Nafsiyah

Takut Berbuat Zalim

Takut kepada Allah SWT itu bertanda. Di antara tandanya adalah menjauhi perbuatan zalim. Menyekutukan Allah SWT, membunuh dan memfitnah adalah di antara perbuatan zalim. Kezaliman (al-zhulm), sebagaimana digambarkan Syaikhunâ ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam Al-Taysîr fî Ushûl Al-Tafsîr (hlm. 70), adalah mendudukkan sesuatu tidak pada tempatnya (wadh’u al-syay-i fî ghayr mahallihi). Ini bisa kita pahami berdasarkan makna ayat:

إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣

Sungguh mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (QS Luqman [31]: 13).

 

Syirik, yakni menempatkan makhluk pada kedudukan Sang Pencipta, sama saja dengan menempatkan makhluk tidak pada tempatnya. Siapa saja yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya telah berbuat zalim.

Siapa saja yang berhukum dengan selain hukum Allah SWT juga adalah orang yang zalim:

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥

Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang zalim (QS al-Maidah [5]: 45).

 

Seseorang yang meletakkan perundang-undangan manusia di atas perundang-undangan Rabb manusia, yakni meletakkan perundang-undangan tidak pada tempatnya, maka ia adalah orang yang zalim.

Allah SWT menafikan hidayah bagi orang zalim, yang membuat-buat kedustaan setelah datang kepada dia dakwah Islam (lihat: QS ash-Shaff [61]: 7).

Begitu pula dosa pembunuhan. Ia adalah kezaliman yang wajib ditakuti oleh setiap hamba Allah.  Pembunuhan telah dilarang Allah secara tegas (jâzim) dalam QS al-Isra’ [17]: 33. Pelakunya diperingatkan dengan siksa Jahanam:

وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا ٩٣

Siapa saja yang membunuh seseorang yang beriman dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam. Kekal ia di dalamnya. Allah murka kepada dia, melaknat dia dan menyediakan azab yang besar bagi dirinya (QS an-Nisa’ [4]: 93).

 

Keterangan khâlid[an] fîhâ dalam pandangan mayoritas ulama, termasuk Ibn Abbas r.a., berlaku bagi pelaku pembunuhan batil disertai penghalalan atasnya (tahlîl al-muharram al-mujma’ ‘ala tahrîmihi). Al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari (w. 310 H) ketika menafsirkan ayat di atas menuturkan: “Frasa ‘Allah murka kepada dia,’ yakni Allah murka kepada dia atas pembunuhan secara sengaja tersebut. ‘Allah melaknat dia,’ yakni Allah menjauhkan dia dari rahmat-Nya dan menghinakan dirinya. ‘Dia menyediakan bagi dirinya azab yang besar.’ azab ini tidak ada yang mengetahui kadar siksanya kecuali Allah.”

Apalagi Rasulullah saw. menggambarkan dosa membunuh sebagau dosa besar yang membinasakan pelakunya:

اجْتَنِبُوُا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ, قُلْنَا: وَمَا هُنّ َ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَال: …وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتي حَرَّمَ الله إِلَّا الْحَقّ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” Kami bertanya, apa itu, wahai Rasûlullâh saw.?” Beliau menjawab (salah satunya): “…membunuh jiwa yang telah Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar…” (HR Muttafaqun ‘alayhi).

 

Rasulullah saw. memerintahkan untuk menjauhi dosa-dosa tersebut sejauh-jauhnya (bi al-uslûb al-insyâ’î). Al-Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) menjelaskan bahwa lafal ijtanibû menunjukkan objek yang harus ditinggalkan. Maknanya lebih kuat (ablagh) daripada kata utrukû (tinggalkanlah). Karena lafal ijtanibû bukan sekadar perintah untuk meninggalkan, melainkan perintah untuk meninggalkan itu semua sejauh-jauhnya.

Termasuk kezaliman adalah membunuh seseorang berdasarkan zhann (klaim sepihak) ala extra judicial killing (membunuh seseorang tanpa pembuktian di pengadilan) atas objek yang dituduh “terduga terorisme”—atau narasi semisal—dibangun dari asumsi tanpa bukti sesuai kaidah:

لاَ عِبْرَةَ لِلتَّوَهُّمِ

Tidak ada ’ibrah (konklusi hukum) berdasarkan asumsi/dugaan (yang meragukan, dibuat-buat).

