Soal:
- Kapan sebetulnya tepatnya waktu masuk Shalat Fajar?
- Berkaitan dengan Shalat Fajar yang dikenal penentuan waktunya di semua negara bersama dengan azan dan itu bersama gelapnya malam, yakni sebelum sampainya fajar! Pertanyaannya: Kapan Shalat Fajar itu sah? Bersamaan dengan azan atau bersama dengan sampainya fajar shaadiq? Apakah menahan diri dari makan dan minum itu bersama dengan azan atau bersama dengan sampainya fajar shaadiq?
- Allah SWT telah menjelaskan kapan wajib menahan diri dari makan dan minum serta mencampuri istri dengan firman Allah SWT:
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ١٨٧
…hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (QS al-Baqarah [2]: 187).
Maksudnya adalah kemunculan fajar shaadiq, yaitu warna putih di ufuk (cakrawala) dalam bentuk garis (benang) horisontal yang membedakan malam dan siang. Sebelum kemunculan warna putih dalam bentuk garis horisontal ini, tampak warna putih dalam bentuk menjulang di ufuk (cakrawala) yang disebut fajru al-kâdzib. Kebolehan makan, minum dan bercampur dengan istri tidak berakhir dengan fajru al-kâdzib ini, tetapi dengan kemunculan fajru ash-shâdiq yang telah kami jelaskan.
Adi bin Hatim berkata: Ketika turun ayat ini:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ١٨٧
Makan-minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (QS al-Baqarah [2]: 187).
“Aku sengaja mengambil dua ikatan, yang satu hitam dan yang lainnya putih, dan aku tempatkan di bawah bantalku.”
Dia berkata: “Aku melihat keduanya. Ketika menjadi jelas bagiku yang putih dari yang hitam maka aku menahan diri. Ketika pagi harinya aku pergi kepada Rasulullah saw. dan aku beritahukan apa yang aku lakukan maka beliau bersabda:
إِنَّ وِسَادَكَ إِذَنْ لَعَرِيْضٌ إِنَّماَ ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Kalau begitu bantalmu sungguh tebal. Tidak lain itu adalah putih (terang)-nya siang dari gelapnya malam.”1
Ini adalah yang dinyatakan di dalam Kitab Tafsîr Sûrah al-Bâqarah karya Syaikh Atha’ Abu ar-Rasytah. Mohon penjelasannya.
Jawab:
Azan Fajar (Subuh) adalah ketika fajar shaadiq (fajru ash-shâdiq), yakni ketika datang fajru ash-shâdiq. Muazin mengumandangkan azan untuk shalat Fajar (Subuh). Ini adalah waktu imsâk (menahan diri) dari makan dan minum. Ini telah dijelaskan di buku-buku fikih.
Dinyatakan di dalam Kitab Ahkâm ash-Shalâh oleh ‘Ali Raghib yang diterbitkan oleh Hizb – bab “Waktu-waktu Shalat”:
Waktu shalat Subuh adalah jika fajar yang kedua telah terbit, yaitu fajru ash-shâdiq yang dengan itu diharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Akhir waktu Subuh adalah jika langit berwarna kuning, yakni jika terang. Hal itu karena apa yang diriwayatkan bahwa Jibril as. shalat Subuh ketika fajar terbit dan besoknya Jibril as. shalat ketika langit berwarna kuning. Kemudian hilanglah waktu pilihan dan tersisa waktu jawâz (waktu kebolehan) sampai terbit matahari. Waktu-waktu itu semuanya dijelaskan dalam apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, an-Nasai dan at-Tirmidzi dalam topik ini, yaitu:
Dari Jabir bin Abdullah ra.: Nabi saw. pernah didatangi oleh Jibril as. dan Jibril saw. berkata kepada beliau, “Berdirilah dan shalatlah.”
Kemudian datang fajar. Lalu Jibril as. berkata, “Berdirilah dan shalatlah.” Kemudian beliau shalat Fajar ketika fajar menyingsing atau—dia (perawi) berkata—telah terang fajar. Kemudian Jibril as. mendatangi beliau besoknya.
Kemudian Jibril as. mendatangi beliau untuk shalat Fajar (Subuh) ketika langit berwarna sangat kuning. Jibril as. berkata, “Berdirilah dan shalatlah.” Lalu beliau shalat Fajar. Kemudian dia (perawi) berkata, “Ada waktu di antara kedua waktu ini.”
Wajib shalat pada awal waktu sebagai wajib muwassa’, dengan makna bahwa dia boleh melakukan shalat di bagian manapun dari bagian-bagian waktu itu; dia boleh memilih melakukan shalat dari awal waktu sampai akhirnya.
Makna “ketika fajar menyingsing”, yakni fajru ash-shâdiq. Dinyatakan di dalam Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah (28/325):
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha bahwa awal waktu shalat Fajar (Subuh) adalah terbitnya fajar kedua, yakni fajru ash-shâdiq, dan akhir waktunya sampai terbit matahari. Hal itu karena sabda Rasul saw.:
إِنَّ لِلصَّلَاةِ أَوَّلا وَآخِراً، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ، وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِين تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Sungguh shalat itu ada awal dan akhirnya. Awal waktu shalat Fajar (Subuh) ketika terbit fajar dan akhirnya waktunya adalah ketika terbit matahari.
Demikian pula dinyatakan di dalam Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah (8/206):
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha bahwa awal waktu Subuh adalah terbitnya fajru ash-shâdiq, yang disebut fajar kedua. Disebut shâdiq (benar) karena jelas dan terangnya wajah Subuh. Tandanya adalah warna putih yang menyebar di ufuk (cakrawala) secara horisontal. Adapun fajru al-kâdzib, yang disebut fajar pertama, itu tidak berkaitan dengan hukum, dan dengan itu tidak masuk waktu Subuh. Tandanya adalah warna putih menjulang yang mencuat di tengah langit, kemudian setelah itu lenyap.
Dari apa yang telah dipaparkan, diketahui bahwa jumhur fuqaha berpendapat bahwa akhir waktu Subuh adalah terbitnya matahari. Hal itu karena apa yang diriwayatkan dari Abnu Hurairah ra., dari Rasulullah saw. yang bersabda:
إِنَّ لِلصَّلَاةِ أَوَّلا وَآخِراً، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ، وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِين تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Sungguh shalat itu ada awal dan akhirnya. Awal waktu shalat Fajar (Subuh) adalah ketika terbit fajar dan akhirnya waktunya adalah ketika terbit matahari.
Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara fajru ash-shâdiq dengan azan Fajar. Keduanya adalah satu waktu yang sama.
WalLâh a’lam wa ahkam.
[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 16 Sya’ban 1444 H/08 Maret 2023 M]
Sumber:
1 Al-Bukhari 4149, 4150; Muslim 1824; Abu7 Dawud 2002; ad-Darimi 1632. Wisâduka ‘arîdhun: kiasan dari banyaknya tidur, sebab siapa yang bantalnya tebal maka tidurnya nyenyak. Atau kiasan dari lebarnya lehernya dan tebalnya kepalanya, hal itu merupakan dalil kebodohan (al-Qâmûs al-Muhîth).