
Optimalisasi Fungsi Ibu
Ramadhan bulan yang diberkahi. Di dalamnya banyak kebaikan yang Allah janjikan untuk orang beriman yang melaksanakan amaliah Ramadhan dengan penuh keihlasan. Ramadhan juga layak disebut sebagai bulan untuk memupuk kebersamaan dalam keluarga. Banyak momen yang biasanya dilakukan bersama dengan anggota keluarga seperti makan sahur, buka puasa, tarawih, kajian shubuh, dan iktikaf di sepertiga bulan terakhir.
Tanpa mengecilkan peran ayah, fungsi ibu sebagai pendidik dan pengatur rumah tangga tampak nyata dalam aktivitas Ramadhan. Sudah biasa, ibu menyiapkan makanan sahur. Ibu pula telaten dan sabar membangunkan anggota keluarga supaya tidak melewatkan aktivitas sunnah ini. Ketika siang sudah datang dan matahari memancarkan teriknya, lapar dan haus pun kian kuat terasa, ibu akan berusaha membuat aktivitas yang bisa memalingkan fokus perhatian anak-anak sehingga rasa lapar dan dahaga sedikit terlupakan. Di sela lelah dan kantuk yang mendera, ibu tidak lupa untuk membuat jadwal tadarus bersama, membaca dan mengkaji dan memahami ayat-ayat suci al-Quran. Hal itu bisa menjadi motivasi untuk mengamalkan isinya. Jelang waktu berbuka, kesibukan ibu sangat terasa untuk menyiapkan makanan yang akan disantap bersama keluarga.
Begitulah sosok ibu. Ia senantiasa hadir dan dekat dengan keluarga. Sentuhan kelembutan dan kasih sayangnya akan melahirkan suasana Ramadhan yang nyaman penuh ketenangan. Cekatannya ibu akan memastikan makanan buka puasa dan sahur terhidang pada waktunya. Semangatnya akan menjadi inspirasi untuk tetap istiqamah dalam ketaatan dan perjuangan. Karena itu jika sosok ibu hadir dengan perannya, maka hikmah amaliah Ramadhan, yakni melahirkan insan yang bertakwa, akan tergambar dalam realitas (QS al-Baqarah [2]: 183).
Namun, kehidupan sekarang yang sedang dalam cengkeraman kapitalisme-sekulerisme, fungsi utama ibu sedang dalam ancaman.
Menggerus Spirit Ramadhan
Rasulullah saw. mengabarkan kepada kita lewat lisannya yang mulia, bahwa iman menjadi dasar amaliyah Ramadhan diterima. Niat semata-mata berharap ridha-Nya menjadi syarat berikutnya. Dengan itu amaliyah Ramadhan layak dibalas dengan ampunan-Nya, sebagaimana sabdanya:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa saja yang berpuasa karena iman dan ingin mendapatkan pahala-Nya akan diampuni semua dosanya yang telah lalu (HR al-Bukhari dan Muslim).
Spirit untuk meraih berbagai kemuliaan Ramadhan ini menjadi energi luar biasa bagi seorang Muslim. Ketika peradaban Islam hadir, kemeriahan dan sukacita dalam menyambut Ramadhan ditampakan oleh umat dalam berbagai kesempatan dan beragam kegiatan.
Semangat lurus ini sekarang sudah tergerus oleh arus kapitalisme yang menihilkan dorongan ketakwaan. Jadilah motivasi beramal semata meraih nilai materi.
Tidak sedikit orang yang sudah kehilangan kesadaran akan hakikat ibadah Ramadhan ini. Mereka tidak merasa bersalah ketika tidak menjalankannya. Jika pun dilakukan, puasa hanya dianggap rutinas dan agenda bersama tahunan. Bukan wujud ketundukan dan keterikatan pada salah satu aturan Allah SWT.
Sikap tunduk dan patuh pada bulan Ramadhan, semestimya akan menjadi pondasi untuk semakin mudah pasrah dan taat pada aturan Penciptanya. Jadilah Ramadhan momen menempa jiwa menjadi hamba-hamba-Nya yang bertakwa, yang hari-harinya senantiasa berlimpah keberkahan.
Kapitalisme Mengancam Fungsi Ibu
Islam menempatkan ibu pada posisi terhormat dan memberikan peran yang mulia sebagai ibu pendidik, madrasah pertama bagi anak-anaknya. Banyak kesempatan ibu untuk membersamai tumbuh-kembang ananda di bulan penuh berkah ini. Namun, kapitalisme telah merampasnya. Atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan, para ibu disibukkan dengan pekerjaan di luar rumah. Mereka ‘dipaksa’ untuk meninggalkan anak-anak dan keluarga mereka demi pemenuhan kebutuhan finansial. Jumlah ibu pekerja ini terus bertambah jumlahnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 sebanyak 39,52% atau 51,79 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah perempuan. Angka tersebut bertambah 1,09 juta orang dari tahun sebelumnya yang sebanyak 50,7 juta orang (databoks.katadata. co.id)
Pekerjaan ini tidak sedikit menyita perhatian dan menguras tenaga para umahaat. Pulang ke rumah dengan tenaga sisa yang tetap harus dicurahkan untuk mengurusi anak, melayani suami dan menata masalah rumah tangga. Rutinitas ini sering memicu kelelahan yang terus-menerus. Akibatnya, ibu merasa depresi. Anak menjadi korban. Mereka kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang layak dari ibunya.
