâmakum (Dia akan meneguhkan kaki-kaki kalian) merupakan bentuk kiasan (majâz mursal). Yang dimaksud adalah keseluruhan diri orang yang Allah teguhkan (ithlâq al-juz’i wa irâdat al-kulli). Hal ini menguatkan rasa, menggambarkan keteguhan, yakni teguh dalam membela Islam, serta teguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Demikian sebagaimana dialami para nabi dan rasul ’alayhim as-salâm. Ketika pertolongan itu tiba, maka tiada makhluk-Nya yang mampu menghadangnya:

إِن يَنصُرۡكُمُ ٱللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمۡۖ وَإِن يَخۡذُلۡكُمۡ فَمَن ذَا ٱلَّذِي يَنصُرُكُم مِّنۢ بَعۡدِهِۦۗ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ  ١٦٠

Jika Allah menolong kalian maka tak ada seorang pun yang dapat mengalahkan kalian. Jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja kaum Mukmin bertawakal (QS Ali Imran [3]: 160).

 

Wasiat Para Nabi ’alayhim as-Salâm

Baginda Rasulullah saw., berpesan kepada Ibn ‘Abbas ra. khususnya dan umat umumnya dengan pesan mendalam:

احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

Jagalah (agama) Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati Dia di hadapanmu (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).

 

Kalimat ihfazhilLâh merupakan majâz ‘menjaga agama Allah, yang karena itu Allah akan menjaga kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Ayat dan hadis di atas dijadikan oleh al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (I/465) sebagai salah satu dalil kaidah:

اَلْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ

Ganjaran amal itu sesuai dengan jenis amal perbuatan.

 

Artinya, siapa yang menjaga batasan-batasan syariah Allah (hudûdulLâh) dan hak-hak-Nya, maka Allah akan menjaga dirinya. Ibn Rajab pun merinci (I/465-468) bahwa bentuk penjagaan Allah atas makhluk-Nya mencakup dua hal: Pertama, penjagaan atas kemaslahatan dunianya, mencakup badan, anak keturunan, keluarga dan harta bendanya. Kedua, penjagaan atas agamanya. Ibn Rajab menuturkan:

مَتَى كَانَ الْعَبْدُ مُشْتَغِلاً بِطَاعَةِ الله فَإِنَّ الله يَحْفَظُهُ فِي تِلْكَ اْلحَالِ

Ketika seorang hamba sibuk dengan ketaatan kepada Allah maka sesungguhnya Allah akan menjaga dirinya dalam keadaan demikian.

 

Al-Imam Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dalam Syarh al-Arba’în al-Nawawiyyah (hlm. 369) pun menjelaskan: “(Allah menjaga dirimu), yakni menjaga dirimu, keluargamu, duniamu dan agamamu.”

Menjelaskan hadits ini, Syaikh Ibn al-’Utsaimin menuturkan bahwa ketika seseorang menjaga agama Allah maka Dia akan menjaga dirinya, hartanya, keluarganya dan agamanya. Yang paling penting: “Jika Allah menjaga agama Anda, maka Allah akan menyelamatkan Anda dari penyimpangan dan kesesatan, karena seseorang ketika mengambil petunjuk Islam, maka Allah akan menambah-nambahkan padanya petunjuk-Nya.”

Ini sebagaimana firman-Nya:

وَٱلَّذِينَ ٱهۡتَدَوۡاْ زَادَهُمۡ هُدٗى وَءَاتَىٰهُمۡ تَقۡوَىٰهُمۡ  ١٧

Orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya (QS Muhammad [47]: 17).

 

Hal ini mengisyaratkan bahwa perbuatan menolong agama Allah hakikatnya merupakan bentuk syukur seorang hamba atas nikmat beriman dan berislam. Diperjelas oleh wasiat para nabi dan rasul ’alayhim as-salâm-, Syaikh ’Atha bin Khalil dalam At-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr (hlm. 163-164) menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim as. menunaikan perintah Allah, tunduk patuh dan ikhlas kepada-Nya. Ini yang beliau wasiatkan kepada anak-anaknya. Begitu pula wasiat Nabi Ya’qub a.s. kepada anak-anaknya agar senantiasa berpegang teguh pada agama Allah, yang Allah pilih untuk mereka; juga agar mereka senantiasa berada dalam agama-Nya hingga mereka diwafatkan Allah dalam keadaan tunduk dan taat kepada Diri-Nya, tak pernah berpaling, selalu tunduk dan pasrah. Allah pun berfirman menggambarkan kaum Hawariyyîn pengikut Nabi Isa as.:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُوٓاْ أَنصَارَ ٱللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ لِلۡحَوَارِيِّ‍ۧنَ مَنۡ أَنصَارِيٓ إِلَى ٱللَّهِۖ قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِۖ فَ‍َٔامَنَت طَّآئِفَةٞ مِّنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَكَفَرَت طَّآئِفَةٞۖ فَأَيَّدۡنَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَىٰ عَدُوِّهِمۡ فَأَصۡبَحُواْ ظَٰهِرِينَ  ١٤

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penolong (agama) Allah, sebagaimana Isa bin Maryam telah berkata kepada para pengikutnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi para penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Para pengikut yang setia itu berkata, “Kamilah para penolong agama Allah.” Lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir. Kemudian Kami memberikan kekuatan kepada kaum yang beriman atas musuh-musuh mereka sehingga mereka pun menjadi kaum yang menang (QS ash-Shaff [61]: 14).

 

Perbuatan menolong agama Allah itu sendiri terealiasi ketika seorang Muslim mempelajari, mengamalkan, mendakwahkan serta membela Islam dari berbagai tikaman kaum yang terpedaya. Hal ini meniscayakan seorang Muslim pejuang untuk membekali dirinya dengan ketajaman pandangan (fikrah mustanîrah) dalam melihat berbagai celah yang bisa merusak umat Islam. Ia pun memiliki kesadaran untuk mengidentifikasi akar masalah dan menghadirkan solusi Islam atasnya (al-wa’y al-siyâsî). Ini sebagaimana karakter para pejuang Islam generasi teladan umat ini, yakni Rasulullah saw. dan para Sahabatnya. Meneladani mereka adalah keberuntungan. Al-Imam al-Alusi (w. 1270 H) dalam Rûh al-Ma’âni (I/92) bertutur:

إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِنْهُمْ فَتَشَبَّهُوْا * إِنَّ التَّشَبُّهَ  بالْكِرَامِ فَلاَحٌ

Meski kalian belum seperti mereka, serupailah mereka

Sebab sungguh menyerupai orang-orang mulia adalah keberuntungan

 

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Irfan Abu Naveed]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 + four =

Back to top button