 

Lantas bagaimana jadinya jika kezaliman membunuh diikuti dengan memfitnah korbannya? Tentu lebih besar lagi dosanya. Ini bertentangan dengan karakter seorang Muslim yang disabdakan Rasulullah saw.:

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه

Seorang Muslim adalah seseorang yang kaum Muslim selamat dari lisan dan tangannya (HR al-Bukhari dan Abu Dawud).

 

Maknanya, seorang Muslim adalah yang memelihara lisan dan tangannya agar tidak menyakiti kaum Muslim lainnya. Frasa min lisânihi wa yadihi merupakan ungkapan ringkas (al-îjâz bi al-hadzf) dari maksud min syarri lisânihi wa syarri yadihi, yakni dari keburukan lisan dan tangannya. Kedua alat ini paling berperan dalam melakukan kezaliman, mencakup membunuh dan memfitnah.

 

Nasihat Rasulullah kepada Penguasa

Salah satu nasihat agung Baginda Rasulullah saw. kepada pejabat bawahannya adalah nasihat untuk menjauhi perbuatan zalim atas rakyatnya. Muadz bin Jabal ra. yang diutus sebagai gubernur di Yaman mengaku bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada dirinya:

اتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فإنها لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَينَ اللهِ حِجَابٌ

Takutlah terhadap doa orang yang dizalimi karena sungguh tidak ada hijab antara doanya dan Allah (HR Muttafaqun ‘alayh).

 

Maksudnya, doa orang yang dizalimi itu mustajâb (dikabulkan Allah). Ini mengandung tarhib (peringatan) agar tidak berbuat zhalim.

Sebaliknya, kita diperintahkan untuk menegakkan keadilan. Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) atas QS Shad [38]: 26, dalam Tafsîr al-Imâm asy-Syâfi’i (III/1228), menjelaskan:

فَأَعْلَمَ اللهُ نَبِيَّهُ صلى الله عليه وسلم أَنَّ فَرَضاً عَلَيْهِ وَعَلىَ مَنْ قَبْلَهُ وَالنَّاسِ، إِذَا حَكَمُوْا أَنْ يَحْكُمُوْا بِاالْعَدْلِ، وَالْعَدْلُ اِتِّبَاعُ حُكْمِهِ الْمُنَزَّلِ

Allah telah mengajari Nabi-Nya saw. bahwa fardhu atas beliau, para nabi sebelumnya dan umat manusia (setelah mereka), jika mereka menghukumi harus menghukumi manusia dengan adil. Adil bermakna mengikuti hukum-Nya yang telah diturunkan (kepada manusia).”

 

Ini menunjukkan kewajiban penguasa menegakkan keadilan bagi rakyatnya. Bukan sebaliknya. Ini sejalan dengan kaidah syar’iyyah:

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Kebijakan seorang Imam (Khalifah) atas rakyat harus senantiasa berorientasi pada kemaslahatan.

 

Maknanya, berorientasi pada syariah Allah dan Rasul-Nya. Kaidah ini sejalan dengan ungkapan Imam asy-Syafii (w. 204 H) dalam Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir (hlm. 121):

مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ

Kedudukan Imam (Khaifah) atas rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim.

 

Ketidakhadiran penguasa dalam menegakkan keadilan atau bahkan menzalimi rakyat merupakan bencana bagi kehidupan. Nasib tragis yang menimpa para rezim penguasa dan penyokongnya tentu cukup menjadi pelajaran. Contohnya adalah kaum ‘Ad yang zalim dan membenarkan kezaliman tiran yang lalim (Lihat: QS Hud [11]: 59-60). Di antara sebab kebinasaan mereka adalah memenuhi syahwat rezim yang bertindak sewenang-wenang dan menentang kebenaran para rasul pilihan. Makhluk itu fana. Kekuasaan mereka pun akhirnya binasa. Allah SWT adalah sebaik-baiknya Pelindung (wa kafâ biLlâhi nashîr[an]) dan sebaik-baiknya Pemelihara (wa kafâ biLlâhi wakîl[an]).

WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Peneliti Balaghah al-Qur’an & Hadits Nabawiyyah)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 + 1 =

Back to top button