Hasil penelitian yang disampaikan oleh dosenpsikologi.com menyebutkan bahwa masalah perilaku yang mungkin muncul pada anak karena ibu bekerja berdasarkan studi pada jurnal Attachment & Human Development adalah sikap agresif. Agresivitas merupakan bentuk perangai seseorang yang kasar dan agresif. Gangguan agresif ini dapat mulai terlihat pada usia 3 atau 5 tahun jika anak tidak mendapatkan pengasuhan penuh oleh ibu sejak lahir hingga usia 2 tahun. Perangai kasar dan agresif pada anak, jika tidak segera dikendalikan, akan berdampak pada perilaku mereka pada masa dewasa.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama periode 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Rinciannya, 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis (databoks.katadata. co.id).
Maraknya kasus bullying dan pelaku kekerasan hingga pembunuhan yang dilakukan anak dan remaja menjadi bukti bahwa keberlangsungan fungsi ibu dalam mendidik dan membersamai tumbuh-kembang anak sedang tidak baik-baik saja. Tentu perlu upaya untuk mengembalikannya sesuai dengan peran yang diberikan oleh Allah Yang Mahatahu dan Mahaadil.
Mengembalikan Peran Mulia Ibu
Optimalisasi peran ibu bukan hanya tugas dan tanggung jawab individu atau keluarga saja. Dibutuhkan fungsi Negara. Negara harus hadir untuk menerapkan sistem pendidikan yang akan membekali para calon ibu dengan ilmu dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan perannya. Kurikulum yang diterapkan Negara harus berbasis akidah sehingga akan melahirkan siswa didik yang berkepribadian Islam, lurus dalam keimanan dan taat sempurna terhadap aturan syariah.
Tanggung jawab Negara berikutnya adalah memastikan setiap kepala keluarga memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya. Para ibu tidak boleh dibebani tanggung jawab nafkah. Mereka harus fokus menjalankan fungsi utamanya sebagai ibu pendidik. Lewat sentuhan pendidikan yang diberikan ibu akan lahir generasi cemerlang yang mampu mengeluarkan diri dan umatnya dari kubangan kerusakan kapitalisme-sekulerisme. Para ibu juga akan memiliki waktu untuk menjalankan kewajibannya sebagai bagian dari umat yang dituntut terlibat dalam perjuangan menyerukan Islam ke tengah masyarakat hingga Islam tegak sebagai pengatur kehidupan dalam sebuah institusi negara (QS Ali Imran [3]:104).
Peran Negara yang lainnya adalah memastikan beredarnya informasi dan media yang membangun ketakwaan generasi, bukan informasi yang akan merusak karakter mereka.
Pelajaran Berharga
Sejarah mencatat betapa besar peranan ibu dalam mengukir prestasi dan membuka gerbang kegemilangan masa depan anaknya. Sosok ibulah yang manguatkan keyakinan Muhammad Al-Fatih bahwa dirinya adalah pemimpin yang dijanjikan Rasulullah saw. akan membebaskan wilayah Konstantinopel. Pengajaran yang ia berikan menjadi peta arah perjuangan Al-Fatih. Berikut ini adalah contoh penggalan dialog Al-Fatih dengan ibunda tercinta.
“Engkau (wahai Muhammad) akan membebaskan wilayah ini. Namamu adalah Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah saw.”
Muhammad Al-Fatih bertanya, “Bagaimana aku akan membebaskan wilayah sebesar ini, wahai ibu?
“Dengan al-Quran, kekuatan, persenjataan dan cinta kepada sesame manusia.”
Inilah sosok ibu yang inspiratif. Contoh nyata bagi para ibu dalam membersamai anaknya menjadi pejuang Islam yang tangguh. Dimulai dari membangun visi hidup sebagai hamba Allah, semata untuk beribadah kepada-Nya, menanamkan misi hidup untuk menegakkan Islam, serta menguatkan tekad dan semangat terus istiqamah dalam perjuangan, pantang mundur meninggalkan medan pertempuran. Visi-misi seperti ini akan menjadi benteng kokoh bagi anak dari gempuran sekulerisme-kapitalisme.
Pelajaran penting lainnya, keberhasilan pendidikan dan pendampingan orangtua dalam keluarga ditentukan oleh model komunikasi yang dibangun serta kedekatan antara orangtua dengan anak. Komunikasi harmonis ini akan sulit terjalin jika ibu kekurangan waktu untuk memperhatikan anak, kehabisan energi untuk telaten mengajari mereka, seperti yang terjadi pada kehidupan ibu-ibu masa kini. Hari-hari mereka tersita oleh masalah pekerjaan. Kesabaran pun diuji dengan datangnya kelelahan dan kendala kehidupan. Tidak jarang mereka berlepas tangan terhadap masa depan anak. Hanya mencukupkan diri dengan menyekolahkan mereka di tempat favorit, membekalinya dengan berbagai kursus keterampilan serta les pelajaran. Jika masih punya waktu leluasa, anak akan menghabiskannya dengan interaksi semu lewat dunia maya yang penuh jebakan. Lahirlah anak-anak yang anti sosial dan tidak peduli dengan kehidupan nyata. Mereka lebih nyaman dengan games dan permainan lainnya. Ketika ada tuntutan untuk hadir di dunia nyata, muncul kegagapan dan ketidaksiapan dalam menyelesaikan masalah.
Semoga Allah memudahkan kita untuk menjadi orang tua pendidik, yang akan mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi khayru ummah, generasi yang tangguh dan kuat. Bukan generasi yang lemah.
WalLaahu a’lam bi ash-shawwab. [Dedeh Wahidah Achmad]